Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu pola hubungan manusia
secara vertikal (Hablumminallah) yang
justru berimplikasi langsung secara
horizontal (Hablumminannas; nilai
sosial).Kedua implikasi tersebut menurut saya adalah berhubungan satu dengan
yang lainnya. Jika Hablumminallah tercapai,
maka Hablumminannas pun akan mengikuti.
Ini tentu diluar kategori penilaian Hablumminallah
sebagai ibadah hanya dari yang nampak. Apa yang saya maksudkan adalah dari
pencapaian personal terhadap kedalaman penghayatan nilai ilahiah yang akan
berimplikasi langsung pada praktik-pratik sosial.
Walaupun kenyataannya, kita terus-menerus terbelenggu ke
dalam perangkap hasrat-hasrat jasmaniah yang menghambat aktifitas penghayatan
nilai ilahiah tersebut. Ironisnya, belenggu tersebut bermain dengan lihai melewati
batas kesadaran kita. Kadang ibadah yang harusnya menjadi alat spiritual kita,
bisa tertukar menjadi media pemenuhan hasrat konsumtif yang tak ada habisnya. Lebih
lebih jika hasrat konsumtif itu sudah berubah menjadi petanda sosial. Maka ibadah
hanya tersisa sebagai modus.
Puasa kita jalankan, karena takut diisolasi dari kelompok . Tarawih
kita kerjakan, karena tidak ingin disebut malas. Buka puasa mesti dengan menu yang
mewah dan banyak agar terlihat istimewa. Kuota internet tak terkendali, karena berbagi
aktifitas ibadah adalah kewajiban. Ngabuburit bukan hanya saat-saat menunggu
magrib tetapi sekaligus momentum tampil beda. Proses-proses yang bisa bernilai spiritual
akhirnya terkeksploitasi untuk pemenuhan hasrat yang seharusnya menjadi obyek
pengekangan. Padahal semuanya berada pada satu keteledoran, pengabaian niat.
Untuk itulah Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya kemudian
menjadikan niat sebagai tolak ukur hasil final sebuah ibadah. Bahwa Sesungguhnya
segala
perbuatan tergantung dari niat kita melakukannya. Dan hanya kita yang tahu
untuk apa kita melakukan sesuatu, dengan kata lain bahwa evaluasi atas kualitas
ibadah kita bersifat sangat privat. Bagaimanapun orang lain menceramahi kita,
hanya ketika kita bergerak merubahnya barulah ia akan berubah.
Inilah yang saya maksud bahwa Hablumminallah mesti difahami sebagai sebuah penghayatan ilahiah
untuk mendapatkan kenikmatan spiritual. Sehingga ia tidak berakhir dalam
praktik ritual akan tetapi hadir dalam setiap ruang dan waktu yang dilewati. Dengan
demikian, dengan sendirinya seseorang menjadi lebih luhur, toleran, egaliter,
dsb. Dengan kata lain Hablumminannas nya
telah tercapai.