“There are, after all, many people who claim
to know something when they don’t; so how can one separate the rightful claim
to know from mistaken ones?” John Hosper.
Ungkapan John hosper diatas adalah salah satu upayanya
mengantarkan kita pada kajian salah satu cabang filsafat yakni epistimologi
(filsafat pengetahuan). Namun dalam kesempatan ini saya tidak mencoba untuk menjelaskannya.
saya hanya tertarik mengutipnya karena pada kesempatan ini saya diberikan
kesempatan menyampaikan materi dengan topik “let’s
know ourselves”. Dimana kata “know”
itu sendiri adalah akar kata dari “knowledge”,
padahal kata ini telah menjadi pokok pembahasan filsuf-filsuf dari masa kemasa
yang dalam perjalanannya melahirkan teori-teori dalam filsafat epistimologi itu
sendiri.
Yang ingin saya sampaikan adalah memaknai kalimat “let’s know ourselves” secara literal
mungkin merujuk kepada salah satu kajian kosmologi yakni manusia (mikrokosmos).
Tetapi jika memang ini yang dimaksud maka tentu kita akan sampai pada
ambiguitas yang lain;manusia dalam konteks biologi? atau psikologi? Atau sosiologi?
Ekonomi? Atau bahkan politik? Semua pendekatan itu tentunya akan dikaji dalam
masing-masing bidang disiplin keilmuannya secara terpisah. Untuk itu perlu kiranya
panitia memberikan yang lebih spesifik agar tidak terjadi
ambiguitas-ambiguitas.
Namun terlepas dari itu, saya mencoba membatasi pembahasan
dalam ranah yang lebih spesifik dan kontekstual agar sesuai dengan kebutuhan
peserta. Dalam hal ini kita akan mencoba melihat dari sudut pandang
identitasnya sebagai mahasiswa.
Tanggung Jawab
Mahasiswa
Tanggung jawab mahasiswa sejalan dengan tanggung jawabnya
sebagai kaum intelektual. Dimana salah satu tanggung jawab kaum intelektual
adalah sebagai pencerahan atau dalam istilah jerman disebut Aufklarung,
Dalam istilah Poulo freire (1921-1997) disebut sebagai Costientizacao
yang berarti penyadaran. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan
Benda (1867-1956) bahwa kaum intelektual itu adalah kaum yang memperjuangkan
keadilan dan kebenaran, tidak ditunggangi ambisi materi dan kepentingan sesaat.
Selain itu kaum intelektual dalam pandangan Benda haruslah tekun dalam bidang
yang digelutinya.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, mahasiswa harus
mengerti bahwa hal tersebut dilakukan semata karena mereka memiliki peran yang
urgen. Peran yang dimaksud sangat populer kita dengar yakni agent of change, agent of social control,
dan iron stock. Ketiga peran ini mirip dengan tujuan pendidikan pedagogy
kritis ala Freire yang membagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, kesadaran magis. Ciri kesadaran ini menurut Freire
adalah bahwa mereka mengetahui melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui
adalah tindakan untuk mengubah. Jika mahasiswa masih pada kesadaran ini maka
sudah pasti peran pertama sebagai agent
of change adalah “jauh api dari panggangnya”.
Kedua, kesadaran naïf. Ciri khas kesadaran ini adalah
romantisme. Mereka seringkali menimpakan kesalahan kepada individu-individu
bukannya kepada sistem. Kesadaran yang mereka bangun selalu dihubungkan dengan
masa lalu yang (menurut mereka) lebih baik.
Ketiga, kesadaran kritis. Dalam tahap ini, mereka mulai
mendapatkan pencerahan, sadar akan adanya inkonsistensi dalam sebuah sistem. Dengan
begitu mereka terdorong untuk melakukan perubahan baik berupa rekomendasi atau
bahkan gerakan. Selain itu, pada tahap
ini mereka juga akan lebih inklusif, menghindari polemik dan mengedepankan
dialog serta mau menerima revisi. Mereka juga fokus terhadap perbaikan sistem
yang mensejahterakan bukan sekedar mengganti kekuasaan.
Namun selain tiga tingkat kesadaran yang dijelaskan Freire,
ia juga menjelaskan suatu distorsi antara kesadaran naïf dan kesadaran kritis. Pada
transisi antara kesadaran naïf dan kritis ini, seringkali mereka tidak sadar
jatuh pada kesadaran yang disebut oleh Freire sebagai kesadaran fanatik. Yang ditekankan
oleh distorsi ini adalah masifikasi bukannya perubahan itu sendiri.
Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan dari nasib
yang tertindas menjadi bebas dan sejahtera. Sebalikanya distorsi melahirkan
perubahan yang sama yakni dari keadaan tertindas ke dalam keadaan tertindas
lainnya. Inilah kesadaran yang sering dimanfaatkan oleh pemimpin populis untuk
meraih dukungan baik secara langsung atau tidak langsung.
Mahasiswa dan Logika Waktu Pendek
Untuk menggapai kesadaran-kesadaran yang dimaksudkan diatas,
mahasiswa harus total dalam menjalani disiplin keilmuannya. Selain itu sangat
dibutuhkan sifat keterbukaan dalam membaca referensi-referensi diluar disiplin
keilmuannya utamanya yang berkaitan dengan gerakan sosial kemasyarakatan. Jika kedua
hal ini dimatangkan, kesadaran kritis seperti cita-cita Freire pasti bukanlah
isapan jempol semata.
Namun selain karena faktor internal (kurangnya motivasi
untuk benar-benar ahli dalam disiplin keilmuan) ada faktor eksternal yang
belakangan ini menarik untuk diperhatikan. Faktor yang dimaksud adalah logika
waktu pendek, yang belakangan sudah menjadi karakter mahasiswa kekinian. Logika
waktu pendek ini sebenarnya semakin menguat disebabkan oleh dua pola hubungan. Pertama,
kekuasaan pasar. Kedua, budaya hedonisme.
Memang tidak semua mahasiswa bisa kita katakan hedonis, namun
di zaman dimana eksistensi sudah menjadi barang konsumsi maka tentu sangat
sulit menemukan mahasiswa yang tidak hedonis. Buruknya, budaya inilah yang
dimanfaatkan pasar. Mereka menyajikan segala sesuatu dengan instan, salah
satunya penyajian informasi yang sensasional dan bombastis. Mereka faham
terhadap konsumen pasar yang cenderung membutuhkan informasi siap saji guna
sebagai sarana pemenuhan kenikmatan berupa maksimalisasi eksistensi.
Sindrom ini telah merangsek kedalam semua kalangan tidak
terkecuali mahasiswa. Mereka yang telah terjangkiti oleh sindrom waktu pendek
cenderung reaktif dan tidak kenal konpromi atau lebih tepatnya tidak dialektis.
Jika ini yang terjadi, maka kesadaran kritis yang dicita-citakan Freire
hanyalah utopia. Bagaimana tidak, kesadaran kritis membuka ruang dialog dan
cenderung mengedepankan penafsiran yang mendalam. Padahal ini sangat
bertentangan dengan logika waktu pendek yang membutuhkan informasi yang instan.
Contoh yang paling aktual adalah aksi yang dilakukan oleh
Mahasiswa se-Indonesia. Tidak ada yang salah dalam aksi tersebut jika dilihat
dari kacamata hak konstitusional. Namun siapa yang berani menjamin berapa
persen dari mereka yang faham secara mendalam permasalahan yang mereka tuntut? Siapa
yang berani menjamin segerombolan anak STM faham tentang nilai apa yang mereka
perjuangkan dengan aksi anarkis? Anehnya setelah mereka melakukannya mereka
segera dipuja di dunia maya bak superhero,padahal dibalik itu tidak ada yang
tahu diam-diam anak-anak yang lain menginginkan seperti mereka, bukan dalam
rangka memperjuangkan nilai tapi agar bisa berbuat anarkis.
Tentu saya tidak sedang memojokkan para demonstran itu dan
berpihak pada rezim, sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada
sindrom yang sedang menjagkiti kita, ada pasar yang terus mengeruk keuntungan
dan yang paling penting ada tingkat kesadaran yang tidak tercapai. Memang sangat
ironis jika kesadaran yang tidak purna (kritis) seperti yang diinginkan Freire
bertemu dengan logika waktu pendek, maka perjuangan terhadap sistem yang
menindas itu justru akan jatuh ke dalam sistem yang menindas lainnya.