Sambil menghisap sebatang rokoknya, Rambok seperti biasa termenung
dengan tatapan kosong, dan membiarkan fikirannya mengembara. Seolah ingin
mengamalkan sabda filsuf Descartes bahwa ia eksis saat ia berfikir, “Cogito,
ergo sum”. Tetapi tidak. Bukan itu. Ia memang terbiasa, bahkan sudah menjadi
otomatis dalam sistem otaknya untuk berfikir setiap hari. Ia pun kadang
berdebat, malah bernegosiasi meminta barang semenit saja agar otaknya istirahat
berfikir. Tetapi sungguh otaknya tidak menyanggupi. Bukan karena tidak mampu.
Tetapi sekali lagi, otaknya sudah otomatis begitu.
Sulit memang mencari alasan yang tepat kenapa otaknya si
Rambok terus menerus bekerja dengan fikirannya. Meski sebenarnya ia tahu secara
empiris, itu bermula semenjak bersentuhan dengan dunia filsafat. Ia merasa
filsafat sudah seperti udara yang dengannya jantung terus menerus memompa darah
lalu memberikan satu kehidupan bagi empunya. Filsafat memacu otaknya memompa
fikiran-fikirannya terus menerus, jika
sesaat saja berhenti maka kehidupannya akan berakhir.
“Sudah lama bang Ram?” tanya Lo’ Ucun yang terlihat membuka pintu kamar kosnya sambil keluar
mendekati Rambok
“Barusan dateng” jawab Rambok yang masih setengah berada
dalam alam fikirannya
“Kamu ndak
kuliah?” sambungnya
“Hari ini libur bang”
“owh”
Ucun duduk bersila dekat Rambok. Seperti biasa pasti ia
ingin melontarkan pertanyaan sebagai pemantik obrolannya setiap Rambok datang
berkunjung ke kosnya. Obrolannya mencakup segala hal. Apa yang terlintas di
kepala sah-sah saja bagi Lo’ Ucun
untuk dikupas dan dipertanyakan.
“Bang kenapa sih berita-berita di media itu membosankan?” Lo’ Ucun mengejar
“Siapa suruh kamu mantengin media terus” Rambok cengengesan
“Yak kan zaman sekarang gak mungkin gak lolos dari media
bang. Baru buka HP aja udah disuguhi notif berita”
“Oh jadi kamu bosan karena itu”
“Gak juga bang, yang bikin bosan itu karena beritanya selalu
yang kontroversial, sensasional. Terus bahasanya bombastis. Pas buka, yah
isinya biasa-biasa saja. Gak da yang penting. Gak berguna lah gitu bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.hehe”
“Wuih, ngomongmu kayak politisi ya sekarang, pakai
berbangsa-bernegara segala”
“Haha, pengen aja bang rasain sensasi pakai bahasa elit
mereka.hihi”
“Kamu tahu gak apa persamaan politisi, pedagang, dan media?”
Rambok langsung nembak
“Mmm..gak tahu tuh bang, emang ada ?” Lo’ Ucun kadang terlihat pintar saat bertanya, namun sejatinya ia
masih polos dalam berfikir. tetapi ini singkron sebenarnya. Ia bertanya karena
benar-benar tidak tahu. Tidak seperti peserta-peserta di kebanyakan forum
diskusi dan seminar yang justru bertanya disertai motif: ingin terlihat kritis,
pemenuhan eksistensi, yang lebih konyol berebut doorprize.
“Simple Cun, bedanya mereka sama-sama berjualan. Kalau
pedagang menawarkan barang dan jasa, maka media menawarkan informasi dan politisi
menjajakan janji”
“Kalau mereka memang sama-sama berjualan, kok jualan mereka
membosankan? Isinya berita artis kawin cerai. Tadi saya baca ada ustadz
terkenal cerai, jadi viral. Beberapa hari sebelumnya beritanya soal mantan
bintang film porno dukung timnas sepak bola kita. Terus viral lagi tuh ucapan
artis di luar negeri yang dianggap tidak nasionalis. Ah pokoknya membosankan.
Tidak ada untungnya secara langsung bagi kehidupan sehari-hari kita”
“Hafal betul ya kamu beritanya” Rambok menyindir
“Ya kan terpaksa bang, itu saja yang muncul soalnya. Buka
facebook itu yang muncul. Buka IG itu juga yang muncul. Ya mau gak mau aku buka
juga.hehe”
“Iya, lain kali aku jelasin kamu kenapa bisa gitu. Tapi kamu
bisa cari sendiri dulu lah di Syaikh mu itu, si mbah Google. Ku jawab
pertanyaanmu dulu” Meski masih belajar, Rambok tetap mencoba memberi penjelasan
sepengatahuannya, sejauh yang sudah dipelajarinya.
“Dalam ilmu ekonomi ada namanya supply dan demand. Jadi
ketersediaan barang itu tergantung dari kebutuhan konsumen. Jadi sederhana saja
Cun. Jika pedangang sebelum berjualan haru melihat kebutuhan konsumen, media
dan politisi juga begitu.
Media menyuguhkan berita sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Politisi menawarkan janji sesuai dengan janji apa yang disenangi kebanyakan
orang. Jadi kalau beritanya itu-itu saja, mungkin kebanyakan kita masih suka
dengan berita itu. Meski bagi kamu membosankan dan tak berguna. Kamu juga bisa
menyimpulkan mengapa politisi janjinya itu-itu saja. Ya karena kebanyakan kita
masih terbuai dengan jenis-jenis janji itu. Ngeno
Cun!”