Suatu ketika Almarhum Habib Munzir Al-Musawwa, pendiri
majelis dakwah dan zikir yang bernama Majelis Rasulullah SAW, pernah suatu
ketika memprotes media televisi Nasional. Ia memprotes karena berfikir bahwa
media-media televisi yang ada tidak memberikan tayangan yang mendidik,
alih-alih yang islami yang barangkali sesuai dengan agama mayoritas penontonnya
yakni Islam. Namun, setelah memprotes media tersebut, beliau terhentak ketika
mendengar jawaban dari salah satu pimpinan stasiun televisi tersebut. Sang
pimpinan televisi tersebut hanya menjawab singkat,” Bib, kami ini tidak bisa
berjalan tanpa adanya dukungan materil, dan dukungan tersebut kami dapat dari rating jumlah penonton. Maka jika yang
kami tayangkan mungkin menurut habib
tidak layak, tapi itulah yang disenangi oleh masyarakat, dan dari sana kami hidup”
tegasnya.
Apa yang bisa kita petik dari kisah tersebut? Mungkin sederhana.
Kita tidak bisa melihat fenomena dalam masyarakat hanya dari satu perspektif.
Kita harus menyadari bahwa ada realitas lain diluar prinsip yang ideal. Contohnya
kita tidak bisa merubah seketika prilaku masyarakat secara umum hanya dengan
merubah jenis tontonan, karena ternyata pada kenyataannya jenis tontonanlah
yang mengikuti prilaku masyarakat,seperti cerita diatas. Maka dengan begitu,
kita akan sedikit terbuka untuk melihat kondisi yang berbeda, lalu kemudian kembali
ke pilihan awal dan mungkin menjadi pilihan utama. Dalam kasus diatas misalnya,
kita akan menyadari bahwa penyadaran nilai terhadap diri sendiri dan orang
disekitar kita mungkin akan lebih realistis daripada merubah laku produsen.
Produsen akan tetap berlaku seperti layaknya produsen, yang hanya akan
menyediakan apa yang diminta oleh konsumen.
Lihatlah lebih jauh, menjelang Ramadhan. Iklan-iklan yang
terkait dengan yang biasa kita konsumsi dibulan tersebut akan selalu lebih
intens muncul dilayar TV kita. Iklan sirop misalnya. Dengan berbagai macam
jenisnya, mulai ditayangkan bahkan jauh-jauh sebelum Ramadhan tiba. Lucunya, iklan
tersebut justru lebih bisa menjadi alarm kedatangan Ramadhan menggantikan kalender yang ada. Mungkin kita semua
merasakannya, termasuk saya. Namun sekali lagi, ini bukan salah sirop ‘mengandung’,
tapi salah kita ‘yang menanam benih’.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada produsen-produsen
tersebut jika kita benar-benar berpuasa dengan sungguh-sungguh. Mungkin saja
iklan sirop itu tidak lebih sering muncul, karena masyarakat lebih banyak
ibadah dan untuk minum cukup hanya dengan air putih. Ditempat lain,
Retail-retail modern bersusah payah menjajakan barang diskon, karena masyarakat
justru lebih sibuk berlomba mencari diskon 70 kali lipat yang dijanjikan Allah selama
Ramadhan.
Meski demikian, pilihan utama berupa penyadaran ini harus
dilakukan secara konsisten. Maka dalam lanjutan cerita diatas, sang habib
kemudian memutuskan untuk lebih memfokuskan diri melakukan penyadaran secara
terus menerus melalui jalan dakwah hingga akhir hayat beliau. Dimulai dari dakwah
dengan perbuatan (dakwah bil hal). Memulai dari diri sendiri, komitmen terhadap
nilai yang benar, lalu teraktualisasi secara nyata dalam bentuk perbuatan. Baru
kemudian dakwah dengan ucapan (dakwah bil lisan). Bisa dengan ceramah langsung
atau melalui sosial media, seperti yang dilakukan oleh salah satu komunitas yang
bernama One Day One Post (ODOP),yakni mereka bergerak untuk memposting pesan-pesan
positif minimal satu postingan dalam
satu hari.