Melihat jam sedang mengejar angka tujuh, ternyata hari itu
masih cukup pagi. Dari jauh saya menyaksikan beberapa orang berpakaian begitu
rapi. Ada yang mengenakan jas, pakaian pramuka lengkap, baju putih, dan
tentunya yang tidak asing bagi saya, jaket hijau bertuliskan HIMMAH NW. Tidak
ada keheranan bagi saya karena saya tahu tepat pada hari itu, sekumpulan orang
itu sedang mempersiapkan Apel dalam rangka merayakan hari pahlawan yang jatuh
pada tanggal 10 Nopember.
Yang sedikit baru bagi saya adalah bahwa selama saya
mengenal kampung bernama Bermi itu, ini adalah pertama kalinya mereka
melaksanakan Apel dan tepat di jantung kampung tersebut. Tetapi tentu saja saya
tidak heran. Bagi yang pernah membaca sejarah pahlawan nasional Asal NTB pasti
mengerti kenapa saya tidak heran. Ya, itu karena TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Majid-sang pahlawan nasional satu-satunya dari NTB- lahir dan menghabiskan sisa
umurnya untuk berjuang di kampung tersebut.
Jadi bisa dimaklumi jika warga kampung tersebut menyambut
hari pahlawan dengan penuh euforia dengan melaksanakan Apel bersama. Sudah
jelas hal itu sebagai manifestasi rasa syukur atas dinobatkannya salah satu
anak kandung kampung tersebut. Untuk diketahui bahwa TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Majid resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional tepat pada tahun 2017
yang lalu.
Menariknya, ketika saya mendekat dan bergumul dalam
keramaian itu, saya melihat peserta yang datang tidak hanya berseragam rapi,
tetapi ibu-ibu dengan pakaian rumahannya pun ikut tumpah ruah. Ada juga ibu-ibu
yang kelihatannya baru pulang dari pasar berhenti dan ikut bergabung dengan
yang lain. Ruang-ruang kosong gang kampung itupun terlihat sedikit padat.
Suasana apel begitu khidmat ketika sudah dimulai. Tak
terbayang dibenak saya karena sebelum panitia memberikan aba-aba tanda apel
akan dimulai, suasana terasa hangat oleh cuap-cuap MC yang penuh candaan. Pada
dasarnya tidak ada yang lucu, tetapi yang membuat peserta geli adalah MC
menggunakan bahasa kampung tersebut yakni bese
pancor[1].
Logat bese Pancor memang khas ditelinga orang luar, bahkan sesama orang pancor
sendiri. Ke-khas-an nya inilah yang memancing gelak tawa para peserta.
“Ibu-ibu si’ ndekman
keruan barisanno pede becat rapiang barisanno juluk, lelah ite nenggalang
nyuruk side pede lekan ngonek, ke becaaat!”[2]
kira-kira begitulah salah satu ucapan MC menyuruh ibu-ibu untuk segera
merapikan barisannya, yang setelahnya disambut gelak tawa peserta yang lain.
Mungkin tidak lucu jika dibaca lewat tulisan yang hampa dengan intonasi apalagi
jika tidak pernah mendengar bahasa Pancor itu sendiri. Bagi yang biasa, pasti
dengan sendiri tersenyum.
Selain itu, pemandangan unik lainnya adalah ternyata Pembina
upacaranya merupakan kepala lingkungan setempat. Dengan pakaian yang sangat
rapi, sang “presiden” kampung bermi tersebut dengan percaya diri memasuki arena
upacara setelah dipanggil oleh MC nya. Beberapa mahasiswa dengan suara lirih
nyeletuk, “Mirip sandiaga uno ya pak Keliang[3]”,
yang lain ikut cengengesan. Padahal bagi saya pak keliang lebih mirip bung Karno
dari pada Sandiaga Uno, bukan hanya karena pakainnya yang rapi dan suaranya
yang lantang tetapi karena mereka berdua sama-sama didaulat sebagai pemimpin
seumur hidup oleh “rakyat”nya. He
Setelah apel selesai maka tiba saatnya melepas balon. Namun
tidak seperti yang diucapkan oleh MC yang menyebut seribu balon karena ternyata
balon yang disediakan tidak sampai seratus, itupun peserta beli. Namun
teman-teman HIMMAH (yang selalu berada pada kondisi Kanker-singkatan dari
kantong kering) tidak mau kehabisan akal. Mereka tetap ikut melepas balon
layaknya orang lain, tetapi hanya melepas balon imajiner dengan tangan
seolah-olah sedang memegang dan melepas tali balonnya. Dasar!
Dengan terbangnya balon tersebut (bersama balon imajinernya
anak-anak HIMMAH) maka usai sudah acara apel bendera perdana di kampung Bermi.
Sekilas terbesit dibenak saya bahwa mulai hari itu warga kampung bermi memiliki
pesta rakyat selain pesta-pesta lainnya (tidak termasuk pemilu).
Catatan lain yang saya dapat adalah bahwa pengkhidmatan terhadap
hari-hari besar khususnya hari pahlawan ternyata sangat subyektif. Bayangkan
saja, upacara seperti yang terjadi dikampung tersebut mungkin tidak akan pernah
terjadi jikalau pahlawannya bukan dari NTB lebih-lebih dari kampung yang sama.
Bisa dibuktikan bahwa pelaksanaan apel itu hanya dilaksanakan dikampung
tersebut, dikampung lain tidak ada.
Terlepas dari itu, biarkan saja pengkhidmatannya subyektif
yang penting tokoh nasionalnya sangat layak menjadi seorang tokoh pahlawan
nasional. Karena kelayakannya pun tidak ditentukan secara subyektif tetapi
dengan tolak ukur obyektifitas yang melewati rentetan penilaian panjang. Lagian
penghargaan terhadap pahlawan nasional tidak selamanya termanifestasikan lewat
apel.
Bisa jadi tukang ojek diluar sana sembari mengantar
penumpang diam-diam memanjatkan doa untuk para pahlawan. Bisa jadi sambil
mengangkat barang, para buruh di pasar melantunkan fatihah untuk para pahlawan.
Bisa jadi ibu-ibu sambil menggendong bayinya mengirim rasa syukurnya atas
perjuangan para pahlawan. Bahkan bisa jadi orang-orang yang kontra terhadap
sosok pahlawan nasional, jauh dilubuk hati mereka menyatakan kekaguman dan
pengakuan mereka akan kelayakannya.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana euforia
tersebut berjalan selaras dengan sejauh mana kita meneladan perjuangan para
pahlawan tersebut. Apel sebagai wujud eofuria sangat bagus apalagi dilaksanakan
dalam skala mikro seperti di kampung Bermi. Mudah-mudahan saja, jika
pelaksanaan apel bisa menjadi tradisi di kampung dan dilaksanakan setiap tahun,
begitu pula nilai keteladanannya, mudah-mudahan bisa dilaksanakan bukan sekali
setahun tetapi setiap hari dan setiap waktu.
[1]
Bahasa Pancor (bahasa asli kampung tersebut)
[2]
“Ibu-ibu yang belum bagus barisannya untuk segera merapikan barisan, lelah kami
meminta ibu-ibu semua dari tadi, ayo segeraaa!
[3]
Kepala Lingkungan. Kalau di desa disebut Kepala Dusun (Kadus)