Kepala Ikan dan Refleksi Ibadah Kita - Amaq Solah
News Update
Loading...

Sunday, May 12, 2019

Kepala Ikan dan Refleksi Ibadah Kita




Pada suatu kesempatan saya pernah mendengar cerita dari Tuan Guru Bajang (TGB) tentang kisah seorang Syaikh yang hidup sangat sederhana. Ia juga seorang sufi yang memiliki banyak murid. Sehari-hari dia bekerja sebagai seorang nelayan. Namun saking dermawannya, setiap ikan hasil tangkapannya selalu dibagi-bagi ke warga. Warga diberikan potongan badan ikannya, sedang ia hanya mengambil kepalanya. Karena terbiasa makan hanya bagian kepala ikannya, ia sampai dapat panggilan Syaikh kepala ikan.

Suatu ketika ia memanggil salah satu muridnya dan memintanya untuk pergi menemui gurunya. Ia berpesan kepada muridnya agar nanti ketika bertemu dengan gurunya tersebut untuk memintakannya sebuah nasehat. Sang muridpun berangkat membawa pesan Syaikh kepala ikan. Dalam perjalanan, si murid sempat berfikir jikalau guru Syaikh kepala ikan tersebut tentunya orang yang sangat sederhana bahkan lebih sederhana dari Syaikh kepala ikan sendiri.

Setibanya dirumah guru dari syaikh kepala ikan, si murid hampir tidak percaya. Rumah yang dilihat tidak seperti yang dibayangkan;Luas, megah, dan mewah. Si muridpun meragukan kalau ia benar-benar seorang guru dari seorang syaikh yang terkenal akan kezuhudannya. Tapi apa mau dikata, dia harus menyampaikan pesan dari gurunya, Syaikh kepala Ikan.

Si Murid pun menghadap Syaikh al-Akbar (nama guru dari syaikh kepala Ikan) dan langsung mengutarakan maksud kedatangannya yakni menyampaikan salam gurunya kalau ia meminta nasihat dari Syaikh al-Akbar. Syaikh al-Akbar pun langsung berpesan agar Syaikh kepala ikan tidak terlalu memikirkan dunia. Si murid yang mendengar pesan tersebut terheran-heran bahkan sedikit kesal. Bagaimana tidak, masak seorang yang hidup bergelimang harta berpesan untuk jangan terlalu memikirkan dunia? Sedangkan yang dia beri pesan hidup dalam kesederhanaan, bahkan makanpun cuma dengan kepala ikan!

Tanpa berfikir panjang, si muridpun langsung pulang dan menyampaikan pesan Syaikh al-Akbar. Syaikh kepala ikan hanya tersenyum dan sedikit terlihat bersedih mendengar pesan gurunya yakni Syaikh al-Akbar. Sebaliknya, si murid yang menyampaikan pesan justru semakin tidak faham. Ia lalu bertanya kepada gurunya apa maksud pesan Syaikh al-Akbar.

Syaikh kepala ikanpun menjawab “ Syaikh Akbar benar, menjalani hidup penuh kezuhudan itu bukan berarti hidup miskin, menjauhi harta benda dunia. Yang penting adalah hati kita tidak terpaut dengan semua kemewahan duniawi. Lihatlah, selama ini aku mencoba hidup sederhana dengan menjauhi kemewahan dunia, bahkan hanya memakan kepala ikan. Tapi justru dengan kepala ikan itulah hatiku menjadi luput, karena terus memikirkan betapa nikmatnya memakan kepala ikan. Sedangkan guruku, Syaikh Akbar, meski ia dikelilingi oleh kemewahan dunia, sedikitpun ia tidak tergoda oleh semua itu. Hatinya benar-benar hanya untuk mengingat Allah”.

Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut? Kisah tersebut memberi pesan bahwa hidup bergelimang harta tidak lantas menutup pintu menjadi seorang yang zuhud. Sebaliknya, hidup miskin pun tidak lantas menjadikan kita otomatis menjadi ahli zuhud. Semua tergantung dari bagaimana kita mengelola hati dan fikiran kita untuk selalu berzikir kepada Allah.

Memang, seringkali yang menjerumuskan kita menjadi abai untuk mengingatNya jutsru kenikmatan-kenikmatan dunia yang kita anggap sangat sepele. Jika syaikh kepala ikan lalai mengingat Allah hanya karena kenikmatannya memakan kepala ikan, coba tengok diri kita. Mungkin saja kita lalai karena kenikmatan makan pecel, sambal terasi, nasi goreng,dsb. Atau mungkin di era digital ini kita justru larut dalam kenikmatan bermain sosmed, mobile legend, PUBG, dsb.

Ironisnya, seringkali kita mengingat kenikmatan duniawi itu justru di dalam ibadah kita. Saat shalat yang kita fikirkan adalah bagaimana mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Yang suka nongkrong, saat shalat yang difikirkan akan menemui teman yang mana. Yang doyan makan, saat shalat yang difikirkan mau makan apa,terus menerus seperti itu.

Begitupun dengan ibadah yang lainnya, seperti saat berpuasa seperti sekarang ini. Apa yang kita fikirkan selama berpuasa? Sudahkah hati kita terpaut kepadaNya? Atau mungkin hanya memikirkan buka puasa pakai menu apa? Ngabuburit dengan siapa? Tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat? Mana Masjid/Mushalla yang shalatnya paling cepat selesai? Tentu, hanya diri kita yang bisa menjawab.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done