Penerus Masa Lalu Dan Penikmat Masa Depan - Amaq Solah
News Update
Loading...

Tuesday, September 3, 2019

Penerus Masa Lalu Dan Penikmat Masa Depan


Baru saja tiba di taman Sangkareang kami langsung disambut oleh anak-anak yang menjajakan dagangannya. Belum sempat meminta istri saya membayarnya ia lebih dahulu mengulurkan uang membayar donatnya sambil bertanya “berapa?”, “satu mika 5 ribu bu”. Jawab anak itu. “Satu saja”imbuh istri saya lagi. Iapun berlalu dan kami melanjutkan perjalanan membawa anak kami sholah bersenang-senang bermain dengan anak yang lain.

Sambil mengawasi Sholah, pandangan saya sesekali terarah ke sudut taman. Nampak beberapa pengamen berusia sedewasa saya sedang asyik menghibur ibu-ibu yang sepertinya sedikit acuh terhadapnya. Belum sempat mereka menyelesaikan lagunya, ibu-ibu itu langsung memberikan satu lembar uang bernilai 2000 rupiah. Lantas sang pengamen itu berlalu meninggalkan ibu-ibu itu dan berpindah ke “target” yang lain.

Dua pemandangan itulah yang terus menerus saya saksikan selama menemani Sholah bermain. Anak-anak berusia rata-rata sekitar 12 tahun berpencar berkeliling menjajakan dagangannya dan para pengamen yang rata-rata berusia setua saya yakni 26 tahun juga nampak tak mau kalah berkeliling memainkan nada-nada mereka demi mengumpulkan rupiah. Dua generasi, satu tujuan beda cara. Seolah menggambarkan dua pemandangan: para penerus masa lalu dan para penikmat masa depan.

Mengamen memang bukanlah perkerjaan yang salah, namun kita tentu tahu bahwa perbedaannya dengan mengemis hanyalah pada usaha “hiburannya”, sisanya meminta belas asih. Artinya, tidak ditemukan di dalamnya sebuah kreatifitas dan kerja keras serta etos kerja.

Cukup dengan memiliki sedikit kemampuan bermain gitar dengan suara pas-pasan-tentu tidak semua demikian, maka sudah bisa mendapatkan apa yang saya katakan tadi dengan belas asih orang-karena kebanyakan orang mendengarkan dengan keterpaksaan. Yang ingin saya katakan adalah, apa yang bisa diharapkan dari sebuah kemampuan bermusik pas-pasan di masa yang akan datang kecuali akan mentok seperti itu. Mungkin hanya segelintir pengamen yang akan bisa menjadi penyanyi papan atas yang akan dibayar mahal saat tampil. Sisanya akan terus meminta belas asih orang.

Mengamen juga tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah pekerjaan sehingga tidak bisa menjadi indikator kemajuan sebuah daerah. Malah hanya akan menambah daftar kemiskinan, pengangguran, dan kualitas etos kerja yang rendah. Jika itu realitas yang banyak terjadi, maka mereka hanya akan menjadi penerus masa lalu yang baik;IPM kedua terburuk, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, etos kerja yang rendah.

Sebaliknya, kita bisa berharap banyak dari anak-anak yang sejak dini membuang rasa malu dan gengsinya berkeliling menjajakan dagangannya. Mungkin pendapatan mereka tidak seberapa, tidak lebih banyak dari pengamen, tetapi terlepas dari itu mereka sudah menginvestasikan diri mereka dengan melatih jiwa enterpreunur-nya sejak dini. Tidak mustahil 20 tahun kemudian mereka akan menjadi pengusaha hebat. Padahal indikator negara maju ditentukan dari seberapa banyak pengusaha yang dia miliki. Singapura memiliki 7% pengusaha dari jumlah penduduknya sedangkan Indonesia hanya memiliki 3%. Maka wajar kita masih sulit mengejar tetangga kecil kita itu.

Tetapi rasanya mengejar ketertinggalan itu tidak akan sulit di masa yang akan datang jika generasi penerus kita rata-rata memiliki mental seperti anak-anak itu. Merekalah penentu kegemilangan masa depan daerah dan bangsa, dan merekalah para penikmat masa depan itu.

Share with your friends

Give us your opinion

1 comments

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done