September Kelabu
Seperti biasa setelah bangun tidur aku mengambil air wudhu dan
sholat. Lalu aku biasanya mengecek HP.
Belakangan memang aku intens sekali
mengecek hp karena khawatir ada informasi penting dari pemberi beasiswaku. Hari
itu terasa biasa saja sampai ketika selang satu menit setelah menghidupkan data
seluler satu persatu nampak ucapan “innalillahiwainna…”, ya kalimat yang
terpotong itu satu persatu saling tindih dilayar hpku. Aku menjadi sangat
penasaran dan langsung membuka aplikasi itu.
Aku terkejut menyaksikan foto seorang dosen kesayanganku melengkapi
kalimat tarji’ itu. Tak percaya, satu
persatu pesan itu ku buka dengan teliti. Tidak seperti biasanya aku membaca
pesan itu sangat pelan. Sampai pada akhirnya datang pesan resmi dari kampus
tempat beliau mengabdi. Barulah kemudian aku yakin bahwa kabar duka itu benar
adanya. Saat itu juga aku tak kuasa menahan air mataku. Dada terasa sesak,
mungkin dipenuhi kesedihan yang mendalam. Aku ternyata belum siap mendengar
kabar itu.
Fikiranku seketika terbang jauh ke masa lalu, masa dimana banyak kenangan
terlewat bersamanya. Wajah penuh ketulusan yang setiap mahasiswa mampu
merasakannya, masih jelas dipelupuk mata. Meski terdiam sejenak, memori itu
berputar menayangkan semua serpihan masa lalu bersamanya. Tak terlewat
sedikitpun. Aku jadi faham bahwa rasat sakit akan kehilangan tidak semata
tercipta dari perpisahan, tapi kenangan yang menyertainyalah yang membuatnya semakin dalam.
Aku menarik nafas sejenak, mencoba menenangkan hati. Aku buka lagi
pesan resmi dari kampus, mencari tahu kapan beliau akan dimakamkan. Setelah itu
aku menutup Hp dan mencoba melanjutkan aktifitas sembari mempersiapkan diri
pergi ke tempat disemayamkannya.
***
Di tempat
semayam
Aku tiba dirumah beliau, disambut oleh teman-teman sesama Alumni.
Mereka adalah orang-orang yang pernah merasakan hati lembut beliau. Kami duduk
cukup lama menanti waktu kapan beliau disholatkan sekaligus disemayamkan. Aku
mencoba menghibur diri dengan ikut nimbrung obrolan mereka. Satu persatu mereka
menceritakan kisahnya yang pernah di lalui bersama beliau. Dedi paling awal
memulai ceritanya.
“Mungkin Aku adalah satu-satunya mahasiswa beliau yang dicarikan
uang untuk dibayarkan semesternya” Ungkapnya
“Dicarikan uang? Maksudnya?”tanyaku
“Iya, waktu itu beliau memintaku bayar semester, lalu aku bilang aku
gak punya uang. Keesokan harinya beliau ngasih tahu aku kalau beliau telah
meminjamkanku uang buat bayar semester, gitu”
“Owh, gitu” Tutupku.
Aku pun mendapat giliranku untuk bercerita.
“Aku punya pengalaman yang berbeda dari temen-temen,” aku memulai
cerita
“Kalau temen-temen cerita mungkin yang manis-manisnya sama beliau,
nah kalau aku sedikit pahit”
Mereka menunjukkan wajah keheranan dan seakan memintaku untuk
terus bercerita.
“Iya, dulu Aku pernah disidang oleh beliau bersama tiga orang. Aku,
Rizki, dan Yogi. Waktu itu kami bertiga diminta masuk ruangan. Ketika kami
sudah berjejer di berhadapan dengan mejanya, beliau langsung memprotes,
anda ini
tidak sopan, siapa yang mengizinkan anda men-scan tanda tangan Saya? Anda tidak
boleh melakukan itu tanpa seizin dari empunya. Jangan pernah ulangi lagi itu. Tegas
beliau waktu itu”
Omelan itu sebenarnya lebih ditujukan kepada Yogi. Dia memang
bertanggung jawab karena waktu itu ia adalah ketua HMPS yang menfasilitasi
kami”.
“Lalu?” tanya temenku lagi
“Setelah itu beliau meminta Yogi keluar ruangan duluan, Aku dan Rizki
diminta tetap di tempat. Setelah punggung Yogi tak terlihat lagi, tanpa
menunggu waktu lama beliau langsung menyampaikan apa yang beliau ingin utarakan.
Anda berdua juga sungguh tidak sopan,
kalau anda butuh, ya berusahalah, jangan nitip tanda tangan, terus ngasih tahu
lewat chat. Bukan begitu caranya. Tampak kemarahan beliau terkumpul dari
tadi,
“Setelah meluapkan perasaannya, beliau meminta Rizki keluar dan
memintaku tetap disana. Saat Rizki berlalu, beliau langsung bertanya.” Apa maksud anda meminta pak Roni datang dan
menemuiku tanpa sepengetahuan Saya? tanya beliau. Aku masih bingung dan
mencoba menebak apa maksud beliau. ‘anda
telah mempermalukan Saya, sungguh. Aku terheran-heran tapi tak bermaksud
menyela beliau.
Aku sudah
merencanakan untuk membuatkan SK bagi pak dosen lain sebagai Pembina UKM anda,
dan Aku sudah memberitahu orangnya. Lalu anda datang membawa orang lain dan langsung
mengutarakannya di depan Saya. Bagaimana Saya menolak orang di depan matanya?
Terus apa yang Saya katakana kepada orang yang Saya sudah janjikan akan Saya
berikan SK? Anda benar-benar mempermalukan Saya.
Barulah kemudian aku ngeh
terhadap isi pembicaraan beliau. Beliau ternyata begitu tersinggung dengan
kedatangan pak Roni dan mengira akulah yang memintanya datang dan menemui
beliau. Padahal kejadiannya diluar dugaan. Pada saat itu aku sedang duduk-duduk
di luar ruangan dimana beliau sedang memberikan workshop. Nah, tanpa disengaja pak Roni lewat dan menyalamiku. Aku
pada saat itu tidak tahu bahwa beliau
sudah menunjuk orang yang akan diberikan SK sehingga saat bertemu pak
Roni Aku jadi kefikiran meminta waktu beliau untuk bertemu pak Jito. Maklum
pada saat itu aku pernah sampaikan ke pak Roni bahwa aku ada keinginan
mengajukan beliau menjadi Pembina UKM[1]
kami. Kebetulan saat itu aku masih aktif berperan di organisasi tersebut. Nah
fikiranku saat itu adalah mumpung kami bertiga ada, kenapa tidak kita bertemu
dan langsung menyelesaikannya saat itu? Maka terjadilah pertemuan itu, yang
ternyata begitu membuat pak Jito tersinggung.
"Beliau kemudian menutup kata-katanya, Anda ini Presiden mahasiswa, seharusnya anda menjadi tauladan bagi
mahasiswa yang lain. Anda tidak boleh melakukan cara-cara yang tidak etis.
Tolong perbaiki cara anda. Silakan, anda saya persilakan meninggalkan ruangan Tutup beliau”
Waktu itu aku benar-benar merasa bersalah meskipun ini hanya misunderstanding. Tetapi Aku tidak ingin
sedikitpun mengklarifikasinya, Aku tidak ingin mendebat beliau. Dalam hati Aku
berujar, biarlah semua ini Aku simpan.
Sungguh, cara beliau memperlakukanku tidak sebanding dengan omelan yang hanya
berasal dari misunderstanding.
Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum itu aku telah dipermalukan
oleh salah satu pejabat kampus di depan para pejabat yang lainnya, dan memberikanku
pelajaran yang sungguh indah yakni koreksi dan sampaikan kesalahan orang secara
proporsional. Dan beberapa hari setelahnya aku menyaksikan pelajaran itu lewat
pak Moedjito. Beliau menasehati Yogi tanpa meminta kami bertiga keluar karena
memang kesalahan itu bisa dikatakan kesalahan kami berdua juga. Kamilah yang
meminta Yogi men-scan kan tanda tangan itu sehingga Yogi melakukannya dan
mengirimnya ke beberapa mahasiswa termasuk aku dan Rizki.
Lalu saat beliau meminta Yogi keluar dan menasehati kami berdua,
itu semata karena murni kesalahan kami berdua karena hanya kami berdualah yang
mengirimkan pesan meminta izin mendapatkan tanda tangan. Dan ketika hanya aku sendiri
yang tersisa, itu karena kesalahan itu hanyalah milikku pribadi. Terlepas
apakah itu hanya misunderstanding
atau tidak, yang jelas tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Pelajaran luar biasa yang aku dapatkan dari beliau. Timpakanlah
kesalahan orang secara proporsional. Jangan pernah menasehati, lebih-lebih
memarahi orang lain di depan orang lainnya, apalagi orang lain tersebut tidak
ikut terlibat dalam kesalahan itu. Selain membuat orang lain tidak enakan, hal
tersebut juga sangat menyakiti perasaan yang bersalah. Setelah hari itu, Aku
merenung dan begitu kagum terhadap cara beliau memperlakukan kami, begitu humanisnya beliau, bisikku lirih
dalam hati.
“Itulah hal terindah menurutku yang pernah Aku lalui bersama
beliau” ungkapku kepada teman-teman yang saat itu masih setia mendengarkanku.
Mereka mengangguk pelan.
“Bagaimana hubunganmu setelah kejadian itu?” tanya mereka
“Itu yang semakin membuatku kagum. Setelah keluar dari ruangan
itu, beliau kembali seperti biasa. Tak sedikitpun menganggap kejadian itu
pernah terjadi. Buktinya tidak lama dari itu beliau memintaku menjadi MC dalam
sebuah acara keluarga di rumahnya. Aku juga sering datang ke rumah beliau
konsultasi bahkan curhat. Beliaupun menyempatkan diri menghadiri pesta
pernikahanku dengan Rizki meski jarak dari rumahnya cukup jauh dan kesehatan
beliau tidak cukup baik. Lalu hari-hari setelah itu aku jarang bertemu beliau
kecuali beberapa kali saja, dan aku dengar dari kawan yang berkunjung ke beliau
kalau beliau sering menanyakan kabarku dan menyampaikan salam.
Syukurlah, menjelang beliau berpulang aku menyempatkan dua kali
bertemu beliau dan bercerita banyak tentang penyakit beliau, tentang kaki yang
sudah diamputasi. Namun beliau tetap tersenyum dan masih optimis akan bisa
mengajar dengan kaki palsu yang beliau rencanakan beli. Ini yang membuatku
begitu terkejut mendengar kabar beliau berpulang. Masih tak menyangka beliau
meningglkan kita. Aku sendiri berharap suatu saat menemukan sosok yang begitu
humanis seperti beliau”. Aku mengakhiri pembicaraan.
Tak lama panitia
mengumumkan jenazah beliau akan segera di sholatkan dan dimakamkan. Akupun
bergegas bersiap menuju masjid bersama teman-teman yang lain.
****
Di
Pemakaman
Area pemakaman terlihat lebih kecil saking banyaknya pelayat yang
datang. Mereka semua rata-rata adalah murid dan mahasiswa beliau. Selain itu
banyak juga rekan-rekan guru dan dosen beliau yang turut serta mengiringi. Aku
yakin meski sebanyak itu yang mengiringi, tetapi yang tidak sempat, jauh lebih
banyak.
Buktinya sampai saat itu beranda media sosialku penuh dengan ucapan
bela sungkawa, tidak henti-hentinya saling bertautan. Hampir semua yang ku baca
mengucapkan kalimat tarji’. Sebuah akun
menambahkan kesan. Aku tidak terlalu
kenal dengan beliau karena beda jurusan, tetapi sesekali berpapasan beliau
selalu melempar senyum kepadaku dan kepada teman-temanku. Nampak sekali
kebaikan hatinya.
Aku kembali menyimak rangkaian acara yang sudah berlangsung sampai
dengan pembacaan talqin oleh salah
seorang Tuan Guru. Selepas itu perwakilan dari kampus hijau membacakan satu
persatu biodata singkat hidup beliau. Terdengar jelas suaranya tersendat-sendat
menahan tangis saat membaca biodata itu. Mungkin ia teringat dalam salah satu
karir yang dilewatinya, pernah dijalaninya bersama. Sama seperti aku yang tanpa
mendengar biodata itupun beliau masih terasa hangat di dekatku. Masih hangat
saat-saat beliau memberikanku nasehat dan bimbingan. Aku menebak semua orang,
dari raut wajahnya nampak merakasan apa yang aku rasakan.
Acara itupun ditutup oleh Tuan Guru dengan memberikan nasehat
kepada kami semua.
“Menceritakan dan menyebutkan jasa-jasa dan kebaikan beliau
pada hakikatnya adalah suatu hiburan bagi kita semua yang merasakan duka karena
kepergiannya” kata Tuang Guru. betul pak Tuan
Guru, dan kami akan senantiasa menyebutkannya agar kami selalu terhibur dari
duka ini. lirihku dalam hati.
Tak lama, kami angkat kaki meski itu cukup berat saat acara
berakhir. Nampak dari dekat maupun jauh banyak sosok-sosok yang ku kenal. Namun
mataku fokus kepada para alumni pendidikan bahasa inggris yang kelihatannya
hadir mewakili angkatannya. Kami saling memberi salam dan senyum. Dalam
pertemuan singkat itu aku sempat saling menanyakan kabar kepada setiap mereka
yang aku salami. Tak ada yang spesial karena semua alumni terasa hangat dan
akrab. keakraban itupun berhenti saat kami sampai tempat parkiran dan saling
mengucapkan “sampai berjumpa lagi”.
***
4 hari
kemudian
“Halo yan”
“Halo mik[2]”
“Jam berapa kita berangkat ke Mataram?”
Aku baru ingat kalau aku sudah buat janji dengan Peter untuk pergi
bersama dengan satu motor ke Mataram. Kami, para awardee beasiswa diminta oleh lembaga pemberi beasiswa yakni LPP
NTB untuk datang mengurus pemberkasan visa pelajar.
“Yah sekitar jam 9 aja menunggu temen-temen yang lain persiapan
berkas,” jawabku
“Oke dah, Saya berangkat menuju rumah ini”
“Oke sip ditunggu”
“Assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Aku menutup telponnya. Bersama 5 temanku yang lain aku melengkapi
persyaratan sebelum berangkat. Anakku ku bawa sampai rumah buk de nya di
Kotaraja, berhubung itu adalah hari selasa dimana istriku masih sibuk menjalani
kuliah masternya, tiga hari dari hari senin. Syukurlah Tuhan maha pengertian. Aku
dikaruniai anak yang tidak pernah cerewet ditinggal, pun tidak segan ditempat
baru. Sehingga saat kami berdua sibuk, ia bisa mandiri di tempat kami
menitipnya.
Sesampai Mataram aku melihat sudah banyak yang datang. Aku menyalami
mereka satu persatu, mereka menampakkan muka sumringah, tak terkecuali bakal
teman-teman satu kampusku. Meski aku tahu teman-teman yang rencananya satu
kampus denganku itu sesungguhnya sedang menyembunyikan kekalutan hati dibalik
tawa riang mereka. Maklum hanya kampus kami yang bermasalah.
Proses visa kami
mentok diangka 5% dan berwarna kuning. Teman-teman kampus lain sudah ada
progress paling rendah 35% warna hijau. Informasi yang beredar jika suda pada
tahap itu maka akan secepatnya menjadi 75%, yang mana pada persentase itu eval[3]
sudah bisa diunduh. Jika sudah bisa diunduh artinya keberangkatan didepan mata.
Kata orang, cara terakhir menjaga kewarasan adalah dengan menertawai
keadaan. Kami hari itu sedang menjaga kewarasan kami. Masalah yang menimpa kami
tak habis-habisnya. Terakhir kami harus menunggu hari itu, apakah kami tetap
bisa berangkat pada bulan yang sama dengan
teman-teman yang lain atau harus sabar menunggu semester depan datang.
Sembari menunggu, Aku minta diri untuk
mencari hiburan bersama tiga temanku, empat dengan istriku. Kami memilih
menghabiskan waktu dengan nonton bioskop.
Dalam perjalanan kami berbincang-bincang. Tiket belum ditangan
tetapi waktu sholat membimbing kaki kami menuju Masjid. Kewajiban selesai
ditunaikan. Ketika naik eskalator, Peter berkata,
“Eh ada anak bahasa inggris meninggal ya?”
“Owh gitu, siapa?” tanyaku dengan muka datar
“Katanya namanya Muhram,” imbuh Peter
“Dia meninggal kecelakaan ini, di Lombok Tengah”
“Siapa itu ya”kataku masih dengan raut yang sama
“Eh ini bukannya Ramzy ya?”
Seketika Aku terkejut langsung menengok Peter.
“Sebentar, setahuku Ramzy itu ya Muhram, dulu waktu pertama kenal
juga aku heran kok bisa namanya beda jauh sama panggilannya” Istriku menimpali
“Coba coba ada fotonya gak?” Aku meminta dengan wajah yang masih
kaget.
“Ini KTPnya aja” Peter menyodorkan HP-nya.
Separuh wajah terlihat di KTPnya yang diposting di Facebook oleh
sebuah Akun. Baru saja melihatnya aku langsung kaget, Oh God, itu memang dia, kataku dalam hati. Bulu kudukku merinding
semua. Potretnya satu persatu langsung lewat depan mataku. Terakhir masih
jelas, lebih jelas dari potret aslinya, malah. Empat hari lalu, saat di
pemakaman pak Moedjito, dari salah satu teman-teman alumni yang menyapa, ia
adalah salah satunya. Dengan senyuman tulus, seperti biasa, lalu memelukku
sambil menanyakan kabar. “Gimana kabar bang?” katanya. Aku hanya menjawab “Alhamdulillah,
Semoga side baik juga ya”. Ia
tersenyum. Setelah itu teman-teman yang lain menyapa, iapun pindah menyapa
teman yang lain.
Aku tersadar, mengusap wajah.
“Innalillahiwainnailaihirajiun, ini memang benar Ramzy mik”. Kataku ke Peter.
“Aku hafal betul wajahnya, bahkan sangat hafal”
Peter masih menatap layar gawainya.
“Betul, ini di grup Whatssap
teman-teman sudah mengucapkan bela sungkawa”
“Innalillahiwainnailaihirajiun” sambung teman-teman yang lain.
Aku termangu, masih setengah percaya, begitu cepat, begitu tak
terduga. Pertemuan terakhir yang penuh kehangatan di makam pak Moedjito
ternyata adalah yang terakhir.
“Aku bersaksi engkau orang baik, sungguh baik” kata salah satu
postingan di wall facebookku disertai
dengan salah satu potret wajah almarhum yang sedang senyum. Sebuah senyum yang
akan selalu hidup di hati setiap orang, termasuk aku.
Hari itu, Aku hampir tidak menikmati sama sekali film di
bioskopnya. Mata menatap ke layar, tapi hati masih terbawa suasana duka. Betapa
tidak, belum habis rasa sedih ditinggal pak Moedjito, hari ini kami
ditinggalkan oleh salah satu teman paling baik. Begitu banyak kesan-kesan baik
terucap mengiringinya. Semua orang terkesan dengan kerendahan hatinya. Semua
orang kagum dengan perjuangan hidupnya. Semua orang akan mengingat ketulusan
senyumnya.
Selamat
jalan kawan, engkau dipanggil dengan caraNya, semoga engkau ditempatkan
ditempat terbaikNya. Sebuah status terupload di Media sosialku.
“Kenapa ya orang-orang baik cepat sekali perginya, sedang orang
jahat diberikan umur panjang” Aku mencandai Peter, menghibur sedikit lara yang menumpuk.
Ia sedikit tertawa mendengarnya.
***
Yang EMGS[4]nya
dibawah 30% mohon datang ke kantor. Sebuah pesan masuk di grup beasiswa
NTB. Dari Ibu Ima. Ia yang selama ini mengurus segala macam bentuk kerjasama di
Lembaga baru itu. Ada apa ya kira-kira? Bisikku
dalam hati.
“Nah itu yang dibawah 30% diminta ke kantor yan,” kata Peter.
“Iya nih, mungkin kami diminta berlapang dada.hehe,” jawabku
cekikikan.
“Ah positif thinking aja, mungkin mau dilobikan agar bisa
dipercepat,”sahutnya.
“Mudahanlah,” singkatku.
Meski sedikit becanda, tetapi sebenarnya aku sangat serius
terhadap apa yang ku katakan. Aku tahu bahwa hanya teman-teman satu kampusku
saja yang EMGS-nya dibawah 30% pada hari itu. Itulah mengapa aku begitu yakin
bahwa kami hanya akan diminta berlapang dada.
Sesampai di kantor kondisi masih sama. Tak seorangpun dari kami
diajak berbicara oleh pihak lembaga. Meski di chat, kami diminta datang. Hari semakin gelap. Matahari rupanya
lelah berkompromi dengan kami yang masih tertahan di luar cukup lama. Hingga
akhirnya aku memutuskan pulang bersama teman-teman yang datang dari Lombok
Timur. Aku sendiri khawatir kalau terlalu malam menjemput anakku yang ku titip
di buk de-nya. Sebelum menarik gas motor, Aku meminta dua orang teman yang dari
Mataram mewakili kami jika seandainya diminta berdialog dengan lembaga.
Tiba di rumah aku merebahkan badan sejenak. Anakku lelap tidur,
menyambung sisa tidurnya di perjalanan. Layar gawaiku menyala, sebuah tanda
pesan masuk. Aku membukanya. Ada Voice
Message dari salah satu teman yang
mewakili kami. Aku sudah pasrah apapun isinya, meski itu keputusan menunda.
Tetapi pasrah tidak mampu benar-benar menghilangkan debar dalam hati. Hhhh.. Aku menarik nafas lalu membuka
pesannya.
“Kami minta kalian ikhlas untuk keberangkatannya ditunda”. Rupanya itu suara Tuti, teman SMP ku
dulu yang sekarang menjadi ASN di salah satu Perguruan tinggi negeri namun
tampak lebih sibuk mengurus administrasi para awardee beasiswa NTB, menyambung
asa anak-anak NTB menimba Ilmu setinggi-tingginya.
“Kami sudah menargetkan untuk semua kalian harus berangkat, namun
kondisi yang kalian lihat sekarang sangat tidak memungkinkan, kamipun sudah
berusaha sedemikian rupa, bahkan sudah dibantu kementerian pendidikannya melobi
kampus, namun semuanya mentok.”sambungnya
“Baiklah jika memang demikian adanya, kami akan mencoba
menyampaikannya kepada teman-teman yang lain” kata Agung, salah seorang
perwakilan kami
Audionya berakhir, Aku lalu mengusap wajah. Setelah itu menutup
gawainya.
Dalam masalah takdir aku meyakini bahwa takdir adalah hasil akhir
dari ikhtiar dan doa terbaik. Alhamdulillah,
ini adalah keinginan Tuhan. Bisikku dalam hati. Semua pasti ada hikmahnya, seperti sebelum-sebelumnya saat ia
menginginkanku menunda cita-cita terbesarku. Meski seperti menelan pil pahit,
tapi saat aku menerimanya, Dada sedikit longgar, ada hikmah yang begitu besar yang
telah disiapkanNya untukku. Mungkin ini ini adalah salah satu cerita lanjutan
yang sangat indah, walau akan terasa diakhir nanti. Thanks God. Aku khusuk
merenunginya malam itu, sambil menatap
langit-langit rumah. Sebuah pesan menambah kelegaanku menerima semuanya. “If
god is making you wait, be prepared to receive more than what you asked for.”
***
September berlalu, menyisakan cerita kelabu. Aku melanjutkan
aktifitas seperti biasa. Demikian juga dengan teman-teman satu kampusku. Sesekali
kubuka pesan grup. Sesak dengan foto-foto teman-teman yang sedang dibandara.
Tak lupa dibubuhi caption terimakasih kepada pemerintah provinsi dan LPP.
Mereka sedang menuju kampus masing-masing. Alhamdulillah,
selamat jalan kawan-kawan, semoga selamat sampai tujuan. Ungkapku lewat
gawai kepada mereka.
Hidup ini memang penuh misteri. Semua hal yang tak disangka
seringkali terjadi. Umur dan rezeki tidak ada yang tahu. Dilain sisi, kadang
kita hanya perlu menunggu untuk mendapatkan jawaban atas apa yang kita ingingkan.
Tuhan menjawab doa lewat waktu. Namun jika kita sadar, hidup itu justru sangat
indah saat ia benar-benar misteri. Seorang pujangga sufi bernama Jalaludin Rumi
berkata “Jika kita menerima ketidakpastian (misteri) hidup, ia akan menjadi
sebuah petualangan (yang seru).”
Tamat