Banyak fenomena dalam ibadah yang menarik untuk diulas.
Salah satunya adalah bagaimana sajadah menimbulkan paradoks jika dilihat dari
efek penggunannya. Jika dimaknai secara filosofis, sajadah bisa berarti suatu
simbol kerendahan diri dan penyerahan diri atau penghambaan kepada Allah.
Ini dilihat dari fungsinya sebagai alat yang digunakan
sebagai alas tempat kepala bersujud, dimana saat bersujud antara kaki yang
berada pada posisi terbawah sejajar dengan kepala yang berada pada posisi
tertinggi. Namun bukan berarti pemaknaannya relatif saat ia berlaku sebagaimana
fungsinya. Artinya, makna yang terkandung di dalamnya bukan hanya saat dipakai.
Meski tidak dipakai bersujud, tetap saja ia menggambarkan makna sebagaimana
adanya.
Makna kerendahan diri dan penghambaan adalah lawan kata dari
keangkuhan, egois, merasa paling berhak dan paling superior. Berangkat dari
makna tersebut, seharusnya ketika berada diatas sajadah maka sifat-sifat buruk
tersebut segera kita buang jauh-jauh hingga kemudian kita bisa tulus
menghambakan diri di dalam ibadah yang akan kita lakukan.
Namun fenomena sebaliknya sering terjadi, ketika sajadah
justru menjadi pemicu munculnya sifat angkuh, egois, merasa paling berhak dan
paling superior ketika shalat berjamaah. Ukuran sajadah yang lebih besar dari
aturan shaf mengharuskan melipat sajadah. Banyak orang kemudian enggan melipat
sajadah karena merasa haknya adalah selebar sajadah yang ia punya. Padahal,
aturan shaflah yang mengatur ukuran sajadah, bukan sebaliknya.
Pada akhirnya, sajadah sebagai simbol kerendahan hati dan
penghambaan diri berubah menjadi alat pemicu munculnya sifat-sifat egois,
kengkuhan, merasa paling benar dan paling superior.