Bahasan kali ini terdengar sangat sederhana, biasa, dan
dibahas oleh semua orang di atas muka bumi ini. Meski sekilas sederhana akan
tetapi ia menyimpan segala makna yang misterius, yang justru membuat saya
pribadi sempat ragu apakah cukup pantas membahasnya atau tidak. Betapa tidak,
jika saya tetap lanjut, berarti saya akan mencoba bersaing bersama para
pujangga, ahli tafsir, ilmuan, cendekia, kaum sufi, dsb. Satu-satunya alasan
yang pantas adalah bahwa ia bersifat subyektif dirasakan oleh setiap orang, meski
tidak semua orang mampu menjelaskannya, karena seperti kata sebagian orang,
sekedar merasakannya jusru lebih baik daripada menjelaskannya dengan kata.
Itulah cinta.
Segala pencarian dalam perjalanan manusia seringkali
berakhir pada pencarian cinta. Dalam khazanah Tasawuf misalnya, dari empat
tingkatan ilmu tentang ketuhanan;Makrifat (pengenalan), Musyahadah
(penyaksian), Mukasyafah (Terbuka tirai), dan yang terakhir adalah Mahabbah
(cinta). Bahkan dalam khazanah yang berbeda seperti dalam agama selain islam,
cinta menjadi puncak tertinggi dalam pencapaian praktik-praktik keagamaannya. Namun disini, tentu tidak cukup
untuk mengulasnya.
Kembali ke khazanah Tasawuf, salah satu tokoh sufi yang
paling terkenal dengan konsep “cinta”nya adalah Jalaluddin Rumi. Bagi Rumi,
cinta adalah kekuatan magnetic yang dengan sendirinya akan akan saling menarik
dengan yang dicintainya. Sedangkan sumber dari magnet kita adalah Tuhan. Maka kita
akan selalu tertarik dengan sendirinya menuju Tuhan. Namun demikian, perjalanan
menuju (cinta)Nya, seringkali menemui hambatan. Dalam hal ini, hambatannya
adalah nafsu kita sendiri. Oleh sebab itu kita harus mampu menyingkap hambatan
itu agar mampu menemui Tuhan.
Dalam syairnya, Rumi berkata:
Tugasmu bukan
mencari
Cinta,
Tapi hanya mencari
Semua halangan
dalam dirimu
Yang kau bangun tuk
Melawannya.
Hawa nafsu!
Oleh sebab itu, bagi Rumi, kita perlu memusatkan kembali
mata batin kita sehingga lepas dari perhatian duniawi hingga akhirnya kita bisa
bermakrifat dengan Allah. Dan hal itu bisa ditempuh melalui aktifitas yang
dinamakan Riyadhoh, yang berarti latihan. Maka selanjutnya, Rumi kemudian
menciptakan sebuah model Riyadhoh dalam bentuk tari yang berputar-putar.
Cinta bagi Rumi adalah cinta kepada Tuhan. Itulah cinta
sejati, tidak pernah lekang oleh waktu, Selain itu adalah sementara atau fana. Maka
untuk menggapai kesejatian cinta, kita mesti menempuh sendiri jalan menujuNya
(suluk).