MIPA kontra Sosial - Amaq Solah
News Update
Loading...

Thursday, April 19, 2018

MIPA kontra Sosial


MIPA kontra Sosial

“siapa yang menganggap jurusan MIPA lebih unggul dari IPS atau social hanyalah orang yang tidak faham”, kata saya pada suatu kesempatan mengajar siswa-siswa saya. Sontak saja mereka merespon. Ada yang terdiam dengan raut muka mengkerut penasaran. Ada juga yang langsung bertanya. “apa maksudnya pak?”.“ah terlalu panjang kalau saya jelaskan” tegas saya. Bukannya menyerah, malah mereka memaksa saya untuk menjelaskan. Namun segera saja saya akhiri dengan mengalihkan perhatian mereka ke mata pelajaran yang sedang dibahas.
Rasa penasaran siswa yang ingin mengetahui penjelasan dari saya diatas adalah memang tujuan saya membuat pernyataan tersebut. karena sebenarnya sayalah yang lebih penasaran ingin mengetahui apakah memang benar stereotype bahwa mata pelajaran MIPA lebih diunggulkan dari ilmu Sosial masih ada dalam alam fikir siswa-siswa? Bagi saya hal ini penting untuk diketahui karena ternyata berdasarkan apa yang saya temukan dilapangan hal tersebut membawa beberapa implikasi terhadap bagaimana cara siswa berinteraksi, bersikap, dan berfikir. Jika implikasi tersebut positif, tentu saja cukup membuang waktu untuk membahasnya, sebaliknya perhatian yang saya tujukan justru adanya implikasi negatif yang mana agak menjauhi tujuan diadakannya pendidikan itu sendiri.
Perlu diingat bahwa tujuan diadakannya pendidikan itu ada empat (Haryatmoko, 2010:196). Pertama untuk penguasaan kompetensi, orientasi humanistik, menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan keadilan, serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. keempat tujuan pendidikan ini harus menjadi acuan bagi pemegang otoritas dalam rangka pelaksanaan perencanaan dan proses pembelajaran. Jika kita hanya fokus mencapai satu tujuan tersebut kemudian mereduksi yang lain, maka akan berimplikasi terhadap kualitas peserta didik. Berbicara kualitas tentu yang diharapkan adalah peserta yang bukan hanya hebat dalam penguasaan materi, terbaik dalam pencapaian angka,  akan tetapi yang memiliki rasa tanggung jawab sosial. Dimana eksistensinya semata untuk mendorong kearah kemajuan dengan mengakomodir kepentingan masyarakat meski dalam skala sekecil-kecilnya. Inilah yang menginspirasi stakeholder merubah kurikulum dari yang semula fokus terhadap kompetensi (KBK) kemudian memperhatikan arah tujuan pendidikan yang lain seperti yang terangkum dalam pendidikan karakter (Kurikulum 13).
Namun kenyataan dilapangan justru berkata lain. Perubahan kurikulum hanya sebatas mengganti kemasan, namun isi tetap sama. Aspek penilaian pada kemampuan afeksi, dan kemampuan motorik hanya sebagai formalitas, sekedar pelengkap tulisan diatas kertas. Tujuan pendidikan yang kita saksikan bahkan mungkin rasakan sendiri hanya difokuskan pada satu hal yakni pada aspek penguasaan kompetensi saja. Indikatornya jelas, tuntutan penguasaan materi atau pengetahuan diperketat. Siswa ditekan untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada setiap mata pelajaran dalam kurun waktu yang sudah ditentukan didalam rencana pembelajaran. Akibatnya, ukuran keberhasilan hanya disematkan kepada mereka yang mampu meraih pengetahuan paling banyak. Kemudian hal tersebut diabadikan dalam bentuk tanda semisal bilangan-bilangan skor. Dan yang mendapatkan skor paling banyaklah yang berhak memiliki klaim keberhasilan. Hal tersebut justru melahirkan peserta-peserta didik yang memiliki mindset bahwa jika ingin berhasil maka pencapaian skorlah yang paling utama, terserah dengan cara yang sesuai moral atau tidak. Sehingga terciptalah kompetisi yang tidak sehat antar peserta didik.
Dilain pihak, Kita mengakui bahwa fenomena tersebut tidak selamanya terjadi. Misalnya saja pemberian skor memang secara nyata merepresentasikan kemampuan peserta didik. Dalam hal ini,  hanya kompetisi yang sehat menjadi penjaminnya. Namun meski begitu, tak lantas hal tersebut tak memiliki dampak negatif lagi. Misalnya jika kompetisi terus dipaksakan dan menjadi instrument andalan untuk memaksa peserta didik menguasai materi, maka individualisme akan semakin subur, solidaritas tereliminasi, dan karakter saling menghargai hanya imajinasi.  Bahkan dalam kerja kelompokpun peserta didik akan berorientasi semata untuk pencapaian pribadi. Sangat disayangkan memang, apalagi hal tersebut semakin diperparah jika perhatian pendidik lebih banyak tertuju kepada mereka yang “Lebih”. Inilah yang kemudian memunculkan bibit-bibit kesenjangan sosial antara yang “lebih” dan yang “kurang”. Peserta yang “lebih” merasa tidak ada gunanya bergaul dengan yang “kurang”, dan yang “kurang” merasa minder untuk dekat dengan yang “lebih”.
Sebenarnya prilaku pendidik yang cendrung berat sebelah tersebut diperkuat dengan pola fikir yang agak politis dimana pencapaian kompetensi harus sesuai dengan permintaan pasar. Apapun yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, tidak terlalu perlu untuk mendapatkan perhatian. Tentu dalam hal ini yang menjadi obyeknya adalah mata pelajaran. Pada tahap selanjutnya, mata pelajaran yang paling cepat menjurus ke pemenuhan permintaan pasarlah yang cocok mendapat perhatian lebih. Dalam hal ini, permintaan pasar biasanya terkait dengan penguasaan kemampuan terapan, teknis, dan praktis (meski untuk mencapai kekemampuan tersebut tentunya ditunjang dengan kemampuan teoritis). misalnya, kemampuan membuat robot, mesin, obat-obatan, penguasaan teknologi IT, dan alat-alat yang secara praktis bisa membantu pekerjaan manusia. Kitapun mafhum kemampuan-kemampuan tersebut dilevel perguruan tinggi hanya dipelajari di fakultas Teknik, kesehatan,dsb. Dan semua kita tahu untuk masuk ke fakultas tersebut harus melewati jurusan MIPA pada level Sekolah menengah atas. Kalaupun ada yang berasal dari luar jurusan MIPA, harus melewati seleksi yang lebih ketat dan berat. Dari perbedaan perlakuan terhadap jurusan yang berbeda inilah kemudian tumbuh kesenjangan sosial baru yakni antara yang mengambil jurusan MIPA dan yang mengambil jurusan Sosial.
Ironisnya, mereka yang mengambil jurusan MIPA cenderung anak yang dikatakan “Lebih” dan yang mengambil jurusan sosial cenderung anak yang “kurang”. Meminjam kata teman saya, kondisi seperti itu seperti “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Komplit perhatian akan diberikan kepada jurusan MIPA. Karena dialah yang paling “menjanjikan” masa depan. Dan titik nadir dari sikap tersebut adalah stereotype peserta didik yang menganggap mata pelajaran MIPA jauh lebih penting dibandingkan dengan mata pelajaran Sosial. Karena merasa lebih penting, (tanpa bermaksud men-generalisir) mereka yang mengambil MIPA cenderung elitis dan ekseklusif. Sebaliknya, mereka yang mengambil jurusan Sosial cenderung ugal-ugalan atau “masa bodoh”, dan minder.  Inilah yang saya maksud diawal bahwa ternyata stereotype tersebut berimplikasi terhadap cara peserta didik berinteraksi, bersikap dan berfikir.


Share with your friends

Give us your opinion

4 comments

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done