September Kelabu - Amaq Solah
News Update
Loading...

Thursday, October 24, 2019

September Kelabu



September Kelabu

Seperti biasa setelah bangun tidur aku mengambil air wudhu dan sholat.  Lalu aku biasanya mengecek HP. Belakangan memang aku intens sekali mengecek hp karena khawatir ada informasi penting dari pemberi beasiswaku. Hari itu terasa biasa saja sampai ketika selang satu menit setelah menghidupkan data seluler satu persatu nampak ucapan “innalillahiwainna…”, ya kalimat yang terpotong itu satu persatu saling tindih dilayar hpku. Aku menjadi sangat penasaran dan langsung membuka aplikasi itu.

Aku terkejut menyaksikan foto seorang dosen kesayanganku melengkapi kalimat tarji’ itu. Tak percaya, satu persatu pesan itu ku buka dengan teliti. Tidak seperti biasanya aku membaca pesan itu sangat pelan. Sampai pada akhirnya datang pesan resmi dari kampus tempat beliau mengabdi. Barulah kemudian aku yakin bahwa kabar duka itu benar adanya. Saat itu juga aku tak kuasa menahan air mataku. Dada terasa sesak, mungkin dipenuhi kesedihan yang mendalam. Aku ternyata belum siap mendengar kabar itu.

Fikiranku seketika terbang jauh ke masa lalu, masa dimana banyak kenangan terlewat bersamanya. Wajah penuh ketulusan yang setiap mahasiswa mampu merasakannya, masih jelas dipelupuk mata. Meski terdiam sejenak, memori itu berputar menayangkan semua serpihan masa lalu bersamanya. Tak terlewat sedikitpun. Aku jadi faham bahwa rasat sakit akan kehilangan tidak semata tercipta dari perpisahan, tapi kenangan yang menyertainyalah yang membuatnya semakin dalam.

Aku menarik nafas sejenak, mencoba menenangkan hati. Aku buka lagi pesan resmi dari kampus, mencari tahu kapan beliau akan dimakamkan. Setelah itu aku menutup Hp dan mencoba melanjutkan aktifitas sembari mempersiapkan diri pergi ke tempat disemayamkannya.

***

Di tempat semayam

Aku tiba dirumah beliau, disambut oleh teman-teman sesama Alumni. Mereka adalah orang-orang yang pernah merasakan hati lembut beliau. Kami duduk cukup lama menanti waktu kapan beliau disholatkan sekaligus disemayamkan. Aku mencoba menghibur diri dengan ikut nimbrung obrolan mereka. Satu persatu mereka menceritakan kisahnya yang pernah di lalui bersama beliau. Dedi paling awal memulai ceritanya.

“Mungkin Aku adalah satu-satunya mahasiswa beliau yang dicarikan uang untuk dibayarkan semesternya” Ungkapnya

“Dicarikan uang? Maksudnya?”tanyaku

“Iya, waktu itu beliau memintaku bayar semester, lalu aku bilang aku gak punya uang. Keesokan harinya beliau ngasih tahu aku kalau beliau telah meminjamkanku uang buat bayar semester, gitu”

“Owh, gitu” Tutupku.

Aku pun mendapat giliranku untuk bercerita.

“Aku punya pengalaman yang berbeda dari temen-temen,” aku memulai cerita

“Kalau temen-temen cerita mungkin yang manis-manisnya sama beliau, nah kalau aku sedikit pahit”

Mereka menunjukkan wajah keheranan dan seakan memintaku untuk terus bercerita.

“Iya, dulu Aku pernah disidang oleh beliau bersama tiga orang. Aku, Rizki, dan Yogi. Waktu itu kami bertiga diminta masuk ruangan. Ketika kami sudah berjejer di berhadapan dengan mejanya, beliau langsung memprotes,

anda ini tidak sopan, siapa yang mengizinkan anda men-scan tanda tangan Saya? Anda tidak boleh melakukan itu tanpa seizin dari empunya. Jangan pernah ulangi lagi itu. Tegas beliau waktu itu”
Omelan itu sebenarnya lebih ditujukan kepada Yogi. Dia memang bertanggung jawab karena waktu itu ia adalah ketua HMPS yang menfasilitasi kami”.

“Lalu?” tanya temenku lagi

“Setelah itu beliau meminta Yogi keluar ruangan duluan, Aku dan Rizki diminta tetap di tempat. Setelah punggung Yogi tak terlihat lagi, tanpa menunggu waktu lama beliau langsung menyampaikan apa yang beliau ingin utarakan. Anda berdua juga sungguh tidak sopan, kalau anda butuh, ya berusahalah, jangan nitip tanda tangan, terus ngasih tahu lewat chat. Bukan begitu caranya. Tampak kemarahan beliau terkumpul dari tadi,

“Setelah meluapkan perasaannya, beliau meminta Rizki keluar dan memintaku tetap disana. Saat Rizki berlalu, beliau langsung bertanya.” Apa maksud anda meminta pak Roni datang dan menemuiku tanpa sepengetahuan Saya? tanya beliau. Aku masih bingung dan mencoba menebak apa maksud beliau. ‘anda telah mempermalukan Saya, sungguh. Aku terheran-heran tapi tak bermaksud menyela beliau.

Aku sudah merencanakan untuk membuatkan SK bagi pak dosen lain sebagai Pembina UKM anda, dan Aku sudah memberitahu orangnya. Lalu anda datang membawa orang lain dan langsung mengutarakannya di depan Saya. Bagaimana Saya menolak orang di depan matanya? Terus apa yang Saya katakana kepada orang yang Saya sudah janjikan akan Saya berikan SK? Anda benar-benar mempermalukan Saya.

Barulah kemudian aku ngeh terhadap isi pembicaraan beliau. Beliau ternyata begitu tersinggung dengan kedatangan pak Roni dan mengira akulah yang memintanya datang dan menemui beliau. Padahal kejadiannya diluar dugaan. Pada saat itu aku sedang duduk-duduk di luar ruangan dimana beliau sedang memberikan workshop. Nah, tanpa disengaja pak Roni lewat dan menyalamiku. Aku pada saat itu tidak tahu bahwa beliau  sudah menunjuk orang yang akan diberikan SK sehingga saat bertemu pak Roni Aku jadi kefikiran meminta waktu beliau untuk bertemu pak Jito. Maklum pada saat itu aku pernah sampaikan ke pak Roni bahwa aku ada keinginan mengajukan beliau menjadi Pembina UKM[1] kami. Kebetulan saat itu aku masih aktif berperan di organisasi tersebut. Nah fikiranku saat itu adalah mumpung kami bertiga ada, kenapa tidak kita bertemu dan langsung menyelesaikannya saat itu? Maka terjadilah pertemuan itu, yang ternyata begitu membuat pak Jito tersinggung.

"Beliau kemudian menutup kata-katanya, Anda ini Presiden mahasiswa, seharusnya anda menjadi tauladan bagi mahasiswa yang lain. Anda tidak boleh melakukan cara-cara yang tidak etis. Tolong perbaiki cara anda. Silakan, anda saya persilakan meninggalkan ruangan Tutup beliau”

Waktu itu aku benar-benar merasa bersalah meskipun ini hanya misunderstanding. Tetapi Aku tidak ingin sedikitpun mengklarifikasinya, Aku tidak ingin mendebat beliau. Dalam hati Aku berujar, biarlah semua ini Aku simpan. Sungguh, cara beliau memperlakukanku tidak sebanding dengan omelan yang hanya berasal dari misunderstanding.

Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum itu aku telah dipermalukan oleh salah satu pejabat kampus di depan para pejabat yang lainnya, dan memberikanku pelajaran yang sungguh indah yakni koreksi dan sampaikan kesalahan orang secara proporsional. Dan beberapa hari setelahnya aku menyaksikan pelajaran itu lewat pak Moedjito. Beliau menasehati Yogi tanpa meminta kami bertiga keluar karena memang kesalahan itu bisa dikatakan kesalahan kami berdua juga. Kamilah yang meminta Yogi men-scan kan tanda tangan itu sehingga Yogi melakukannya dan mengirimnya ke beberapa mahasiswa termasuk aku dan Rizki.

Lalu saat beliau meminta Yogi keluar dan menasehati kami berdua, itu semata karena murni kesalahan kami berdua karena hanya kami berdualah yang mengirimkan pesan meminta izin mendapatkan tanda tangan. Dan ketika hanya aku sendiri yang tersisa, itu karena kesalahan itu hanyalah milikku pribadi. Terlepas apakah itu hanya misunderstanding atau tidak, yang jelas tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.

Pelajaran luar biasa yang aku dapatkan dari beliau. Timpakanlah kesalahan orang secara proporsional. Jangan pernah menasehati, lebih-lebih memarahi orang lain di depan orang lainnya, apalagi orang lain tersebut tidak ikut terlibat dalam kesalahan itu. Selain membuat orang lain tidak enakan, hal tersebut juga sangat menyakiti perasaan yang bersalah. Setelah hari itu, Aku merenung dan begitu kagum terhadap cara beliau memperlakukan kami, begitu humanisnya beliau, bisikku lirih dalam hati.

“Itulah hal terindah menurutku yang pernah Aku lalui bersama beliau” ungkapku kepada teman-teman yang saat itu masih setia mendengarkanku. Mereka mengangguk pelan.

“Bagaimana hubunganmu setelah kejadian itu?” tanya mereka

“Itu yang semakin membuatku kagum. Setelah keluar dari ruangan itu, beliau kembali seperti biasa. Tak sedikitpun menganggap kejadian itu pernah terjadi. Buktinya tidak lama dari itu beliau memintaku menjadi MC dalam sebuah acara keluarga di rumahnya. Aku juga sering datang ke rumah beliau konsultasi bahkan curhat. Beliaupun menyempatkan diri menghadiri pesta pernikahanku dengan Rizki meski jarak dari rumahnya cukup jauh dan kesehatan beliau tidak cukup baik. Lalu hari-hari setelah itu aku jarang bertemu beliau kecuali beberapa kali saja, dan aku dengar dari kawan yang berkunjung ke beliau kalau beliau sering menanyakan kabarku dan menyampaikan salam.

Syukurlah, menjelang beliau berpulang aku menyempatkan dua kali bertemu beliau dan bercerita banyak tentang penyakit beliau, tentang kaki yang sudah diamputasi. Namun beliau tetap tersenyum dan masih optimis akan bisa mengajar dengan kaki palsu yang beliau rencanakan beli. Ini yang membuatku begitu terkejut mendengar kabar beliau berpulang. Masih tak menyangka beliau meningglkan kita. Aku sendiri berharap suatu saat menemukan sosok yang begitu humanis seperti beliau”. Aku mengakhiri pembicaraan. 

Tak lama panitia mengumumkan jenazah beliau akan segera di sholatkan dan dimakamkan. Akupun bergegas bersiap menuju masjid bersama teman-teman yang lain.

****

Di Pemakaman

Area pemakaman terlihat lebih kecil saking banyaknya pelayat yang datang. Mereka semua rata-rata adalah murid dan mahasiswa beliau. Selain itu banyak juga rekan-rekan guru dan dosen beliau yang turut serta mengiringi. Aku yakin meski sebanyak itu yang mengiringi, tetapi yang tidak sempat, jauh lebih banyak. 

Buktinya sampai saat itu beranda media sosialku penuh dengan ucapan bela sungkawa, tidak henti-hentinya saling bertautan. Hampir semua yang ku baca mengucapkan kalimat tarji’. Sebuah akun menambahkan kesan. Aku tidak terlalu kenal dengan beliau karena beda jurusan, tetapi sesekali berpapasan beliau selalu melempar senyum kepadaku dan kepada teman-temanku. Nampak sekali kebaikan hatinya.

Aku kembali menyimak rangkaian acara yang sudah berlangsung sampai dengan pembacaan talqin oleh salah seorang Tuan Guru. Selepas itu perwakilan dari kampus hijau membacakan satu persatu biodata singkat hidup beliau. Terdengar jelas suaranya tersendat-sendat menahan tangis saat membaca biodata itu. Mungkin ia teringat dalam salah satu karir yang dilewatinya, pernah dijalaninya bersama. Sama seperti aku yang tanpa mendengar biodata itupun beliau masih terasa hangat di dekatku. Masih hangat saat-saat beliau memberikanku nasehat dan bimbingan. Aku menebak semua orang, dari raut wajahnya nampak merakasan apa yang aku rasakan.

Acara itupun ditutup oleh Tuan Guru dengan memberikan nasehat kepada kami semua. 

“Menceritakan dan menyebutkan jasa-jasa dan kebaikan beliau pada hakikatnya adalah suatu hiburan bagi kita semua yang merasakan duka karena kepergiannya” kata Tuang Guru. betul pak Tuan Guru, dan kami akan senantiasa menyebutkannya agar kami selalu terhibur dari duka ini. lirihku dalam hati.

Tak lama, kami angkat kaki meski itu cukup berat saat acara berakhir. Nampak dari dekat maupun jauh banyak sosok-sosok yang ku kenal. Namun mataku fokus kepada para alumni pendidikan bahasa inggris yang kelihatannya hadir mewakili angkatannya. Kami saling memberi salam dan senyum. Dalam pertemuan singkat itu aku sempat saling menanyakan kabar kepada setiap mereka yang aku salami. Tak ada yang spesial karena semua alumni terasa hangat dan akrab. keakraban itupun berhenti saat kami sampai tempat parkiran dan saling mengucapkan “sampai berjumpa lagi”.

***

4 hari kemudian

Halo yan”

“Halo mik[2]

“Jam berapa kita berangkat ke Mataram?”

Aku baru ingat kalau aku sudah buat janji dengan Peter untuk pergi bersama dengan satu motor ke Mataram. Kami, para awardee beasiswa diminta oleh lembaga pemberi beasiswa yakni LPP NTB untuk datang mengurus pemberkasan visa pelajar.

“Yah sekitar jam 9 aja menunggu temen-temen yang lain persiapan berkas,” jawabku

“Oke dah, Saya berangkat menuju rumah ini”

“Oke sip ditunggu”

“Assalamualaikum”

“waalaikumussalam”

Aku menutup telponnya. Bersama 5 temanku yang lain aku melengkapi persyaratan sebelum berangkat. Anakku ku bawa sampai rumah buk de nya di Kotaraja, berhubung itu adalah hari selasa dimana istriku masih sibuk menjalani kuliah masternya, tiga hari dari hari senin. Syukurlah Tuhan maha pengertian. Aku dikaruniai anak yang tidak pernah cerewet ditinggal, pun tidak segan ditempat baru. Sehingga saat kami berdua sibuk, ia bisa mandiri di tempat kami menitipnya.

Sesampai Mataram aku melihat sudah banyak yang datang. Aku menyalami mereka satu persatu, mereka menampakkan muka sumringah, tak terkecuali bakal teman-teman satu kampusku. Meski aku tahu teman-teman yang rencananya satu kampus denganku itu sesungguhnya sedang menyembunyikan kekalutan hati dibalik tawa riang mereka. Maklum hanya kampus kami yang bermasalah. 

Proses visa kami mentok diangka 5% dan berwarna kuning. Teman-teman kampus lain sudah ada progress paling rendah 35% warna hijau. Informasi yang beredar jika suda pada tahap itu maka akan secepatnya menjadi 75%, yang mana pada persentase itu eval[3] sudah bisa diunduh. Jika sudah bisa diunduh artinya keberangkatan didepan mata.

Kata orang, cara terakhir menjaga kewarasan adalah dengan menertawai keadaan. Kami hari itu sedang menjaga kewarasan kami. Masalah yang menimpa kami tak habis-habisnya. Terakhir kami harus menunggu hari itu, apakah kami tetap bisa berangkat pada bulan yang sama dengan  teman-teman yang lain atau harus sabar menunggu semester depan datang. Sembari menunggu, Aku minta diri untuk  mencari hiburan bersama tiga temanku, empat dengan istriku. Kami memilih menghabiskan waktu dengan nonton bioskop.

Dalam perjalanan kami berbincang-bincang. Tiket belum ditangan tetapi waktu sholat membimbing kaki kami menuju Masjid. Kewajiban selesai ditunaikan. Ketika naik eskalator, Peter berkata,

“Eh ada anak bahasa inggris meninggal ya?”

“Owh gitu, siapa?” tanyaku dengan muka datar

“Katanya namanya Muhram,” imbuh Peter

“Dia meninggal kecelakaan ini, di Lombok Tengah”

“Siapa itu ya”kataku masih dengan raut yang sama

“Eh ini bukannya Ramzy ya?”

Seketika Aku terkejut langsung menengok Peter.

“Sebentar, setahuku Ramzy itu ya Muhram, dulu waktu pertama kenal juga aku heran kok bisa namanya beda jauh sama panggilannya” Istriku menimpali

“Coba coba ada fotonya gak?” Aku meminta dengan wajah yang masih kaget.

“Ini KTPnya aja” Peter menyodorkan HP-nya.

Separuh wajah terlihat di KTPnya yang diposting di Facebook oleh sebuah Akun. Baru saja melihatnya aku langsung kaget, Oh God, itu memang dia, kataku dalam hati. Bulu kudukku merinding semua. Potretnya satu persatu langsung lewat depan mataku. Terakhir masih jelas, lebih jelas dari potret aslinya, malah. Empat hari lalu, saat di pemakaman pak Moedjito, dari salah satu teman-teman alumni yang menyapa, ia adalah salah satunya. Dengan senyuman tulus, seperti biasa, lalu memelukku sambil menanyakan kabar. “Gimana kabar bang?” katanya. Aku hanya menjawab “Alhamdulillah, Semoga side baik juga ya”. Ia tersenyum. Setelah itu teman-teman yang lain menyapa, iapun pindah menyapa teman yang lain.

Aku tersadar, mengusap wajah.

“Innalillahiwainnailaihirajiun, ini memang benar Ramzy mik”. Kataku ke Peter.

“Aku hafal betul wajahnya, bahkan sangat hafal”

Peter masih menatap layar gawainya.

“Betul, ini di grup Whatssap teman-teman sudah mengucapkan bela sungkawa”
“Innalillahiwainnailaihirajiun” sambung teman-teman yang lain.
Aku termangu, masih setengah percaya, begitu cepat, begitu tak terduga. Pertemuan terakhir yang penuh kehangatan di makam pak Moedjito ternyata adalah yang terakhir.

“Aku bersaksi engkau orang baik, sungguh baik” kata salah satu postingan di wall facebookku disertai dengan salah satu potret wajah almarhum yang sedang senyum. Sebuah senyum yang akan selalu hidup di hati setiap orang, termasuk aku.

Hari itu, Aku hampir tidak menikmati sama sekali film di bioskopnya. Mata menatap ke layar, tapi hati masih terbawa suasana duka. Betapa tidak, belum habis rasa sedih ditinggal pak Moedjito, hari ini kami ditinggalkan oleh salah satu teman paling baik. Begitu banyak kesan-kesan baik terucap mengiringinya. Semua orang terkesan dengan kerendahan hatinya. Semua orang kagum dengan perjuangan hidupnya. Semua orang akan mengingat ketulusan senyumnya.

Selamat jalan kawan, engkau dipanggil dengan caraNya, semoga engkau ditempatkan ditempat terbaikNya. Sebuah status terupload di Media sosialku.

“Kenapa ya orang-orang baik cepat sekali perginya, sedang orang jahat diberikan umur panjang” Aku mencandai Peter, menghibur sedikit lara yang menumpuk. Ia sedikit tertawa mendengarnya.

***

Yang EMGS[4]nya dibawah 30% mohon datang ke kantor. Sebuah pesan masuk di grup beasiswa NTB. Dari Ibu Ima. Ia yang selama ini mengurus segala macam bentuk kerjasama di Lembaga baru itu. Ada apa ya kira-kira? Bisikku dalam hati.

“Nah itu yang dibawah 30% diminta ke kantor yan,” kata Peter.

“Iya nih, mungkin kami diminta berlapang dada.hehe,” jawabku cekikikan.

“Ah positif thinking aja, mungkin mau dilobikan agar bisa dipercepat,”sahutnya.

“Mudahanlah,” singkatku.

Meski sedikit becanda, tetapi sebenarnya aku sangat serius terhadap apa yang ku katakan. Aku tahu bahwa hanya teman-teman satu kampusku saja yang EMGS-nya dibawah 30% pada hari itu. Itulah mengapa aku begitu yakin bahwa kami hanya akan diminta berlapang dada.

Sesampai di kantor kondisi masih sama. Tak seorangpun dari kami diajak berbicara oleh pihak lembaga. Meski di chat, kami diminta datang. Hari semakin gelap. Matahari rupanya lelah berkompromi dengan kami yang masih tertahan di luar cukup lama. Hingga akhirnya aku memutuskan pulang bersama teman-teman yang datang dari Lombok Timur. Aku sendiri khawatir kalau terlalu malam menjemput anakku yang ku titip di buk de-nya. Sebelum menarik gas motor, Aku meminta dua orang teman yang dari Mataram mewakili kami jika seandainya diminta berdialog dengan lembaga.

Tiba di rumah aku merebahkan badan sejenak. Anakku lelap tidur, menyambung sisa tidurnya di perjalanan. Layar gawaiku menyala, sebuah tanda pesan masuk. Aku membukanya. Ada Voice Message dari salah satu teman yang mewakili kami. Aku sudah pasrah apapun isinya, meski itu keputusan menunda. Tetapi pasrah tidak mampu benar-benar menghilangkan debar dalam hati. Hhhh.. Aku menarik nafas lalu membuka pesannya.

“Kami minta kalian ikhlas untuk keberangkatannya ditunda”. Rupanya itu suara Tuti, teman SMP ku dulu yang sekarang menjadi ASN di salah satu Perguruan tinggi negeri namun tampak lebih sibuk mengurus administrasi para awardee beasiswa NTB, menyambung asa anak-anak NTB menimba Ilmu setinggi-tingginya.

“Kami sudah menargetkan untuk semua kalian harus berangkat, namun kondisi yang kalian lihat sekarang sangat tidak memungkinkan, kamipun sudah berusaha sedemikian rupa, bahkan sudah dibantu kementerian pendidikannya melobi kampus, namun semuanya mentok.”sambungnya

“Baiklah jika memang demikian adanya, kami akan mencoba menyampaikannya kepada teman-teman yang lain” kata Agung, salah seorang perwakilan kami

Audionya berakhir, Aku lalu mengusap wajah. Setelah itu menutup gawainya.

Dalam masalah takdir aku meyakini bahwa takdir adalah hasil akhir dari ikhtiar dan doa terbaik. Alhamdulillah, ini adalah keinginan Tuhan. Bisikku dalam hati. Semua pasti ada hikmahnya, seperti sebelum-sebelumnya saat ia menginginkanku menunda cita-cita terbesarku. Meski seperti menelan pil pahit, tapi saat aku menerimanya, Dada sedikit longgar, ada hikmah yang begitu besar yang telah disiapkanNya untukku. Mungkin ini ini adalah salah satu cerita lanjutan yang sangat indah, walau akan terasa diakhir nanti. Thanks God. Aku khusuk merenunginya malam itu,  sambil menatap langit-langit rumah. Sebuah pesan menambah kelegaanku menerima semuanya. “If god is making you wait, be prepared to receive more than what you asked for.”

***

September berlalu, menyisakan cerita kelabu. Aku melanjutkan aktifitas seperti biasa. Demikian juga dengan teman-teman satu kampusku. Sesekali kubuka pesan grup. Sesak dengan foto-foto teman-teman yang sedang dibandara. Tak lupa dibubuhi caption terimakasih kepada pemerintah provinsi dan LPP. Mereka sedang menuju kampus masing-masing. Alhamdulillah, selamat jalan kawan-kawan, semoga selamat sampai tujuan. Ungkapku lewat gawai kepada mereka.

Hidup ini memang penuh misteri. Semua hal yang tak disangka seringkali terjadi. Umur dan rezeki tidak ada yang tahu. Dilain sisi, kadang kita hanya perlu menunggu untuk mendapatkan jawaban atas apa yang kita ingingkan. Tuhan menjawab doa lewat waktu. Namun jika kita sadar, hidup itu justru sangat indah saat ia benar-benar misteri. Seorang pujangga sufi bernama Jalaludin Rumi berkata “Jika kita menerima ketidakpastian (misteri) hidup, ia akan menjadi sebuah petualangan (yang seru).”

Tamat



[1] UKM singkatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa.
[2] Singkatan dari mamik. Sebuah panggilan untuk keturunan bangsawan Lombok yang sudah menikah
[3] Single entri visa Malaysia
[4] EMGS singkatan dari Education Malaysia Global Service

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done