”Lailatul Qadri
khairummin alfi syahr” adalah salah satu penggalan ayat dalam Al-Quran (surat
Al-Qadr ayat ke-3)yang menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan Lailautul
Qadr. Keterangan singkat yang menyisakan beribu pertanyaan lagi tentang hakikat
sebenarnya dari Lailatul Qadr. Ada yang menafsirkan secara numerik, bahwa
seribu bulan berarti sekitar 83 tahun, dengan begitu beribadah pada malam
diturunkannya Lailatul Qadr sama artinya dengan beribadah sebanyak tahun
tersebut.
Ada yang yang secara metafor menganggap bahwa seribu bulan
bermakna kebaikan yang banyak, meningkatnya kualitas ibadah. Seribu bulan juga
menunjukkan waktu yang panjang sehingga kemudian ia dikaitkan dengan kualitas
ibadah yang tidak pernah putus atau yang biasa dikenal dengan istiqamah
(konsisten). Sehingga ibadah yang dilakukan secara istiqamah, secara khusus
pasca Ramadhan adalah Lailatul Qadr itu sendiri.
Ada pula yang mengartikannya secara ikonik dan mitologis. Bahwa
lailatul Qadr memiliki tanda-tanda kedatangan kepada individu yang akan
diberikan seribu kelebihan berupa pemandangan pohon terbalik, air tidak keluar
dari wadahnya saat dipakai wudhu padahal diisi penuh. Atau semburat cahaya yang
jatuh tepa didepan sendiri. Yang jika memanjatkan doa pada saat tanda-tanda itu
muncul, secepat mungkin doa itu akan terkabul.
Tafsir akan selalu menjadi inspirasi bagi pemeluknya. Dalam
hal tafsir Lailatul Qadr dan dari sekian banyak tafsir tentangnya, kitalah yang
memilih yang mana akan kita yakini dan itu akan menginsipirasi kita dalam
sikap. Jika kita meyakini tafsirnya yang numerik, mungkin kita akan
hitung-hitung balasan pahala ibadah kita dan merasa puasa hanya sekedar
memperbanyak ibadah pada hari ganjil.
Lalu jika kita meyakini tafsir ikonik atau mitosnya, bisa
jadi malah kita malas beribadah, karena menganggap Lailatul Qadr tidak ada
kaitannya dengan ibadah itu sendiri. Ia bak Jin yang keluar dari lampu ajaib
dan bertanya kepada empunya “silakan mengajukan satu permintaan”, darr, apa
yang diminta lantas terwujud.
Dan bagi yang meyakini tafsir metafornya, akan fokus pada
peningkatan ibadah tanpa memilah milih ganjil genapnya hari-hari akhir
Ramadhan. secara terus menerus ia melakukan intropeksi diri dalam rangka
perbaikan kualitas ibadah. Baginya, kualitas ibadah yang terus menerus membaik
adalah wujud nyata dari Lailatul Qadr.