Baru saja tiba di taman Sangkareang kami langsung disambut
oleh anak-anak yang menjajakan dagangannya. Belum sempat meminta istri saya
membayarnya ia lebih dahulu mengulurkan uang membayar donatnya sambil bertanya
“berapa?”, “satu mika 5 ribu bu”. Jawab anak itu. “Satu saja”imbuh istri saya
lagi. Iapun berlalu dan kami melanjutkan perjalanan membawa anak kami sholah
bersenang-senang bermain dengan anak yang lain.
Sambil mengawasi Sholah, pandangan saya sesekali terarah ke
sudut taman. Nampak beberapa pengamen berusia sedewasa saya sedang asyik
menghibur ibu-ibu yang sepertinya sedikit acuh terhadapnya. Belum sempat mereka
menyelesaikan lagunya, ibu-ibu itu langsung memberikan satu lembar uang
bernilai 2000 rupiah. Lantas sang pengamen itu berlalu meninggalkan ibu-ibu itu
dan berpindah ke “target” yang lain.
Dua pemandangan itulah yang terus menerus saya saksikan
selama menemani Sholah bermain. Anak-anak berusia rata-rata sekitar 12 tahun
berpencar berkeliling menjajakan dagangannya dan para pengamen yang rata-rata
berusia setua saya yakni 26 tahun juga nampak tak mau kalah berkeliling
memainkan nada-nada mereka demi mengumpulkan rupiah. Dua generasi, satu tujuan
beda cara. Seolah menggambarkan dua pemandangan: para penerus masa lalu dan
para penikmat masa depan.
Mengamen memang bukanlah perkerjaan yang salah, namun kita
tentu tahu bahwa perbedaannya dengan mengemis hanyalah pada usaha “hiburannya”,
sisanya meminta belas asih. Artinya, tidak ditemukan di dalamnya sebuah
kreatifitas dan kerja keras serta etos kerja.
Cukup dengan memiliki sedikit kemampuan bermain gitar dengan
suara pas-pasan-tentu tidak semua demikian, maka sudah bisa mendapatkan apa
yang saya katakan tadi dengan belas asih orang-karena kebanyakan orang
mendengarkan dengan keterpaksaan. Yang ingin saya katakan adalah, apa yang bisa
diharapkan dari sebuah kemampuan bermusik pas-pasan di masa yang akan datang
kecuali akan mentok seperti itu. Mungkin hanya segelintir pengamen yang akan
bisa menjadi penyanyi papan atas yang akan dibayar mahal saat tampil. Sisanya
akan terus meminta belas asih orang.
Mengamen juga tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah
pekerjaan sehingga tidak bisa menjadi indikator kemajuan sebuah daerah. Malah
hanya akan menambah daftar kemiskinan, pengangguran, dan kualitas etos kerja
yang rendah. Jika itu realitas yang banyak terjadi, maka mereka hanya akan menjadi
penerus masa lalu yang baik;IPM kedua terburuk, tingkat pengangguran dan
kemiskinan yang masih tinggi, etos kerja yang rendah.
Sebaliknya, kita bisa berharap banyak dari anak-anak yang
sejak dini membuang rasa malu dan gengsinya berkeliling menjajakan dagangannya.
Mungkin pendapatan mereka tidak seberapa, tidak lebih banyak dari pengamen,
tetapi terlepas dari itu mereka sudah menginvestasikan diri mereka dengan
melatih jiwa enterpreunur-nya sejak
dini. Tidak mustahil 20 tahun kemudian mereka akan menjadi pengusaha hebat. Padahal
indikator negara maju ditentukan dari seberapa banyak pengusaha yang dia
miliki. Singapura memiliki 7% pengusaha dari jumlah penduduknya sedangkan Indonesia
hanya memiliki 3%. Maka wajar kita masih sulit mengejar tetangga kecil kita
itu.
Tetapi rasanya mengejar ketertinggalan itu tidak akan sulit
di masa yang akan datang jika generasi penerus kita rata-rata memiliki mental
seperti anak-anak itu. Merekalah penentu kegemilangan masa depan daerah dan
bangsa, dan merekalah para penikmat masa depan itu.