Semua kita yang hidup di dunia ini adalah ibarat seorang
musafir. Setiap musafir pasti akan selalu merindukan untuk kembali ke rumahnya.
Kerinduan akan dekapan cinta yang kita rasakan di rumah.
Rumah adalah tempat ternyaman untuk tempat berteduh dan beristirahat dari setiap perjalanan kita. “baiti jannati” kata sebuah ungkapan arab yang berarti rumahku adalah surgaku. Surga adalah symbol kenikmatan, maka semua kenikmatan, ketenangan biasanya kita dapatkan saat berada di rumah.
Rumah adalah tempat ternyaman untuk tempat berteduh dan beristirahat dari setiap perjalanan kita. “baiti jannati” kata sebuah ungkapan arab yang berarti rumahku adalah surgaku. Surga adalah symbol kenikmatan, maka semua kenikmatan, ketenangan biasanya kita dapatkan saat berada di rumah.
Akan tetapi ketika menjadi seorang musafir biasanya banyak
godaan, rintangan, dan hambatan yang kita hadapi yang kemudian membuat kita
larut kembali melanjutkan perjalanan ke rumah kita. Padahal biasanya, semua itu
bersifat sementara. Saat yang sementara itu berlalu, disaat yang sama kita akan
kembali mengingat untuk melanjutkan perjalanan kembali ke rumah.
Maka bagi siapapun yang tetap ingat akan tujuannya biasanya
akan lebih cepat sampai. Ia tidak tergoda untuk terlena terhadap apapun yang
menawarkan kenikmatan selama perjalanannya. Karena ia ingat, semua itu hanyalah
akan menghambatnya untuk cepat kembali kepada rumahnya. Ia terus saja
berjalanan dengan penuh harap untuk sampai. Inilah hakikat perjalanan seorang
musafir.
Jika kita musafir, dimana sebenarnya rumah kita yang kita
tuju untuk kembali? Pada hakikatnya, rumah kita adalah Allah swt. Perjalanan
yang kita tempuh adalah sebuah perjalanan mencari nilai spiritual. Dan akhir
nilai spiritual tersebut tiada lain tiada bukan adalah Allah swt.
Namun seperti layaknya seorang musafir, perjalanan mencari nilai
spiritual seringkali menemui godaan, hambatan dan rintangan. Maka godaan,
hambatan dan rintangan disini adalah semua hal yang bersifat duniawi yang
melalaikan kita untuk melanjutkan perjalanan kembali kepada rumah kita yakni Allah
swt. Untuk itu kita butuh pengingat-pengingat agar kita cepat kembali
menujuNya.
Ibadah puasa adalah salah satu pengingat tersebut. Itulah sebabnya, pada praktiknya puasa menjauhkan kita dari kecenderungan terhadap kesenangan dunia;makan, minum, sex,dan kesenangan-kesenangan lainnya.
Ibadah puasa adalah salah satu pengingat tersebut. Itulah sebabnya, pada praktiknya puasa menjauhkan kita dari kecenderungan terhadap kesenangan dunia;makan, minum, sex,dan kesenangan-kesenangan lainnya.
Padahal sekali lagi, semua yang membuat kita lalai tersebut
bersifat sementara. Pada akhirnya kita akan kembali kepada Allah, sang puncak
nilai spiritual tersebut. Allah menegaskan dalam firmannya yang berarti
“sesungguhnya kita (manusia) milik Allah, maka kepadanya jua kita akan
kembali”.
Dalam arti yang lain bahwa kita semua milik “rumah” kita, maka kita akan kembali juga kepadanya. Itulah mengapa hati kita pasti akan selalu terpaut kepadaNya. Karena memang Ia adalah rumah kita, tempat kembali dari akhir perjalanan kita.
Dalam arti yang lain bahwa kita semua milik “rumah” kita, maka kita akan kembali juga kepadanya. Itulah mengapa hati kita pasti akan selalu terpaut kepadaNya. Karena memang Ia adalah rumah kita, tempat kembali dari akhir perjalanan kita.
Jalaludin Rumi menggambarkan bagaimana diri kita
sesungguhnya menjadi musafir yang akan selalu berjalan untuk kembali ke rumah,
tempat asal kita melalui masnawi nya:
Jiwaku berasal dari
suatu tempat
Di sana,
Dan ku ingin berakhir
Disana juga
(Haidar Bagir,2019)