Tiga kali bermimpi dengan mimpi yang sama membuat Nabi
Ibrahim memantapkan hati bahwa perintah dalam mimpinya adalah benar dari Tuhan.
Dengan keyakinan yang mantap itu Ia kemudian menyampaikan perintah yang
diterimanya tersebut kepada anaknya Ismail. Bukannya menolak, Ismail kecil
justru dengan lantang menjawab “Jika memang benar itu perintah Tuhan, lakukan
ayah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar”.
Ibrahim terheran-heran melihat ketegaran anaknya. Tak disangka ia menerima dengan ikhlas apa
yang menjadi mimpi ayahnya:perintah menyembelihnya. Apa yang lebih buruk dari
mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan? Apalagi itu sudah mengkristal
menjadi sebuah keyakinan akan perintah Tuhan.
Tuhan akhirnya menerima iman Ibrahim dan Ismail melalui
sebuah pengorbanan yang sangat menguji itu. Akhir cerita, dalam totalitas
pengabdian kepada Tuhan itu, Ismail diselamatkan olehNya dan digantikan oleh
seekor domba. Sebuah kisah yang sangat dramatis yang menggambarkan betapa tinggi
tingkat keimanan seorang nabi kepada Tuhannya.
Begitu kira-kira hikmah singkat yang kebanyakan kita tangkap
dari kisah tersebut. Lebih dari itu, kita tahu bersama bahwa itulah sebuah
momentum dimana lahirnya perintah berkurban setiap hari raya Iduladha. Sebuah
perintah mengenang kisah sejarah yang secara aksiologis berdampak secara
horizontal yakni pada kehidupan sosial kita;dimana setiap orang (yang mampu)
berderma dalam bentuk binatang kurban yang dagingnya disalurkan kepada
orang-orang miskin.
Akan tetapi terlepas dari semua itu, saya justru menangkap hal
lain dari kisah tersebut:bahwa faktor idiologis seringkali ditempatkan lebih
utama oleh seseorang dari faktor humanisnya. Melalui legitimasi “Atas nama
Tuhan” maka sah-sah saja menghilangkan nyawa seseorang meski itu adalah anak
kandung sendiri. Syukurlah, Ibrahim adalah seorang nabi. Sama seperti nabi-nabi
yang lain, baik pengetahuan ataupun prilakunya langsung dibimbing oleh Tuhan.
Sehingga saat ia khilaf, maka sesegera mungkin dikoreksi langsung oleh Tuhan.
Namun sayangnya pemandangan yang kita saksikan hari ini
adalah banyaknya orang-orang, kelompok dan golongan yang hanya bermodalkan
tafsir -selevel terjemahan- ayat-ayat suci mengklaim bahwa perbuatan yang
merusak nilai-nilai kemanusiaan dianggap bagian dari perintah Tuhan. Apa yang kemudian disebut terorisme sampai
hari ini masih saja terjadi.
Teror-teror yang mereka lakukan sudah banyak menumpahkan
darah manusia. Padahal Tuhan sendiri justru telah menjamin satu jiwa dengan
harga yang lebih mahal dari dunia dan seisinya. Ironisnya disaat yang sama
mereka justru melakukannya atas nama Tuhan itu sendiri.
Masih terbayang di mata yang pernah menyaksikan bagaimana
bangganya Amrozi;pelaku bom Bali yang telah menewaskan ratusan jiwa, sumringah
saat akan dieksekusi mati. Sebuah simbol kebanggaan atas apa yang telah
diperbuat, dan kita tahu ia melakukannya karena alasan-alasan teologis. Namun Amrozi
hanyalah satu orang, masih banyak amrozi-amrozi yang lain di luar sana yang
bisa saja menjadi bom waktu:tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
mengaktualisasikan hasrat pembuktian keyakinan teologisnya dengan cara mengkebiri
nilai kemanusiaan yang ada.
Jika merefleksi lebih jauh ke abad-abad sebelumnya,
perang-perang yang mengorbankan begitu banyak jiwa manusia juga tidak terlepas dari
pencatutan nama Tuhan. Terlepas dari apakah itu hanyalah politisasi elit atau
bukan, pada akhirnya Tuhan jualah yang ikut terseret pada tragedi penindasan
manusia.
Maka jika dipandang sekilas, wajar kiranya manusia pada era
post-modernisme ini dengan penuh keyakinan “membunuh” Tuhan. Mungkin sebagai
ungkapan rasa muak terhadap anarki-anarki masa lampau yang telah meluluh
lantahkan manusia dan nilai-nilai kemanusian yang selalu mengatasnamakan Tuhan
itu.
Disisi lain Saya teringat sebuah kisah tentang Umar bin
Khattab di sebuah wilayah penaklukannya-penaklukan pertama kalinya tanpa perang
dan korban jiwa;hanya melalui diplomasi-, ia berkata pada kaumnya,“Sungguh,
perang yang paling hebat adalah perang yang dimenangkan tanpa meneteskan darah
manusia”. Sungguh sebuah kenyataan sejarah yang terbalik dari tuduhan-tuduhan
bahwa agama hanyalah sebuah inspirasi kekerasan (banyak lagi sebenarnya
kisah-kisah tentang bagaimana sesungguhnya Islam jauh lebih mengutamakan
perdamaian daripada peperangan namun tentu tidak bisa dibahas pada tulisan ini).
Kembali kepada kisah Nabi Ibrahim diatas, disini saya tidak
sedang men-judge bahwa peristiwa
tersebut adalah geneologi pengabaian nilai-nilai kemanusiaan dengan dalih-dalih
teologis. Bahkan tak ada satupun literatur yang menjelaskan demikian. Namun saya
hanya ingin kita menangkap pesan lain yang ada dalam kisah tersebut yang
rupanya relevan kita terapkan pada saat ini: setinggi apapun pembuktian
penghambaan kita kepada Tuhan, tak boleh dilakukan dengan mengorbankan manusia
dan nilai kemanusiaan kita.
Yang pantas kita korbankan adalah nafsu yang ada pada diri
kita-disimbolkan dengan digantikannya Ismail (manusia) dengan domba (binatang).
Jika kita telah mampu membunuh nafsu yang ada pada diri kita, maka dengan
sendirinya kita akan sampai pada tingkat penghambaan yang tertinggi kepada
Tuhan.
Maka bisa kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pesan-pesan
yang dibawa oleh Agama adalah untuk keselamatan manusia itu sendiri. Sebaliknya,
kita bisa membuktikan kepada orang-orang yang sinis dan menuduh agama sebagai
biang kerok pelanggaran nilai-nilai kemanusian bahwa nilai tertinggi agama
adalah keselamatan untuk manusia, jikapun ada pengikutnya yang melanggarnya,
sesungguhnya ia belum mampu (faham) nilai tertinggi itu.