Simbolistik dalam beragama memang menarik untuk
diperhatikan. Meski bisa jadi, itu justru adalah prilaku yang dilestarikan oleh
pribadi kita sendiri. Simbolistik berarti formalistik. Praktik agama adalah
salah satu sarana pencarian makna terhadap nilai kebenaran yang kita yakini,
melalui tata-cara praktik keagamaan yang cenderung formal atau simbolistik. Jika
praktik keagamaan kita hanya sampai pada hal-hal yang simbolistik tersebut,
maka itu berarti ia hanya sampai pada penggunaan sarana, tetapi tidak ada
jaminan pencapaian terhadap tujuan sebenarnya.
Dalam praktik ibadah seperti puasa saat ini, begitu
banyak simbol yang kita temukan disekeliling kita. Malah, beberapa obyek
konsumtif seringkali menjadi yang terdepan ambil bagian menjadi simbol keberagamaan
tersebut. Agama memang potensial untuk dimanipulasi menjadi kapital demi meraup
keuntungan materil. Ini yang, lebih jauh, seringkali mengecoh kita mencapai
tujuan praktik keagamaan kita.
Menjelang Ramadhan misalnya, sirup , kurma, pakaian
muslim, dan lain sebagainya sudah menjadi penanda akan kedatangan Ramadhan itu
sendiri. Ketupat sudah lazim menjadi simbol akan kedatangan lebaran. Maka dalam
praktiknya, tidak heran kita disajikan pemandangan-pemandangan akan semua itu. Penyiar
TV, artis, dsb menjelang ramadhan mendadak menggunakan pakaian muslim. Toko-toko
yang sebelumnya tidak menyediakan kurma, mendadak seperti pedagang arab yang
komoditinya didominasi kurma. apalagi menjelang Lebaran, gambar ketupat
bertebaran dimana-mana.
Disini, tentu saya tidak sedang mengolok-olok simbol tersebut.
Justru sebaliknya, saya ingin mengajak kita untuk melestarikannya karena ia
disaat yang sama adalah sebagai khazanah yang membedakan kita dengan ummat Islam di lain tempat. Ketupat misalnya, ia sudah menjadi tradisi turun-temurun
dalam penggunaannya sebagai simbol Lebaran. Aslinya, tentu ia adalah barang
konsumsi. Di hari biasa ia tetap ada, Hanya saja masyarakat mengkonsumsinya
secara merata saat lebaran tiba. Ini awal dimana kemudian ketupat menjadi simbol
hari raya Lebaran.
lebih jauh, ketupat kemudian membawa nilai
filosofisnya sendiri. Seiring dengan itu, lebaran adalah hari dimana kita saling
memaafkan, dan tali mempererat silaturrahim. Maka sebagai simbol, ketupat pun
dimaknai sebagai representasi makna lebaran itu sendiri;Simbol memaafkan dan simbol
menyambung silaturrahim.
Simbol inilah yang saya maksudkan sebagai sarana, sarana
mendapatkan makna, sarana menyerap esensi. Sehingga setiap apa yang kita
lakukan (praktik keberagamaan) akan lebih berarti. Dengan begitu, tujuan dari
perbuatan (praktik keberagamaan) kita akan tercapai. Jangan sampai yang terjadi
sebaliknya, ketupatnya melimpah, namun masih tidak saling sapa dengan saudara
sendiri. Sarana kemudian berubah menjadi tujuan. Yang didapat bukan makna
keberagamaannya, tapi simbol keagamaannya. Simbol menjadi agama, agama menjadi simbol.