Puasa di bulan Ramadhan seperti yang sama-sama kita ketahui
adalah salah satu ibadah yang wajib dikerjakan oleh ummat Islam. Kata ‘ibadah’ secara harfiah diartikan
sebagai penghambaan. Maka puasa tidak boleh dipandang hanya sebatas aktifitas
fisik saja. Ia tidak terbatas pada sekat-sekat manfaat fisik,hanya sebatas
pengganti metode diet. Namun jauh melampui itu, puasa adalah aktifitas rohani
guna menemukan esensi tertinggi sebagai hamba Allah swt.
Itulah sebabnya
Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya mengingatkan bagi siapapun yang
menjalankan puasa hanya sekedar menahan makan dan minum maka tiada lain yang
didapatkan kecuali lapar dan haus. Ini isyarat, bahwa pemaknaan puasa mesti
diletakkan sebagai benar-benar sebuah aktifitas rohani.
Nabi sendiri dalam perjalanan hidupnya banyak memberikan
tauladan bagaimana akftitas rohani dijalankan melalui puasa. Jamak kita dengar
bagaimana beliau sampai mengikat batu-batu di perutnya untuk menahan rasa
lapar. bukan karena beliau tak mampu mendapatkan makanan, tetapi karena beliau ingin
memberikan tauladan bahwa menahan untuk tidak mengisi perut adalah bagian dari
salah satu aktifitas rohani.
Sebab perut, seperti kata kaum sufi adalah sumber dari
syahwat, sumber dari dorongan untuk hanya memuasi kebutuhan badan;entah
kebutuhan makan,kebutuhan seksual, dan berbagai macam kebutuhan lainnya, yang
bisa membuat kita lupa dari kebutuhan rohani kita. Untuk itulah penting kiranya
dalam aktifitas rohani untuk mengosongkan perut, agar badan tidak lagi punya
kekuatan penuh untuk mendorong kita melakukan hal-hal yang tidak seharusnya
kita lakukan, dan agar tersisa ruang yang lebih besar bagi dimensi rohani kita
beroperasi.
Meski demikian, bukan berarti kita tidak butuh makan. Dalam
konteks puasa sebagai aktifitas rohani, makan hanya sekedar penyambung
kehidupan agar lebih bisa menambah tenaga menjalaninya. Seperti yang dilakukan
oleh Nabi, berbekal sebutir kurma dan air putih, sudah cukup bagi beliau
sebagai menu buka puasa.
Sangat jauh berbeda dengan kondisi kita, rasa lapar berakhir
saat matahari terbenam, setelah itu boleh dilampiaskan dalam rupa ragam dan
jenis pemenuhannya. Tak cukup hanya dengan kurma dan air putih, nasi, lauk pauk, kolak
dan sebagainya masuk ke dalam perut. Ironisnya,seketika itu juga puasa berubah dari
ibadah menjadi modus untuk pemuasan nafsu makan dan sebagainya.
Sudah saatnya puasa kita jadikan sebagai aktifitas rohani
saat ibadah yang lain sudah menjadi sebatas rutinitas tanpa adanya nilai
spiritual. Tiga puluh hari adalah ‘starting
point’ untuk kita mulai menata ibadah
ritual menjadi aktifitas rohani, karena ia sekaligus akan menjadi garansi untuk
kualitas ibadah-ibadah setelahnya. Bagus puasa kita, akan semakin mungkin
ibadah yang lainnya ikut bagus.