Salah satu kelebihan yang
dimiliki oleh manusia dibanding dengan makhluk lain adalah kemampuannya
bekerjasama dalam jumlah yang relatif banyak (Harari 2017). Yang paling
mencengangkan adalah bahwa manusia membangun kerjasamanya dengan sangat mudah
bahkan dengan orang baru. Ini sama sekali tidak terjadi pada spesies lain.
Kemampuan bekerjasama inilah yang kemudian memungkinkan manusia membangun
sebuah kelompok, organisasi, komunitas, perusahaan bahkan negara.
Manusia membangun sebuah
organisasi menggunakan dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan obyektif
dan pendekatan subyektif (Furqon 2003). Pendekatan
obyektif adalah pandangan yang melihat organisasi sebagai sebuah struktur.
Pandangan ini melihat organisasi eksis secara nyata dan memiliki
batasan-batasan yang pasti. Jika menyebut kata “organisasi”, maka itu seolah
kita dapat membayangkan sebuah wujud yang nyata suatu entitas yang terdiri dari
orang-orang, hubungan-hubungan, dan tujuan-tujuan. Secara singkat, pendekatan
obyektif ini memandang organisasi sebagai sebuah struktur. Namun tidak demikian
dengan pendekatan subyektif. Melalui pendekatan subyektif, kita bisa memahami
bahwa organisasi itu tiada lain hanyalah sebuah konstruksi sosial. Bahwa
eksistensi organisasi tidak an sich daripada manusia. Organisasi tidak
lebih dari sekedar tindakan-tindakan, transaksi, dan interaksi manusia. Secara
singkat bahwa organisasi adalah proses.
Kedua pendekatan itu
membawa implikasinya masing-masing. Jika kita menggunakan kacamata obyektif,
untuk memahami organisasi, maka kita sebaiknya mempelajari secara keseluruhan.
Dalam arti bahwa kita mencoba memahami bagaimana sebuah organisasi beradaptasi
terhadap lingkungannya dan juga bertahan hidup. Dalam mengelaborasinya, kita
membayangkan organisasi itu layaknya satu entitas sehingga menjelaskannya
dengan sudut pandang bagaimana ia bertahan dari yang luar dari dirinya.
Sedangkan pendekatan subyektif menitik beratkan kepada “apa” yang membentuknya,
yaitu manusianya. Sehingga agar dapat memahaminya, maka kita mesti mempelajari
unsur yang membentuknya itu, yaitu manusianya. Maka pengetahuan hanya bisa
diperoleh manakala kita melihat prilaku-prilaku dari manusia dan apa makna
prilaku itu bagi mereka. Dalam pembahasan berikutnya, pendekatan yang digunakan
dalam mengkaji organisasi (peran komunikasi di dalamnya) secara tidak langsung
disampaikan menggunakan kedua pendekatan itu.
Komunikasi dalam
organisasi
Komunikasi atau communication dalam bahasa
Inggris berasal dari kata dalam bahasa latin yaitu communis yang berarti
“sama”, “communico”, “communication”, atau “communicare”
yang berarti “membuat sama”.(Ikhsan & Mandalia 2015). Merujuk asal
katanya tersebut, kita dapat memahami bahwa proses komunikasi yang baik mesti
menjadikan kedua belah pihak antara komunikator dan komunikan mesti berada pada
posisi yang setara. Komunikasi yang baik mengandaikan tiadanya tembok pemisah
antara komunikator dan komunikan. Dengan begitu, keefektifan penyampaian pesan
akan berlangsung seperti yang diharapkan.
Dalam komunikasi organisasi, yang perlu diperhatikan
adalah arus informasi, dimana arus informasi ini yang akan mengatur
penyebarluasan informasi ke publik. Pace & Paul (1998 dalam Ishak 2012) ada empat model
dominan dalam transfer informasi dalam komunikasi organisasi. Model-model
tersebut adalah top-down, bottom-up, horizontal, dan
lintas saluran. Dalam model top-down, para pemimpin pada umumnya
memberikan perintah berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan yang harus
dilakukan oleh anggotanya. Pola ini menuntut anggota lebih pasif karena
bersifat job oriented dimana anggota lebih banyak menunggu
perintah dari atasan.
Model kedua adalah buttom up. Alur dari pola
ini adalah vertical, dimana anggota mengkomunikasikan ide atau gagasan ke
atasan masing-masing. Kebanyakan organisasi menggunakan model ke tiga yaitu
model horizontal, dimana setiap staf atau anggota berhubungan dengan staf atau
anggota antar divisi. Sedangkan model yang keempat adalah lintasan saluran.
Dalam model ini, komunikasi yang terjadi bersifat lintas jabatan. Maksudnya,
anggota atau staf bisa berhubungan secara vertikal maupun horizontal di dalam
organisasi. Keempat model tersebut berlaku bagi komunikasi internal dalam suatu
organisasi.
Jika sebuah organisasi mampu memaksimalkan model yang
tepat dalam arus komunikasinya, maka akan tercipta iklim yang baik di dalam
organisasi yang mana membuat organisasi tersebut akan berjalan dengan efektif. Iklim
organisasi ini sendiri adalah kualitas pengalaman subyektif dari setiap anggota
atas karakter-karakter yang relatif langgeng pada organisasi. Sehingga bila
model yang diterapkan tepat, setiap anggota akan memiliki pengalaman subyektif
yang baik yang akan membuat kenyamanan dan keefektifan dalam bekerja.
Namun yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin dalam
setiap komunikasi adalah noise, yaitu gangguan-gangguan yang biasanya
terjadi selama proses komunikasi sedang berlangsung. Gangguan komunikasi dapat
berupa faktor pribadi (prasangka, lamunan, perasaan tidak cakap) dan pengacau
indra (suara yang terlalu keras atau lemah, bau menyengat, udara panas)(Hassa Nurrohim & Anatan 2009). Selain itu,
perlu juga diperhatikan situasi ketika berkomunikasi tidak hanya isi dan pesan
yang disampaikan. Hal ini dapat menjadi gangguan dalam komunikasi apabila
situasinya tidak tepat antara komunikator dengan komunikan.
Negosiasi dalam
komunikasi organisasi
Negosiasi merupakan usaha pendekatan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak atau lebih dalam rangka saling menyamakan
ketertarikannya terhadap pihak lainnya (Ikhsan & Mandalia 2015). Negosiasi
terjadi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah menyepakati sumber daya yang terbatas sepeti
tanah, properti, dan waktu. Selain itu, negosiasi ditujukan untuk menciptakan
sesuatu yang baru yang di setujui oleh satu pihak sedangkan pihak lainnya belum
tentu menyetujuinya. Dan yang ketiga adalah negosiasi terjadi untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi di berbagai pihak.
Dalam komunikasi bisnis, negosiasi terjadi dimana dua
pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan,
bertemu dan berbicara untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan ini ada dua,
pertama kesepakatan integratif dan kesepakatan distributif. Kesepakatan
integratif adalah kesepakatan untuk mencapai win-win solution, sedangkan
kesepakatan distributif adalah tawar-menawar untuk memenangkan atau
menguntungkan salah satu pihak (Hamdan, Ratnasari & Hirzi 2015). Kemampuan
negosiator dapat dilihat dari karakteristik personal mencakup keberanian menggali
lebih banyak informasi, sabar bertahan lebih lama dari negosiator lawan, berani
meminta lebih, integritas menekan untuk win-win solution, dan kesediaan
menjadi pendengar yang baik.
Konflik Dalam Negosiasi
Meski pada prinsipnya negosiasi ditujukan untuk
menyelesaikan masalah atau konflik, namun dalam prosesnya, negosiasi sendiri
bisa menemukan jalan buntu yang akhirnya menciptakan konflik lagi. Terdapat
banyak hal yang dapat menciptakan konflik di dalam negosiasi tersebut,
diantaranya: 1. Ketika satu pihak atau lebih menolak untuk bergerak dari posisi
awal negosiasi; 2. Lebih fokus kepada orang dan posisi daripada masalah yang
ada; 3. Adanya agenda tersembunyi atau rasa saling tidak percaya terhadap
motivasi pihak lawan; 4. Manipulasi dan perilaku agresif terhadap salah satu
pihak atau lebih; 5. Keinginan untuk menang, tanpa mempedulikan apapun resikonya;
6. Mengejar sasaran yang terlalu tinggi dan tidak realistis. 7. Tidak bersedia
meluangkan waktu untuk menjajaki posisi lawan dan/atau, adanya penolakan untuk
menghargai sudut pandang lawan; 8. Kurang jelasnya peran atau tingkat otoritas;
9. Kriteria subyektif yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau
proses pengambilan keputusan yang tidak jelas (Zumaeroh 2010).
Adapun strategi dalam menangani konflik dalam
negosiasi dibagi menjadi tiga: 1). Mencegah Konflik;2). Menangani Konflik;3).
Penangguhan. Untuk mencegah konflik, negosiator sebaiknya melakukan komunikasi
yang terbuka, mengenali kebutuhan lawan, dan merespon kebutuhan timbal
balik. Teknis komunikasi yang terbuka
yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: Perhatikan adanya asumsi tersembunyi
dihadapan semua orang, baik dari diri sendiri maupun pihak lawan; Berusahalah
membuka jalurjalur komunikasi; Hindari kurangnya kejelasan dalam negosiasi;
Belajar mendengarkan dengan baik; Ungkapkan perasaan dan kebutuhan dengan cara
yang tidak terkesan mengancam. Berikutnya, dalam mengenali kebutuhan lawan,
seorang negosiator sebaiknya menempatkan diri di posisi lawan. Jika reaksi
lawan tegang, dan sebagainya, sebaiknya berhenti dan mencari alternative lain
dalam pembicaraan.
Strategi kedua menangani konflik dalam negosiasi
adalah menangani konflik dengan konfrontasi. Konfrontasi yang terjadi selama
konflik apabila dikelola dengan baik maka akan dapat memperjelas perbedaan
terkait apa yang dianggap bernilai oleh kedua belah pihak, apa yang difikirkan
masing-masing, apa yang dirasakan oleh keduanya, apa yang ingin dilakukan oleh
keduanya, dan apa yang benar-benar dilakukan oleh kedua belah pihak.
Selanjutnya, strategi yang lain yang dapat dilakukan
dalam menangani konflik tersebut adalah penangguhan. Jika posisi negosiasi
tidak menemukan titik temu, perlu kiranya dilakukan penangguhan dalam beberapa
lama, bisa lima menit, atau bisa satu hari. Penangguhan ini setidaknya bisa
memberikan kedua belah pihak mengambil nafas, mengatur ulang emosi, dan
memberikan waktu berfikir.
Kesimpulan
Salah satu hal yang paling menonjol dari spesial
bernama manusia adalah kemampuannya bekerjasama dalam jumlah banyak dan dengan
orang asing. Kemampuan ini memungkinkannya membangun kelompok dalam bentuk
organisasi, komunitas, perusahaan, bahkan negara. Dalam mengelola kelompok itu,
salah satu hal yang paling strategis yang dengannya sebuah kelompok tidak
mungkin bisa dijalankan dengan baik adalah komunikasi. Dengan begitu, setiap
unsur dalam kelompok tersebut mesti memiliki kemampuan yang baik dalam
komunikasi. Lebih-lebih para pemimpinnya yang memiliki kekuasaan lebih dalam mengendalikan
massanya.
Salah satu kemampuan
komunikasi yang mesti dimiliki dalam mengelola organisasi adalah kemampuan
negosiasi. Kemampuan ini semakin urgen manakala organisasi tidak bisa
melepaskan diri dari interaksi dengan organisasi yang berbeda. Dalam hal ini,
seperti yang dikatakan Ikhsan & Mandalia (2015) negosiasi berperan dalam
rangka menyepekati sumber daya, menciptakan sesuatu yang baru, dan
menyelesaikan konflik. Namun demikian, dalam negosiasi itu sendiri tidak
terlepas dari konflik selama negosiasi itu berlangsung. Untuk itulah kemudian
penanganan konflik dalam negosiasi juga perlu dikuasi.
Daftar
Pustaka
Furqon, C. 2003. Hakikat Komunikasi Organisasi. Hakikat
Komunikasi Organisasi.
Hamdan, Y., Ratnasari, A. & Hirzi, A.T. 2015. Kemampuan
Negosiasi Pengusaha Dalam Meningkatkan Kesepakatan Bisnis. MIMBAR, Jurnal
Sosial dan Pembangunan.
Harari, Y.N. 2017. Sapien, Riwayat Singkat Umat Manusia.
Kepustakaan Populer Gramediia: Jakarta.
Hassa Nurrohim & Anatan, L. 2009. Efektivitas Komunikasi
Dalam Organisasi. Jurnal Manajemen.
Ikhsan, M.F. & Mandalia, S.A. 2015. Komunikasi Public
Relations Dalam Implementasi Teknik Lobi Dan Negosiasi Pada. Komunikasi
Public Relations Dalam Implementasi Teknik Lobi Dan Negosiasi Pada Kegiatan
Eksternal Telkom Foundation.
Ishak, A. 2012. Peran Public Relations dalam Komunikasi
Organisasi. Jurnal ASPIKOM.
Zumaeroh. 2010. MENGENALI KONFLIK DALAM NEGOSIASI. Jurnal
Ekonomika Universitas Wijayakusuma Purwokerto 13: 130.