(Cerita) Apel Hari Pahlawan di Kampung Bermi - Amaq Solah
News Update
Loading...

Tuesday, November 12, 2019

(Cerita) Apel Hari Pahlawan di Kampung Bermi




Melihat jam sedang mengejar angka tujuh, ternyata hari itu masih cukup pagi. Dari jauh saya menyaksikan beberapa orang berpakaian begitu rapi. Ada yang mengenakan jas, pakaian pramuka lengkap, baju putih, dan tentunya yang tidak asing bagi saya, jaket hijau bertuliskan HIMMAH NW. Tidak ada keheranan bagi saya karena saya tahu tepat pada hari itu, sekumpulan orang itu sedang mempersiapkan Apel dalam rangka merayakan hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 Nopember.

Yang sedikit baru bagi saya adalah bahwa selama saya mengenal kampung bernama Bermi itu, ini adalah pertama kalinya mereka melaksanakan Apel dan tepat di jantung kampung tersebut. Tetapi tentu saja saya tidak heran. Bagi yang pernah membaca sejarah pahlawan nasional Asal NTB pasti mengerti kenapa saya tidak heran. Ya, itu karena TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid-sang pahlawan nasional satu-satunya dari NTB- lahir dan menghabiskan sisa umurnya untuk berjuang di kampung tersebut.

Jadi bisa dimaklumi jika warga kampung tersebut menyambut hari pahlawan dengan penuh euforia dengan melaksanakan Apel bersama. Sudah jelas hal itu sebagai manifestasi rasa syukur atas dinobatkannya salah satu anak kandung kampung tersebut. Untuk diketahui bahwa TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional tepat pada tahun 2017 yang lalu.

Menariknya, ketika saya mendekat dan bergumul dalam keramaian itu, saya melihat peserta yang datang tidak hanya berseragam rapi, tetapi ibu-ibu dengan pakaian rumahannya pun ikut tumpah ruah. Ada juga ibu-ibu yang kelihatannya baru pulang dari pasar berhenti dan ikut bergabung dengan yang lain. Ruang-ruang kosong gang kampung itupun terlihat sedikit padat.

Suasana apel begitu khidmat ketika sudah dimulai. Tak terbayang dibenak saya karena sebelum panitia memberikan aba-aba tanda apel akan dimulai, suasana terasa hangat oleh cuap-cuap MC yang penuh candaan. Pada dasarnya tidak ada yang lucu, tetapi yang membuat peserta geli adalah MC menggunakan bahasa kampung tersebut yakni bese pancor[1]. Logat bese Pancor memang khas ditelinga orang luar, bahkan sesama orang pancor sendiri. Ke-khas-an nya inilah yang memancing gelak tawa para peserta.

“Ibu-ibu si’ ndekman keruan barisanno pede becat rapiang barisanno juluk, lelah ite nenggalang nyuruk side pede lekan ngonek, ke becaaat!”[2] 

kira-kira begitulah salah satu ucapan MC menyuruh ibu-ibu untuk segera merapikan barisannya, yang setelahnya disambut gelak tawa peserta yang lain. Mungkin tidak lucu jika dibaca lewat tulisan yang hampa dengan intonasi apalagi jika tidak pernah mendengar bahasa Pancor itu sendiri. Bagi yang biasa, pasti dengan sendiri tersenyum.

Selain itu, pemandangan unik lainnya adalah ternyata Pembina upacaranya merupakan kepala lingkungan setempat. Dengan pakaian yang sangat rapi, sang “presiden” kampung bermi tersebut dengan percaya diri memasuki arena upacara setelah dipanggil oleh MC nya. Beberapa mahasiswa dengan suara lirih nyeletuk, “Mirip sandiaga uno ya pak Keliang[3]”, yang lain ikut cengengesan. Padahal bagi saya pak keliang lebih mirip bung Karno dari pada Sandiaga Uno, bukan hanya karena pakainnya yang rapi dan suaranya yang lantang tetapi karena mereka berdua sama-sama didaulat sebagai pemimpin seumur hidup oleh “rakyat”nya. He

Setelah apel selesai maka tiba saatnya melepas balon. Namun tidak seperti yang diucapkan oleh MC yang menyebut seribu balon karena ternyata balon yang disediakan tidak sampai seratus, itupun peserta beli. Namun teman-teman HIMMAH (yang selalu berada pada kondisi Kanker-singkatan dari kantong kering) tidak mau kehabisan akal. Mereka tetap ikut melepas balon layaknya orang lain, tetapi hanya melepas balon imajiner dengan tangan seolah-olah sedang memegang dan melepas tali balonnya. Dasar!



Dengan terbangnya balon tersebut (bersama balon imajinernya anak-anak HIMMAH) maka usai sudah acara apel bendera perdana di kampung Bermi. Sekilas terbesit dibenak saya bahwa mulai hari itu warga kampung bermi memiliki pesta rakyat selain pesta-pesta lainnya (tidak termasuk pemilu).
Catatan lain yang saya dapat adalah bahwa pengkhidmatan terhadap hari-hari besar khususnya hari pahlawan ternyata sangat subyektif. Bayangkan saja, upacara seperti yang terjadi dikampung tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi jikalau pahlawannya bukan dari NTB lebih-lebih dari kampung yang sama. Bisa dibuktikan bahwa pelaksanaan apel itu hanya dilaksanakan dikampung tersebut, dikampung lain tidak ada.

Terlepas dari itu, biarkan saja pengkhidmatannya subyektif yang penting tokoh nasionalnya sangat layak menjadi seorang tokoh pahlawan nasional. Karena kelayakannya pun tidak ditentukan secara subyektif tetapi dengan tolak ukur obyektifitas yang melewati rentetan penilaian panjang. Lagian penghargaan terhadap pahlawan nasional tidak selamanya termanifestasikan lewat apel.

Bisa jadi tukang ojek diluar sana sembari mengantar penumpang diam-diam memanjatkan doa untuk para pahlawan. Bisa jadi sambil mengangkat barang, para buruh di pasar melantunkan fatihah untuk para pahlawan. Bisa jadi ibu-ibu sambil menggendong bayinya mengirim rasa syukurnya atas perjuangan para pahlawan. Bahkan bisa jadi orang-orang yang kontra terhadap sosok pahlawan nasional, jauh dilubuk hati mereka menyatakan kekaguman dan pengakuan mereka akan kelayakannya.

Pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana euforia tersebut berjalan selaras dengan sejauh mana kita meneladan perjuangan para pahlawan tersebut. Apel sebagai wujud eofuria sangat bagus apalagi dilaksanakan dalam skala mikro seperti di kampung Bermi. Mudah-mudahan saja, jika pelaksanaan apel bisa menjadi tradisi di kampung dan dilaksanakan setiap tahun, begitu pula nilai keteladanannya, mudah-mudahan bisa dilaksanakan bukan sekali setahun tetapi setiap hari dan setiap waktu.


[1] Bahasa Pancor (bahasa asli kampung tersebut)
[2] “Ibu-ibu yang belum bagus barisannya untuk segera merapikan barisan, lelah kami meminta ibu-ibu semua dari tadi, ayo segeraaa!
[3] Kepala Lingkungan. Kalau di desa disebut Kepala Dusun (Kadus)

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done