Pada suatu kesempatan saya pernah mendengar cerita dari Tuan
Guru Bajang (TGB) tentang kisah seorang Syaikh yang hidup sangat sederhana. Ia juga
seorang sufi yang memiliki banyak murid. Sehari-hari dia bekerja sebagai
seorang nelayan. Namun saking dermawannya, setiap ikan hasil tangkapannya
selalu dibagi-bagi ke warga. Warga diberikan potongan badan ikannya, sedang ia
hanya mengambil kepalanya. Karena terbiasa makan hanya bagian kepala ikannya,
ia sampai dapat panggilan Syaikh kepala ikan.
Suatu ketika ia memanggil salah satu muridnya dan memintanya
untuk pergi menemui gurunya. Ia berpesan kepada muridnya agar nanti ketika
bertemu dengan gurunya tersebut untuk memintakannya sebuah nasehat. Sang muridpun
berangkat membawa pesan Syaikh kepala ikan. Dalam perjalanan, si murid sempat
berfikir jikalau guru Syaikh kepala ikan tersebut tentunya orang yang sangat
sederhana bahkan lebih sederhana dari Syaikh kepala ikan sendiri.
Setibanya dirumah guru dari syaikh kepala ikan, si murid
hampir tidak percaya. Rumah yang dilihat tidak seperti yang dibayangkan;Luas,
megah, dan mewah. Si muridpun meragukan kalau ia benar-benar seorang guru dari
seorang syaikh yang terkenal akan kezuhudannya. Tapi apa mau dikata, dia harus
menyampaikan pesan dari gurunya, Syaikh kepala Ikan.
Si Murid pun menghadap Syaikh al-Akbar (nama guru dari
syaikh kepala Ikan) dan langsung mengutarakan maksud kedatangannya yakni
menyampaikan salam gurunya kalau ia meminta nasihat dari Syaikh al-Akbar.
Syaikh al-Akbar pun langsung berpesan agar Syaikh kepala ikan tidak terlalu
memikirkan dunia. Si murid yang mendengar pesan tersebut terheran-heran bahkan
sedikit kesal. Bagaimana tidak, masak seorang yang hidup bergelimang harta
berpesan untuk jangan terlalu memikirkan dunia? Sedangkan yang dia beri pesan
hidup dalam kesederhanaan, bahkan makanpun cuma dengan kepala ikan!
Tanpa berfikir panjang, si muridpun langsung pulang dan
menyampaikan pesan Syaikh al-Akbar. Syaikh kepala ikan hanya tersenyum dan
sedikit terlihat bersedih mendengar pesan gurunya yakni Syaikh al-Akbar. Sebaliknya,
si murid yang menyampaikan pesan justru semakin tidak faham. Ia lalu bertanya
kepada gurunya apa maksud pesan Syaikh al-Akbar.
Syaikh kepala ikanpun menjawab “ Syaikh Akbar benar,
menjalani hidup penuh kezuhudan itu bukan berarti hidup miskin, menjauhi harta
benda dunia. Yang penting adalah hati kita tidak terpaut dengan semua kemewahan
duniawi. Lihatlah, selama ini aku mencoba hidup sederhana dengan menjauhi
kemewahan dunia, bahkan hanya memakan kepala ikan. Tapi justru dengan kepala ikan
itulah hatiku menjadi luput, karena terus memikirkan betapa nikmatnya memakan
kepala ikan. Sedangkan guruku, Syaikh Akbar, meski ia dikelilingi oleh
kemewahan dunia, sedikitpun ia tidak tergoda oleh semua itu. Hatinya
benar-benar hanya untuk mengingat Allah”.
Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut? Kisah tersebut
memberi pesan bahwa hidup bergelimang harta tidak lantas menutup pintu menjadi
seorang yang zuhud. Sebaliknya, hidup miskin pun tidak lantas menjadikan kita otomatis
menjadi ahli zuhud. Semua tergantung dari bagaimana kita mengelola hati dan
fikiran kita untuk selalu berzikir kepada Allah.
Memang, seringkali yang menjerumuskan kita menjadi abai
untuk mengingatNya jutsru kenikmatan-kenikmatan dunia yang kita anggap sangat
sepele. Jika syaikh kepala ikan lalai mengingat Allah hanya karena
kenikmatannya memakan kepala ikan, coba tengok diri kita. Mungkin saja kita
lalai karena kenikmatan makan pecel, sambal terasi, nasi goreng,dsb. Atau mungkin
di era digital ini kita justru larut dalam kenikmatan bermain sosmed, mobile
legend, PUBG, dsb.
Ironisnya, seringkali kita mengingat kenikmatan duniawi itu
justru di dalam ibadah kita. Saat shalat yang kita fikirkan adalah bagaimana
mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Yang suka nongkrong, saat shalat
yang difikirkan akan menemui teman yang mana. Yang doyan makan, saat shalat
yang difikirkan mau makan apa,terus menerus seperti itu.
Begitupun dengan ibadah yang lainnya, seperti saat berpuasa
seperti sekarang ini. Apa yang kita fikirkan selama berpuasa? Sudahkah hati
kita terpaut kepadaNya? Atau mungkin hanya memikirkan buka puasa pakai menu
apa? Ngabuburit dengan siapa? Tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat? Mana
Masjid/Mushalla yang shalatnya paling cepat selesai? Tentu, hanya diri kita
yang bisa menjawab.