Puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah tahunan yang
dilaksanakan oleh ummat islam. Sama seperti ibadah yang lainnya, ia tidak boleh
dimaknai sebatas ritual belaka. Karena setiap praktik keagamaan memiliki tujuan
tersendiri meski secara subtansi sama yakni penghambaan diri kepada Tuhan.
Namun dalam praktik puasa, Allah membedakannya dengan
ibadah yang lain. Dalam sebuat hadits Qudsi dikatakan bahwa pembedanya dengan
ibadah yang lain adalah bahwa jika ibadah yang lain akan kembali kepada si
hamba, maka puasa adalah untuk Allah sendiri dan Ia yang langsung akan
(menentukan kadar) membalasnya.
Hassan Hanafi, seorang filsuf islam pernah mengatakan
bahwa nama-nama Allah yang terkumpul dalam Asmaul Husna tidaklah sekedar
menjadi ‘hiasan’ langit, namun ia mestinya ditarik ke bumi lalu
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Memaknai pendapat tersebut,
mungkin dari sekian praktik keagamaan maka puasalah yang paling representatif
sebagai medium ‘menarik’ kembali sifat-sifat Allah yang terangkum dalam
Asmaul-Husna tersebut.
Sebagai contoh, Ar-Rahman Ar-Rahim yang berarti maha
pengasih dan maha penyayang. Tidak jarang diantara kita yang sudah gagap
mengaktualisasikan sifat tersebut. Lebih-lebih selama musim pemilu yang baru
saja kita lewati. Cacian, hujatan, ujaran kebencian, dan fitnah seperti menu
makanan setiap hari. Akibatnya, dada kita disesaki dengan rasa saling curiga,
dendam, dengki, dsb. Semua itu justru menjadi paradox dengan cita-cita untuk
mengejewantahkan sifat Allah ‘yang maha pengasih dan penyayang’ tersebut.
Maka dalam praktik puasa, kita dididik untuk lebih bisa menahan
ego, arogansi, ketamakan, dan ketidak jujuran. Kemudian jika semua itu bisa
kita lakukan lalu secara otomatis akan menjauhkan kita dari kebenciani yang
biasanya berwujud mencaci, menghujat, memfitnah, dsb. Dalam arti yang sama,
jika hal itu secara terus-menerus kita mampu praktikan minimal selama sebulan
ini, maka secara tidak langsung kita sedang menumbuhkan sifat ‘kasih dan
sayang’ dalam diri kita. Karena ketiadaan membenci akan cenderung untuk
mengasihi dan menyayangi.
Inilah yang dimaksud bahwa puasa adalah untuk Allah.
Dimana sifat-sifatNya tidak hanya menjadi ‘hiasan langit’ akan tetapi menjadi
rahmat di atas bumi melalui manifestasi prilaku hamba-hambanya yang dilatih
melalui sebuah proses yang bernama puasa. Maka tidak mengherankan jika Allah
kemudian memberikan garansi bahwa Ia yang langsung memberikan ganjaran kepada
hambanya yang mampu menjalankannya secara sungguh-sungguh, karena hanya Dia
yang mengetahui sejauh mana kualitas praktik itu dikerjakan.