“Guru Dane”, sebuah
master piece dari salah satu putra asli Lombok yang bekerja sebagai akademisi,
penulis dan novelis bernama Dr. Salman Faris. Lewat novel ini, ia mencoba
bertutur tentang masa-masa “the dark age”-nya kaum sasak. Dengan apik dan
pilihan diksi yang hidup ia berhasil menggambarkan betapa suramnya masa lalu
kaum sasak itu.
Kelaparan, kebodohan, dan ketertindasan seperti darah dalam
dagingnya kaum sasak. Semua itu bukan hanya karena penjajahan bangsa kulit
putih di seantero nusantara, atau bukan hanya karena penaklukan kerajaan Bali,
tetapi lebih kepada, betapa pecundangnya kaum aristokrat sasak.
Sebagian kaum-kaum bangsawan yang sekaligus menjadi
tuan-tuan tanah pada masa itu, disindir seperti budak-budaknya para penjajah.
Mereka rela menjilat pantat penjajah asal kekuasaan, pengaruh, dan kepemilikan
atas tanah-tanah itu masih ditangan mereka.
Membaca novel ini juga, seolah mengajak kita untuk merasakan
langsung kondisi kaum sasak masa lalu yang telah menjadi obyek pesakitan.
Kondisi yang diperparah oleh keculasan golongan bangsawan. Dimana mereka tidak
segan menggunakan intrik-intrik politik kolot untuk menindas siapapun yang
melawan. Menyiksa siapapun yang mencoba mengusik status quonya.
Itulah yang terjadi pada sosok “Guru Dane”. Seorang rakyat
jelata yang menyaksikan sendiri tirani kaum bangsawan di depan matanya sendiri.
Mereka merebut hak-hak kemanusiaan rakyat jelata yang tak berdaya. Hingga suatu
hari Guru Dane memutuskan membalas mereka.
Namun pembalasan yang dilakukan Guru Dane bukan dalam arti
“balas dendam” yang biasa difahami. Tetapi lebih kepada keinginan menyadarkan
kaum bangsawan itu dari keterlenaan akan kuasa ke arah persatuan dan
kebangkitan kaum sasak. Bahwa kekuasaan yang mereka miliki tidak berarti
apa-apa dibanding dengan kebangkitan bangsa sasak itu sendiri.
Pengaruh Guru Dane tak terbendung. Ribuan orang datang
menemuinya untuk menjadi pelarian perihnya hidup. Guru Dane mencoba memberikan
jalan keluar dengan segala kemampuan dan ilmu yang sudah dituntutnya dari
seantero negeri. Orang – orang merasa bangkit kembali. Ada harapan untuk maju
dan bebas dari keterpurukan dari sosok Guru Dane.
Sedikit demi sedikit mereka mulai berani melawan penjajahan
dimana-mana. Baik oleh penjajah raja Bali atau bangsa kulit putih, bahkan oleh
saudara sesama sasak sendiri. Ini yang justru tidak disenangi oleh kaum
bangsawan tersebut. Mereka sedikit demi sedikit kehilangan pengaruh. Bagi
mereka, ini adalah hal yang paling menyakitkan.
Salman Faris-sang penulis- menceritakan betapa gusar kaum
bangsawan itu-saat kekuasan dan pengaruh mereka meredup-dalam seorang sosok bangsawan
asal Kopang yang memelas bantuan kepada Guru Dane agar pengaruhnya bisa kembali
lagi. Guru Dane hanya menjawab,
“Kita tidak
mendapatkan pengaruh hanya karena kita berkuasa, tuan bangsawan. Kekuasaan dan
kekuatan ialah istri tunggal dari pengaruh itu sendiri. Tidak bisa dipisahkan.
Apabila tuan bangsawan membuat orang lain terpengaruh dengan kelimpahan harta,
bisa jadi orang itu akan berhenti menghormati tuan bangsawan jika tidak bisa
menjaga diri sebagai manusia. Kerena pengaruh juga berkaitan dengan akal sehat
dan budi pekerti, tuan bangsawan”
Bangsawan dari Kopang itu bertanya lagi kepada Guru Dane apa
yang mesti dia lakukan. Guru Dane hanya memberikan satu syarat, yang justru di
tolak mentah-mentah oleh bangsawan itu. Karena baginya, lebih baik mati daripada
menerima syarat yang diberikan itu. Syarat itu adalah ia mesti ikut pengaruh
orang yang sedang mendapatkan pengaruh besar saat itu. Tentu yang dimaksud
adalah Guru Dane sendiri.
Singkat cerita, para bangwasan itu akhirnya satu persatu,
dengan berbagai cara, memainkan segala tipu daya agar pengaruh Guru Dane bisa
hilang. Kepada rakyat mereka memfitnah Guru Dane sebagai penganut aliran sesat
atau penganut ilmu hitam. Kepada penjajah (baca:pemerintah Hindia Belanda),
mereka melaporkan Guru Dane bahwa ialah penyebab perlawanan rakyat dimana-mana,
yang pada akhirnya Guru Dane ditangkap dan dibawa ke Batavia lalu diasingkan ke
benua Afrika.
Sedikit dari sekian pesan yang ingin disampaikan Salman
Faris lewat novel Guru Danenya tersebut adalah bahwa kebangkitan dan kemajuan
bangsa sasak tidak akan pernah terwujud jika sebagian kelompok atau golongan tidak
rela melihat satu anak bangsanya mendapat pengaruh pengakuan secara luas.
Kemajuan itu hanya akan menjadi utopia jika sebagian golongan tersebut masih terjangkiti
virus iri dengki terhadap sesama bangsa sendiri, yang mungkin jauh lebih
berprestasi dari dirinya.
Pesan-pesan yang sama secara konsisten disampaikan oleh Salman
Faris di setiap tulisannya. Maka tidak heran jika ia selalu tampil membela
siapapun yang telah berjuang melakukan revival terhadap bangsanya, bangkit dari
sifat inlander, bangkit dari inferioritas. Menjadi wajar bila ia pasang badan
melawan sekelompok orang yang mencoba menjatuhkan saudara sendiri dan enggan
mengakui kehebatan orang lain hanya karena ia tidak mampu melakukan hal yang
sama.
Tiga tulisan terakhirnya yang berjudul “Tarian para terang
kembulan””, “Majelis adat sasak bungkam pahlawannya dinistakan”, dan “penolakan
karena kebencian” adalah bentuk nyata konsistensinya menjadi muazin bagi
sebagian bangsa sasak yang masih tenggelam dalam kejumudan berfikirnya
mengulang cara berfikir satu abad silam, yang mana terjadi lagi akhir-akhir ini.