Bangsa sasak, Salman Faris, dan Novel “Guru Dane”nya - Amaq Solah
News Update
Loading...

Tuesday, November 19, 2019

Bangsa sasak, Salman Faris, dan Novel “Guru Dane”nya


 “Guru Dane”, sebuah master piece dari salah satu putra asli Lombok yang bekerja sebagai akademisi, penulis dan novelis bernama Dr. Salman Faris. Lewat novel ini, ia mencoba bertutur tentang masa-masa “the dark age”-nya kaum sasak. Dengan apik dan pilihan diksi yang hidup ia berhasil menggambarkan betapa suramnya masa lalu kaum sasak itu.

Kelaparan, kebodohan, dan ketertindasan seperti darah dalam dagingnya kaum sasak. Semua itu bukan hanya karena penjajahan bangsa kulit putih di seantero nusantara, atau bukan hanya karena penaklukan kerajaan Bali, tetapi lebih kepada, betapa pecundangnya kaum aristokrat sasak.

Sebagian kaum-kaum bangsawan yang sekaligus menjadi tuan-tuan tanah pada masa itu, disindir seperti budak-budaknya para penjajah. Mereka rela menjilat pantat penjajah asal kekuasaan, pengaruh, dan kepemilikan atas tanah-tanah itu masih ditangan mereka.

Membaca novel ini juga, seolah mengajak kita untuk merasakan langsung kondisi kaum sasak masa lalu yang telah menjadi obyek pesakitan. Kondisi yang diperparah oleh keculasan golongan bangsawan. Dimana mereka tidak segan menggunakan intrik-intrik politik kolot untuk menindas siapapun yang melawan. Menyiksa siapapun yang mencoba mengusik status quonya.

Itulah yang terjadi pada sosok “Guru Dane”. Seorang rakyat jelata yang menyaksikan sendiri tirani kaum bangsawan di depan matanya sendiri. Mereka merebut hak-hak kemanusiaan rakyat jelata yang tak berdaya. Hingga suatu hari Guru Dane memutuskan membalas mereka.

Namun pembalasan yang dilakukan Guru Dane bukan dalam arti “balas dendam” yang biasa difahami. Tetapi lebih kepada keinginan menyadarkan kaum bangsawan itu dari keterlenaan akan kuasa ke arah persatuan dan kebangkitan kaum sasak. Bahwa kekuasaan yang mereka miliki tidak berarti apa-apa dibanding dengan kebangkitan bangsa sasak itu sendiri.

Pengaruh Guru Dane tak terbendung. Ribuan orang datang menemuinya untuk menjadi pelarian perihnya hidup. Guru Dane mencoba memberikan jalan keluar dengan segala kemampuan dan ilmu yang sudah dituntutnya dari seantero negeri. Orang – orang merasa bangkit kembali. Ada harapan untuk maju dan bebas dari keterpurukan dari sosok Guru Dane.

Sedikit demi sedikit mereka mulai berani melawan penjajahan dimana-mana. Baik oleh penjajah raja Bali atau bangsa kulit putih, bahkan oleh saudara sesama sasak sendiri. Ini yang justru tidak disenangi oleh kaum bangsawan tersebut. Mereka sedikit demi sedikit kehilangan pengaruh. Bagi mereka, ini adalah hal yang paling menyakitkan.

Salman Faris-sang penulis- menceritakan betapa gusar kaum bangsawan itu-saat kekuasan dan pengaruh mereka meredup-dalam seorang sosok bangsawan asal Kopang yang memelas bantuan kepada Guru Dane agar pengaruhnya bisa kembali lagi.  Guru Dane hanya menjawab,

“Kita tidak mendapatkan pengaruh hanya karena kita berkuasa, tuan bangsawan. Kekuasaan dan kekuatan ialah istri tunggal dari pengaruh itu sendiri. Tidak bisa dipisahkan. Apabila tuan bangsawan membuat orang lain terpengaruh dengan kelimpahan harta, bisa jadi orang itu akan berhenti menghormati tuan bangsawan jika tidak bisa menjaga diri sebagai manusia. Kerena pengaruh juga berkaitan dengan akal sehat dan budi pekerti, tuan bangsawan”

Bangsawan dari Kopang itu bertanya lagi kepada Guru Dane apa yang mesti dia lakukan. Guru Dane hanya memberikan satu syarat, yang justru di tolak mentah-mentah oleh bangsawan itu. Karena baginya, lebih baik mati daripada menerima syarat yang diberikan itu. Syarat itu adalah ia mesti ikut pengaruh orang yang sedang mendapatkan pengaruh besar saat itu. Tentu yang dimaksud adalah Guru Dane sendiri.

Singkat cerita, para bangwasan itu akhirnya satu persatu, dengan berbagai cara, memainkan segala tipu daya agar pengaruh Guru Dane bisa hilang. Kepada rakyat mereka memfitnah Guru Dane sebagai penganut aliran sesat atau penganut ilmu hitam. Kepada penjajah (baca:pemerintah Hindia Belanda), mereka melaporkan Guru Dane bahwa ialah penyebab perlawanan rakyat dimana-mana, yang pada akhirnya Guru Dane ditangkap dan dibawa ke Batavia lalu diasingkan ke benua Afrika.

Sedikit dari sekian pesan yang ingin disampaikan Salman Faris lewat novel Guru Danenya tersebut adalah bahwa kebangkitan dan kemajuan bangsa sasak tidak akan pernah terwujud jika sebagian kelompok atau golongan tidak rela melihat satu anak bangsanya mendapat pengaruh pengakuan secara luas. Kemajuan itu hanya akan menjadi utopia jika sebagian golongan tersebut masih terjangkiti virus iri dengki terhadap sesama bangsa sendiri, yang mungkin jauh lebih berprestasi dari dirinya.

Pesan-pesan yang sama secara konsisten disampaikan oleh Salman Faris di setiap tulisannya. Maka tidak heran jika ia selalu tampil membela siapapun yang telah berjuang melakukan revival terhadap bangsanya, bangkit dari sifat inlander, bangkit dari inferioritas. Menjadi wajar bila ia pasang badan melawan sekelompok orang yang mencoba menjatuhkan saudara sendiri dan enggan mengakui kehebatan orang lain hanya karena ia tidak mampu melakukan hal yang sama.

Tiga tulisan terakhirnya yang berjudul “Tarian para terang kembulan””, “Majelis adat sasak bungkam pahlawannya dinistakan”, dan “penolakan karena kebencian” adalah bentuk nyata konsistensinya menjadi muazin bagi sebagian bangsa sasak yang masih tenggelam dalam kejumudan berfikirnya mengulang cara berfikir satu abad silam, yang mana terjadi lagi akhir-akhir ini.

Share with your friends

Give us your opinion

3 comments

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done