suatu ketika setelah selesai shalat jumat, seorang pengurus
masjid mengumumkan tentang sebuah gerakan keagamaan yang dinamakan gerakan
shalat subuh berjamaah. Ia menyampaikan bahwa gerakan tersebut diadakan karena melihat kondisi
kekinian umat islam yang semakin hari semakin jauh dari masjid untuk shalat
berjamaah wabilkhusus shalat subuh
secara berjamaah di Masjid. Mendengar itu, saya cukup senang walau di saat yang
sama juga pesimis. Pesimis dengan memperhatikan realitas yang berbeda.
Tidak bisa dinafikan bahwa gerakan-gerakan seperti itu tentunya memiliki orientasi yang
positif. Namun jangan lupa, gerakan tersebut berangkat dari kesadaran akan
masalah dari suatu realitas atas suatu perintah agama yang utama, yang biasanya
tidak tercapai. Dalam hal ini gerakan shalat subuh berjamaah sebagai contoh,
diadakan karena tidak tercapainya perintah shalat berjamaah secara umum,
termasuk di dalamnya adalah shalat subuh berjamaah itu sendiri. Andai perintah shalat berjamaah secara umum (
dari subuh, sampai isya) berhasil;dengan kategori mayoritas anggota masyarakat
melakukannya, maka sudah pasti gerakan-gerakan demikian tidak akan ada.
Contoh lain adalah program Malam Bina Iman dan Taqwa yang
sering disingkat MABIT. Mabit biasa diadakan oleh pelajar dan mahasiswa. Mabit
diisi dengan kegiatan bangun malam, salat tahajud, salat taubat, salat hajat,
salat istikharah, salat tasbih, dan salat witir. Dimana kegiatan-kegiatan
tersebut notabene-nya adalah anjuran
umum agama. Namun disebabkan ketidakmampuan kita melaksanakannya sehari-hari, terfikirlah
untuk mencetuskan kegiatan (MABIT) tersebut.
Begitupun jika dihubungkan dengan konteks saat ini, dimana
kita sedang menjalankan puasa Ramadhan. dimana dalam bulan ini juga ada salah
satu perintah (anjuran) agama yang sangat mirip dengan kegiatan MABIT tersebut,
Biasa kita kenal dengan I’tikaf. Dengan keberadaannya pada bulan yang memiliki
pra-kondisi yang sangat memungkinkan untuk meningkatkan ibadah;bulan Ramadhan
biasanya memiliki atmosfer yang terkesan beda dengan bulan yang lain(lebih
kompromistis), sehingga I’tikaf jauh lebih ampuh untuk meningkatkan iman dan
takwa kita.
Untuk kedua hal tersebut, saya tidak menghadap-hadapkan
keduanya. Perlu kita ingat bahwa I’tikaf sendiri merupakan anjuran agama
langsung, sedang Mabit adalah sebuah inisiasi yang diadakan sekarang. Dan seperti
saya katakan sebelumnya, seringkali gerakan-gerakan yang semisal dengan Mabit
tersebut justru merupakan indikator kegagalan perintah utama agama.
Dalam hal ini, saya ingin katakan bahwa jika seandainya I’tikaf
benar-benar total kita lakukan selama Ramadhan, mungkin saja kita tidak
membutuhkan apa yang kita sebut dengan Mabit, karena I’tikaf sendiri sudah
menjadi “sekolah” untuk pendidikan kebiasaan terhadap bangun malam, salat
tahajud, salat witir, dsb. Namun jika I’tikaf ini gagal “mendidik” kita, maka
akan sangat mungkin menjadi penyebab munculnya kegiatan Mabit, bahkan
kegiatan-kegiatan lain yang serupa dengannya.