Let's Know Ourselves - Amaq Solah
News Update
Loading...

Friday, October 4, 2019

Let's Know Ourselves


“There are, after all, many people who claim to know something when they don’t; so how can one separate the rightful claim to know from mistaken ones?”  John Hosper.


Ungkapan John hosper diatas adalah salah satu upayanya mengantarkan kita pada kajian salah satu cabang filsafat yakni epistimologi (filsafat pengetahuan). Namun dalam kesempatan ini saya tidak mencoba untuk menjelaskannya. saya hanya tertarik mengutipnya karena pada kesempatan ini saya diberikan kesempatan menyampaikan materi dengan topik “let’s know ourselves”. Dimana kata “know” itu sendiri adalah akar kata dari “knowledge”, padahal kata ini telah menjadi pokok pembahasan filsuf-filsuf dari masa kemasa yang dalam perjalanannya melahirkan teori-teori dalam filsafat epistimologi itu sendiri.

Yang ingin saya sampaikan adalah memaknai kalimat “let’s know ourselves” secara literal mungkin merujuk kepada salah satu kajian kosmologi yakni manusia (mikrokosmos). Tetapi jika memang ini yang dimaksud maka tentu kita akan sampai pada ambiguitas yang lain;manusia dalam konteks biologi? atau psikologi? Atau sosiologi? Ekonomi? Atau bahkan politik? Semua pendekatan itu tentunya akan dikaji dalam masing-masing bidang disiplin keilmuannya secara terpisah. Untuk itu perlu kiranya panitia memberikan yang lebih spesifik agar tidak terjadi ambiguitas-ambiguitas.

Namun terlepas dari itu, saya mencoba membatasi pembahasan dalam ranah yang lebih spesifik dan kontekstual agar sesuai dengan kebutuhan peserta. Dalam hal ini kita akan mencoba melihat dari sudut pandang identitasnya sebagai mahasiswa.

Tanggung Jawab Mahasiswa

Tanggung jawab mahasiswa sejalan dengan tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual. Dimana salah satu tanggung jawab kaum intelektual adalah sebagai pencerahan atau dalam istilah jerman disebut  Aufklarung, Dalam istilah Poulo freire (1921-1997) disebut sebagai  Costientizacao yang berarti penyadaran. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Benda (1867-1956) bahwa kaum intelektual itu adalah kaum yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran, tidak ditunggangi ambisi materi dan kepentingan sesaat. Selain itu kaum intelektual dalam pandangan Benda haruslah tekun dalam bidang yang digelutinya.

Dalam menjalankan tanggung jawabnya, mahasiswa harus mengerti bahwa hal tersebut dilakukan semata karena mereka memiliki peran yang urgen. Peran yang dimaksud sangat populer kita dengar yakni agent of change, agent of social control, dan iron stock. Ketiga peran ini mirip dengan tujuan pendidikan pedagogy kritis ala Freire yang membagi menjadi tiga tingkatan.

Pertama, kesadaran magis. Ciri kesadaran ini menurut Freire adalah bahwa mereka mengetahui melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah. Jika mahasiswa masih pada kesadaran ini maka sudah pasti peran pertama sebagai agent of change adalah “jauh api dari panggangnya”.

Kedua, kesadaran naïf. Ciri khas kesadaran ini adalah romantisme. Mereka seringkali menimpakan kesalahan kepada individu-individu bukannya kepada sistem. Kesadaran yang mereka bangun selalu dihubungkan dengan masa lalu yang (menurut mereka) lebih baik.

Ketiga, kesadaran kritis. Dalam tahap ini, mereka mulai mendapatkan pencerahan, sadar akan adanya inkonsistensi dalam sebuah sistem. Dengan begitu mereka terdorong untuk melakukan perubahan baik berupa rekomendasi atau bahkan gerakan. Selain itu, pada  tahap ini mereka juga akan lebih inklusif, menghindari polemik dan mengedepankan dialog serta mau menerima revisi. Mereka juga fokus terhadap perbaikan sistem yang mensejahterakan bukan sekedar mengganti kekuasaan.

Namun selain tiga tingkat kesadaran yang dijelaskan Freire, ia juga menjelaskan suatu distorsi antara kesadaran naïf dan kesadaran kritis. Pada transisi antara kesadaran naïf dan kritis ini, seringkali mereka tidak sadar jatuh pada kesadaran yang disebut oleh Freire sebagai kesadaran fanatik. Yang ditekankan oleh distorsi ini adalah masifikasi bukannya perubahan itu sendiri.

Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan dari nasib yang tertindas menjadi bebas dan sejahtera. Sebalikanya distorsi melahirkan perubahan yang sama yakni dari keadaan tertindas ke dalam keadaan tertindas lainnya. Inilah kesadaran yang sering dimanfaatkan oleh pemimpin populis untuk meraih dukungan baik secara langsung atau tidak langsung.

Mahasiswa dan Logika Waktu Pendek

Untuk menggapai kesadaran-kesadaran yang dimaksudkan diatas, mahasiswa harus total dalam menjalani disiplin keilmuannya. Selain itu sangat dibutuhkan sifat keterbukaan dalam membaca referensi-referensi diluar disiplin keilmuannya utamanya yang berkaitan dengan gerakan sosial kemasyarakatan. Jika kedua hal ini dimatangkan, kesadaran kritis seperti cita-cita Freire pasti bukanlah isapan jempol semata.

Namun selain karena faktor internal (kurangnya motivasi untuk benar-benar ahli dalam disiplin keilmuan) ada faktor eksternal yang belakangan ini menarik untuk diperhatikan. Faktor yang dimaksud adalah logika waktu pendek, yang belakangan sudah menjadi karakter mahasiswa kekinian. Logika waktu pendek ini sebenarnya semakin menguat disebabkan oleh dua pola hubungan. Pertama, kekuasaan pasar. Kedua, budaya hedonisme.

Memang tidak semua mahasiswa bisa kita katakan hedonis, namun di zaman dimana eksistensi sudah menjadi barang konsumsi maka tentu sangat sulit menemukan mahasiswa yang tidak hedonis. Buruknya, budaya inilah yang dimanfaatkan pasar. Mereka menyajikan segala sesuatu dengan instan, salah satunya penyajian informasi yang sensasional dan bombastis. Mereka faham terhadap konsumen pasar yang cenderung membutuhkan informasi siap saji guna sebagai sarana pemenuhan kenikmatan berupa maksimalisasi eksistensi.

Sindrom ini telah merangsek kedalam semua kalangan tidak terkecuali mahasiswa. Mereka yang telah terjangkiti oleh sindrom waktu pendek cenderung reaktif dan tidak kenal konpromi atau lebih tepatnya tidak dialektis. Jika ini yang terjadi, maka kesadaran kritis yang dicita-citakan Freire hanyalah utopia. Bagaimana tidak, kesadaran kritis membuka ruang dialog dan cenderung mengedepankan penafsiran yang mendalam. Padahal ini sangat bertentangan dengan logika waktu pendek yang membutuhkan informasi yang instan.

Contoh yang paling aktual adalah aksi yang dilakukan oleh Mahasiswa se-Indonesia. Tidak ada yang salah dalam aksi tersebut jika dilihat dari kacamata hak konstitusional. Namun siapa yang berani menjamin berapa persen dari mereka yang faham secara mendalam permasalahan yang mereka tuntut? Siapa yang berani menjamin segerombolan anak STM faham tentang nilai apa yang mereka perjuangkan dengan aksi anarkis? Anehnya setelah mereka melakukannya mereka segera dipuja di dunia maya bak superhero,padahal dibalik itu tidak ada yang tahu diam-diam anak-anak yang lain menginginkan seperti mereka, bukan dalam rangka memperjuangkan nilai tapi agar bisa berbuat anarkis.

Tentu saya tidak sedang memojokkan para demonstran itu dan berpihak pada rezim, sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada sindrom yang sedang menjagkiti kita, ada pasar yang terus mengeruk keuntungan dan yang paling penting ada tingkat kesadaran yang tidak tercapai. Memang sangat ironis jika kesadaran yang tidak purna (kritis) seperti yang diinginkan Freire bertemu dengan logika waktu pendek, maka perjuangan terhadap sistem yang menindas itu justru akan jatuh ke dalam sistem yang menindas lainnya.


Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done