“siapa
yang menganggap jurusan MIPA lebih unggul dari IPS atau social hanyalah orang
yang tidak faham”, kata saya pada suatu kesempatan mengajar siswa-siswa saya.
Sontak saja mereka merespon. Ada yang terdiam dengan raut muka mengkerut penasaran.
Ada juga yang langsung bertanya. “apa maksudnya pak?”.“ah terlalu panjang kalau
saya jelaskan” tegas saya. Bukannya menyerah, malah mereka memaksa saya untuk
menjelaskan. Namun segera saja saya akhiri dengan mengalihkan perhatian mereka ke
mata pelajaran yang sedang dibahas.
Rasa
penasaran siswa yang ingin mengetahui penjelasan dari saya diatas adalah memang
tujuan saya membuat pernyataan tersebut. karena sebenarnya sayalah yang lebih
penasaran ingin mengetahui apakah memang benar stereotype bahwa mata pelajaran MIPA lebih diunggulkan dari ilmu
Sosial masih ada dalam alam fikir siswa-siswa? Bagi saya hal ini penting untuk
diketahui karena ternyata berdasarkan apa yang saya temukan dilapangan hal
tersebut membawa beberapa implikasi terhadap bagaimana cara siswa berinteraksi,
bersikap, dan berfikir. Jika implikasi tersebut positif, tentu saja cukup
membuang waktu untuk membahasnya, sebaliknya perhatian yang saya tujukan justru
adanya implikasi negatif yang mana agak menjauhi tujuan diadakannya pendidikan
itu sendiri.
Perlu
diingat bahwa tujuan diadakannya pendidikan itu ada empat (Haryatmoko,
2010:196). Pertama untuk penguasaan kompetensi, orientasi humanistik, menjawab
tantangan sosial, ekonomi, dan keadilan, serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan
itu sendiri. keempat tujuan pendidikan ini harus menjadi acuan bagi pemegang
otoritas dalam rangka pelaksanaan perencanaan dan proses pembelajaran. Jika
kita hanya fokus mencapai satu tujuan tersebut kemudian mereduksi yang lain,
maka akan berimplikasi terhadap kualitas peserta didik. Berbicara kualitas
tentu yang diharapkan adalah peserta yang bukan hanya hebat dalam penguasaan
materi, terbaik dalam pencapaian angka,
akan tetapi yang memiliki rasa tanggung jawab sosial. Dimana
eksistensinya semata untuk mendorong kearah kemajuan dengan mengakomodir
kepentingan masyarakat meski dalam skala sekecil-kecilnya. Inilah yang
menginspirasi stakeholder merubah
kurikulum dari yang semula fokus terhadap kompetensi (KBK) kemudian
memperhatikan arah tujuan pendidikan yang lain seperti yang terangkum dalam
pendidikan karakter (Kurikulum 13).
Namun
kenyataan dilapangan justru berkata lain. Perubahan kurikulum hanya sebatas
mengganti kemasan, namun isi tetap sama. Aspek penilaian pada kemampuan afeksi,
dan kemampuan motorik hanya sebagai formalitas, sekedar pelengkap tulisan
diatas kertas. Tujuan pendidikan yang kita saksikan bahkan mungkin rasakan
sendiri hanya difokuskan pada satu hal yakni pada aspek penguasaan kompetensi
saja. Indikatornya jelas, tuntutan penguasaan materi atau pengetahuan diperketat.
Siswa ditekan untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada setiap
mata pelajaran dalam kurun waktu yang sudah ditentukan didalam rencana
pembelajaran. Akibatnya, ukuran keberhasilan hanya disematkan kepada mereka yang
mampu meraih pengetahuan paling banyak. Kemudian hal tersebut diabadikan dalam
bentuk tanda semisal bilangan-bilangan skor. Dan yang mendapatkan skor paling
banyaklah yang berhak memiliki klaim keberhasilan. Hal tersebut justru
melahirkan peserta-peserta didik yang memiliki mindset bahwa jika ingin berhasil maka pencapaian skorlah yang
paling utama, terserah dengan cara yang sesuai moral atau tidak. Sehingga
terciptalah kompetisi yang tidak sehat antar peserta didik.
Dilain
pihak, Kita mengakui bahwa fenomena tersebut tidak selamanya terjadi. Misalnya
saja pemberian skor memang secara nyata merepresentasikan kemampuan peserta
didik. Dalam hal ini, hanya kompetisi
yang sehat menjadi penjaminnya. Namun meski begitu, tak lantas hal tersebut tak
memiliki dampak negatif lagi. Misalnya jika kompetisi terus dipaksakan dan
menjadi instrument andalan untuk memaksa peserta didik menguasai materi, maka
individualisme akan semakin subur, solidaritas tereliminasi, dan karakter
saling menghargai hanya imajinasi. Bahkan
dalam kerja kelompokpun peserta didik akan berorientasi semata untuk pencapaian
pribadi. Sangat disayangkan memang, apalagi hal tersebut semakin diperparah
jika perhatian pendidik lebih banyak tertuju kepada mereka yang “Lebih”. Inilah
yang kemudian memunculkan bibit-bibit kesenjangan sosial antara yang “lebih”
dan yang “kurang”. Peserta yang “lebih” merasa tidak ada gunanya bergaul dengan
yang “kurang”, dan yang “kurang” merasa minder untuk dekat dengan yang “lebih”.
Sebenarnya
prilaku pendidik yang cendrung berat sebelah tersebut diperkuat dengan pola
fikir yang agak politis dimana pencapaian kompetensi harus sesuai dengan
permintaan pasar. Apapun yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, tidak
terlalu perlu untuk mendapatkan perhatian. Tentu dalam hal ini yang menjadi
obyeknya adalah mata pelajaran. Pada tahap selanjutnya, mata pelajaran yang
paling cepat menjurus ke pemenuhan permintaan pasarlah yang cocok mendapat
perhatian lebih. Dalam hal ini, permintaan pasar biasanya terkait dengan
penguasaan kemampuan terapan, teknis, dan praktis (meski untuk mencapai
kekemampuan tersebut tentunya ditunjang dengan kemampuan teoritis). misalnya,
kemampuan membuat robot, mesin, obat-obatan, penguasaan teknologi IT, dan alat-alat
yang secara praktis bisa membantu pekerjaan manusia. Kitapun mafhum kemampuan-kemampuan tersebut
dilevel perguruan tinggi hanya dipelajari di fakultas Teknik, kesehatan,dsb.
Dan semua kita tahu untuk masuk ke fakultas tersebut harus melewati jurusan
MIPA pada level Sekolah menengah atas. Kalaupun ada yang berasal dari luar
jurusan MIPA, harus melewati seleksi yang lebih ketat dan berat. Dari perbedaan
perlakuan terhadap jurusan yang berbeda inilah kemudian tumbuh kesenjangan
sosial baru yakni antara yang mengambil jurusan MIPA dan yang mengambil jurusan
Sosial.
Ironisnya,
mereka yang mengambil jurusan MIPA cenderung anak yang dikatakan “Lebih” dan
yang mengambil jurusan sosial cenderung anak yang “kurang”. Meminjam kata teman
saya, kondisi seperti itu seperti “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Komplit
perhatian akan diberikan kepada jurusan MIPA. Karena dialah yang paling
“menjanjikan” masa depan. Dan titik nadir dari sikap tersebut adalah stereotype peserta didik yang menganggap
mata pelajaran MIPA jauh lebih penting dibandingkan dengan mata pelajaran
Sosial. Karena merasa lebih penting, (tanpa bermaksud men-generalisir) mereka
yang mengambil MIPA cenderung elitis dan ekseklusif. Sebaliknya, mereka yang
mengambil jurusan Sosial cenderung ugal-ugalan atau “masa bodoh”, dan minder. Inilah yang saya maksud diawal bahwa ternyata
stereotype tersebut berimplikasi
terhadap cara peserta didik berinteraksi, bersikap dan berfikir.