Seperti dalam ulasan sebelumnya, puasa adalah momentum
dimana kita bisa belajar untuk pembiasaan terhadap ibadah kita. Sehingga
diharapkan setelah Ramadhan kita terbiasa melakukan ibadah-ibadah tersebut.
Namun tidak semua kita bisa melaluinya dengan maksimal (sehingga berefek pada
pembiasaan tersebut). Malah lebih banyak diantara kita justru berguguran
di tengah jalan.
Indikasinya bisa kita saksikan. Dari luas keramik masjid
yang menyempit di awal Ramadhan, semakin pertengahan (seperti sekarang ini) semakin
tampak lebih luas. Sayup-sayup suara bacaan Al-Quran di Masjid yang biasanya
beragam, menjelang pertengahan Ramadhan menjadi monoton.
Sebaliknya, suara petasan mulai semakin ramai. Pasar, Mall
dan Pertokoan semakin sesak. Menu-menu jajanan lebaran semakin membanjiri media
sosial. Semua itu kemudian menjelma menjadi simbol atau identitas pengenal dari
bulan Ramadhan. Makna ibadah hanyalah sekedar klise.
Padahal saya sendiri tidak meyakini kita ini kaum pemuja simbol.
Namun tidak tepat juga saya katakan kita adalah penikmat makna. Saya justru
yakin kita ini, seperti kata Sujiwo Tejo, termasuk golongan plin-plan. Kita senang
memuja-muja simbol disaat ia sekedar pelengkap makna. Namun kita sengaja acuh
tak acuh saat makna sama pentingnya dengan simbol.
Menjelang Lebaran misalnya, seakan menjadi dosa besar
disaat tidak memiliki pakaian yang baru. Mentang-mentang agama memerintahkan
untuk memakai semua yang baru. Padahal tak perlu berfikir lama untuk menemukan
makna “baru” sebagai hati yang baru, ibadah yang baru, prilaku yang baru, dan
fikiran yang baru. Di lain sisi, sudah lazim kita saksikan betapa banyaknya
kita dengan entengnya melawan rambu-rambu lalu lintas. Bukankah itu simbol? Simbol
yang sama pentingnya dengan maknanya.