Idul adha dan Prinsip Humanisme - Amaq Solah
News Update
Loading...

Sunday, August 11, 2019

Idul adha dan Prinsip Humanisme


Tiga kali bermimpi dengan mimpi yang sama membuat Nabi Ibrahim memantapkan hati bahwa perintah dalam mimpinya adalah benar dari Tuhan. Dengan keyakinan yang mantap itu Ia kemudian menyampaikan perintah yang diterimanya tersebut kepada anaknya Ismail. Bukannya menolak, Ismail kecil justru dengan lantang menjawab “Jika memang benar itu perintah Tuhan, lakukan ayah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar”.

Ibrahim terheran-heran melihat ketegaran anaknya.  Tak disangka ia menerima dengan ikhlas apa yang menjadi mimpi ayahnya:perintah menyembelihnya. Apa yang lebih buruk dari mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan? Apalagi itu sudah mengkristal menjadi sebuah keyakinan akan perintah Tuhan.

Tuhan akhirnya menerima iman Ibrahim dan Ismail melalui sebuah pengorbanan yang sangat menguji itu. Akhir cerita, dalam totalitas pengabdian kepada Tuhan itu, Ismail diselamatkan olehNya dan digantikan oleh seekor domba. Sebuah kisah yang sangat dramatis yang menggambarkan betapa tinggi tingkat keimanan seorang nabi kepada Tuhannya.

Begitu kira-kira hikmah singkat yang kebanyakan kita tangkap dari kisah tersebut. Lebih dari itu, kita tahu bersama bahwa itulah sebuah momentum dimana lahirnya perintah berkurban setiap hari raya Iduladha. Sebuah perintah mengenang kisah sejarah yang secara aksiologis berdampak secara horizontal yakni pada kehidupan sosial kita;dimana setiap orang (yang mampu) berderma dalam bentuk binatang kurban yang dagingnya disalurkan kepada orang-orang miskin.

Akan tetapi terlepas dari semua itu, saya justru menangkap hal lain dari kisah tersebut:bahwa faktor idiologis seringkali ditempatkan lebih utama oleh seseorang dari faktor humanisnya. Melalui legitimasi “Atas nama Tuhan” maka sah-sah saja menghilangkan nyawa seseorang meski itu adalah anak kandung sendiri. Syukurlah, Ibrahim adalah seorang nabi. Sama seperti nabi-nabi yang lain, baik pengetahuan ataupun prilakunya langsung dibimbing oleh Tuhan. Sehingga saat ia khilaf, maka sesegera mungkin dikoreksi langsung oleh Tuhan.

Namun sayangnya pemandangan yang kita saksikan hari ini adalah banyaknya orang-orang, kelompok dan golongan yang hanya bermodalkan tafsir -selevel terjemahan- ayat-ayat suci mengklaim bahwa perbuatan yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dianggap bagian dari perintah Tuhan.  Apa yang kemudian disebut terorisme sampai hari ini masih saja terjadi.

Teror-teror yang mereka lakukan sudah banyak menumpahkan darah manusia. Padahal Tuhan sendiri justru telah menjamin satu jiwa dengan harga yang lebih mahal dari dunia dan seisinya. Ironisnya disaat yang sama mereka justru melakukannya atas nama Tuhan itu sendiri.

Masih terbayang di mata yang pernah menyaksikan bagaimana bangganya Amrozi;pelaku bom Bali yang telah menewaskan ratusan jiwa, sumringah saat akan dieksekusi mati. Sebuah simbol kebanggaan atas apa yang telah diperbuat, dan kita tahu ia melakukannya karena alasan-alasan teologis. Namun Amrozi hanyalah satu orang, masih banyak amrozi-amrozi yang lain di luar sana yang bisa saja menjadi bom waktu:tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengaktualisasikan hasrat pembuktian keyakinan teologisnya dengan cara mengkebiri nilai kemanusiaan yang ada.

Jika merefleksi lebih jauh ke abad-abad sebelumnya, perang-perang yang mengorbankan begitu banyak jiwa manusia juga tidak terlepas dari pencatutan nama Tuhan. Terlepas dari apakah itu hanyalah politisasi elit atau bukan, pada akhirnya Tuhan jualah yang ikut terseret pada tragedi penindasan manusia.

Maka jika dipandang sekilas, wajar kiranya manusia pada era post-modernisme ini dengan penuh keyakinan “membunuh” Tuhan. Mungkin sebagai ungkapan rasa muak terhadap anarki-anarki masa lampau yang telah meluluh lantahkan manusia dan nilai-nilai kemanusian yang selalu mengatasnamakan Tuhan itu.

Disisi lain Saya teringat sebuah kisah tentang Umar bin Khattab di sebuah wilayah penaklukannya-penaklukan pertama kalinya tanpa perang dan korban jiwa;hanya melalui diplomasi-, ia berkata pada kaumnya,“Sungguh, perang yang paling hebat adalah perang yang dimenangkan tanpa meneteskan darah manusia”. Sungguh sebuah kenyataan sejarah yang terbalik dari tuduhan-tuduhan bahwa agama hanyalah sebuah inspirasi kekerasan (banyak lagi sebenarnya kisah-kisah tentang bagaimana sesungguhnya Islam jauh lebih mengutamakan perdamaian daripada peperangan namun tentu tidak bisa dibahas pada tulisan ini).  

Kembali kepada kisah Nabi Ibrahim diatas, disini saya tidak sedang men-judge bahwa peristiwa tersebut adalah geneologi pengabaian nilai-nilai kemanusiaan dengan dalih-dalih teologis. Bahkan tak ada satupun literatur yang menjelaskan demikian. Namun saya hanya ingin kita menangkap pesan lain yang ada dalam kisah tersebut yang rupanya relevan kita terapkan pada saat ini: setinggi apapun pembuktian penghambaan kita kepada Tuhan, tak boleh dilakukan dengan mengorbankan manusia dan nilai kemanusiaan kita.

Yang pantas kita korbankan adalah nafsu yang ada pada diri kita-disimbolkan dengan digantikannya Ismail (manusia) dengan domba (binatang). Jika kita telah mampu membunuh nafsu yang ada pada diri kita, maka dengan sendirinya kita akan sampai pada tingkat penghambaan yang tertinggi kepada Tuhan.

Maka bisa kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pesan-pesan yang dibawa oleh Agama adalah untuk keselamatan manusia itu sendiri. Sebaliknya, kita bisa membuktikan kepada orang-orang yang sinis dan menuduh agama sebagai biang kerok pelanggaran nilai-nilai kemanusian bahwa nilai tertinggi agama adalah keselamatan untuk manusia, jikapun ada pengikutnya yang melanggarnya, sesungguhnya ia belum mampu (faham) nilai tertinggi itu.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done