Satu minggu sudah pergantian nahkoda Ikatan Pemuda Pringgabaya (IPP) diambil alih oleh yang baru. Meski secara legal belum sepenuhnya
berhak membawa roda organisasi ini ke arah mana (karena belum dilantik). Namun disini saya turut
bersyukur, karena pada akhirnya transisi kepemimpinan organisasi yang bahkan
belum seumur jagung ini berjalan baik. Saya sendiri ikut menyaksikan dan
terlibat pada Musyawarah Besar (Mubes)nya. Malah kemarin nampak bermunculan
bibit-bibit baru yang rupanya, pada masa transisi berikutnya, sangat potensial
menjadi pemimpin IPP yang lebih baik kedepannya lagi. Insyaallah.
Sedikit merefleksi, mungkin ada yang masih bertanya, “apa
sih IPP itu? Kenapa mesti ada Ikatan Pemuda Pringgabaya? Bukankah disetiap desa
sudah ada karang taruna? Atau mungkin ruang lingkupnya lebih besar, gitu?”
Begini, sebelum
terlalu banyak pertanyaan lagi, mending saya langsung saja cerita sedikit. Yah,
ini juga saya simpulkan-lalu saya interpretasi sendiri, dari
percakapan-percakapan WA para founder-nya
karena saya sendiri tidak terlibat langsung mendirikannya. Kalau salah, silakan
diluruskan saja berdasarkan pendapat masing-masing.
Begini, seperti yang disebutkan dalam Anggaran Dasarnya, IPP
didirikan diatas cita-cita menjadikannya sebagai wadah pemersatu pemuda-pemudi
pringgabaya, yang dalam hal ini khusus di desa Pringgabaya. Nah, mungkin tepat
pertanyaan sebelumnya, bukankah sudah ada karang taruna? Betul. Tapi mungkin
banyak potensi yang tidak tertampung di Karang Taruna. Kita bisa lihat dari
perbedaan keduanya. IPP lebih banyak diisi oleh tunas muda-yang cenderung dari
kalangan pelajar dan mahasiswa. Sedangkan karang taruna sebaliknya, meski
tergolong muda tetapi lebih banyak berumur diatas 30-an. Lebih seniorlah dari
kebanyakan anggota IPP.
Lalu? Yah saya fikir jika Karang Taruna mau merenung,
mungkin saja IPP lahir dari ketidakmampuan mereka mengakomodasi ide-ide dan
semangat yang menggebu-gebu para tunas muda itu. Dalam beberapa kasus, saat
beberapa perwakilan IPP mencoba menyampaikan ide pada salah satu persiapan event,
beberapa unsur salah satunya dari karang taruna menolak mentah-mentah dengan
alasan yang sangat kuno bin kolot yakni menganggap anak-anak IPP masih bau
kencur.
Saya sadar, tentu tidak tepat mengaitkan kejadian jauh
setelah IPP eksis dengan asal muasal berdirinya IPP itu sendiri, tetapi saya
menduga bahwa kejadian-kejadian seperti itu sudah berlangsung jauh sebelum IPP
hadir, sehingga para founder IPP
akhirnya memutuskan untuk menyampaikan ide-idenya dari luar ‘ruangan’ lalu mendirikan
organisasi independen bernama IPP. Ia menjadi antitesis yang mencoba menggoyang status
quo para patriark. Inilah sebenarnya esensi utama IPP didirikan, menjadi
antitesis yang berfungsi sebagai ‘agent
of control’ pemerintah setempat.
Walaupun sejauh yang saya saksikan, pengurus IPP cukup membuka
diri bekerjasama dengan pemerintah desa dalam kerja-kerja sosial secara nyata.
Misalnya dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pendataan jumlah rumah rusak
saat gempa, ikut melaksanakan kebersihan lingkungan, mendirikan bak air di
lahan pemakaman desa, dan sebagainya.
Sekali lagi, status IPP itu adalah independen atau otonom.
Ini mungkin menjadi perbedaan berikutnya antara IPP dengan Karang Taruna. Sudah
jelas kalau Karang taruna adalah organisasi yang bernaung di bawah struktur
pemerintahan desa. Bisa dikatakan Karang taruna adalah perpanjangan tangan dari
Kepala Desa yang meneruskan program-program kepemudaannya.
Lalu bagi IPP sendiri, harus ingat betul dimana dia berdiri.
Jangan sampai kerja utamanya sebagai ‘agent
of control’ itu dinina bobokkan oleh ‘welas asih’ tangan penguasa. Boleh-boleh
saja kemudian ketua yang baru IPP membawa IPP seperti tahun-tahun yang sudah
lewat bekerja layaknya kerja Karang Taruna, jika dirasa melakukan kontrol dalam
bentuk kritik dan saran tidak cukup. Tetapi jangan lupa, kerja-kerja taktis itu
jangan sampai berdasarkan ‘like or dislike’ penguasa (lagi). IPP kedepannya
harus cukup jeli menganalisis kebutuhan real
dari pemuda desa Pringgabaya. Bisa dengan melakukan survey, dsb.
Apakah saya pesimis jika desa (melalui karang taruna) tidak
melaksanakan program berdasarkan kebutuhan real
pemuda? Saya jawab, Ya. Sejauh yang saya saksikan, program-program Karang
Taruna lebih banyak pada aspek pengembangan fisik. Programnya lebih banyak seputar olah raga
saja, itupun hanya sepak bola. Bahkan tidak jelas bagaimana mengukur kemajuan
persepak bolaannya karena sejauh ini sangat jarang (untuk tidak mengatakan
tidak ada) pemuda desa yang berprestasi, minimal tembus club nasional.
Padahal dimana-mana, pemuda tidak hanya butuh
program-program seperti itu. Masih banyak pemuda-pemuda yang menganggur yang
butuh pelatihan skill. Skill disinipun harus disesuaikan,
karena tidak semua pemuda menyukai satu hal yang sama. Misalnya desa hanya
memberikan pelatihan barber shop dan teknik perbengkelan. Mungkin
ini bagus, tetapi harus disesuaikan lagi dengan pelatihan skill yang lain agar
lebih sesuai dengan minat pemudanya. Karena jika tidak, pelatihan hanya tinggal
pelatihan, setelah itu mereka malah tidak jadi mengaplikasikannya di dunia
kerja karena tidak sesuai minatnya.
Menyaksikan masalah kepemudaan yang semakin kompleks dari masa ke masa itu, PR dari pemerintah
desa jelas semakin berat. IPP yang berfungsi sebagai organisasi ‘agent of kontrol’ harus
benar-benar jeli melihat itu agar mampu memberikan rekomendasi kepada
pemerintah desa, bahkan kritik yang lebih keras jika terlalu jauh dari
kepentingan umum.
Akhirnya saya ucapkan selamat bekerja untuk ketua baru
Ikatan Pemuda Pringgabaya. Semoga bisa membawa organisasi ini menjadi lebih
baik demi kemajuan desa Pringgabaya yang sama-sama kita cintai.