Ibadah Vertikal dan Horizontal - Amaq Solah
News Update
Loading...

Thursday, May 9, 2019

Ibadah Vertikal dan Horizontal



Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu pola hubungan manusia secara vertikal (Hablumminallah) yang  justru berimplikasi langsung secara horizontal (Hablumminannas; nilai sosial).Kedua implikasi tersebut menurut saya adalah berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika Hablumminallah tercapai, maka Hablumminannas pun akan mengikuti. Ini tentu diluar kategori penilaian Hablumminallah sebagai ibadah hanya dari yang nampak. Apa yang saya maksudkan adalah dari pencapaian personal terhadap kedalaman penghayatan nilai ilahiah yang akan berimplikasi langsung pada praktik-pratik sosial.

Walaupun kenyataannya, kita terus-menerus terbelenggu ke dalam perangkap hasrat-hasrat jasmaniah yang menghambat aktifitas penghayatan nilai ilahiah tersebut. Ironisnya, belenggu tersebut bermain dengan lihai melewati batas kesadaran kita. Kadang ibadah yang harusnya menjadi alat spiritual kita, bisa tertukar menjadi media pemenuhan hasrat konsumtif yang tak ada habisnya. Lebih lebih jika hasrat konsumtif itu sudah berubah menjadi petanda sosial. Maka ibadah hanya tersisa sebagai modus.

Puasa kita jalankan, karena takut diisolasi dari kelompok . Tarawih kita kerjakan, karena tidak ingin disebut malas. Buka puasa mesti dengan menu yang mewah dan banyak agar terlihat istimewa. Kuota internet tak terkendali, karena berbagi aktifitas ibadah adalah kewajiban.  Ngabuburit bukan hanya saat-saat menunggu magrib tetapi sekaligus momentum tampil beda. Proses-proses yang bisa bernilai spiritual akhirnya terkeksploitasi untuk pemenuhan hasrat yang seharusnya menjadi obyek pengekangan. Padahal semuanya berada pada satu keteledoran, pengabaian niat.

Untuk itulah Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya kemudian menjadikan niat sebagai tolak ukur hasil final sebuah ibadah. Bahwa Sesungguhnya   segala perbuatan tergantung dari niat kita melakukannya. Dan hanya kita yang tahu untuk apa kita melakukan sesuatu, dengan kata lain bahwa evaluasi atas kualitas ibadah kita bersifat sangat privat. Bagaimanapun orang lain menceramahi kita, hanya ketika kita bergerak merubahnya barulah ia akan berubah.

Inilah yang saya maksud bahwa Hablumminallah mesti difahami sebagai sebuah penghayatan ilahiah untuk mendapatkan kenikmatan spiritual. Sehingga ia tidak berakhir dalam praktik ritual akan tetapi hadir dalam setiap ruang dan waktu yang dilewati. Dengan demikian, dengan sendirinya seseorang menjadi lebih luhur, toleran, egaliter, dsb. Dengan kata lain Hablumminannas nya telah tercapai.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done