Kata Bijak Pak Tuan - Amaq Solah
News Update
Loading...

Friday, January 10, 2020

Kata Bijak Pak Tuan



Dalam sebuah perjalanan menuju kota Mataram, Rambok mampir di warung kopi untuk sekedar melepas lelah sebelum meneruskan perjalanannya lagi. Di samping tempatnya duduk, berjejer beberapa orang yang rupanya telah dulu menikmati hitamnya kupi bedeng khas Lombok.

Namun demikian, kebanyakan dari mereka tidak saling sapa satu sama lain. Saling melempar basa basi sekedar mencari cara mengakrab layaknya manusia normal yang homini Socius. Rambok menikmati saja serutan demi serutan sambil menggosok-gosok layar hp-nya.

Cara ini ia terpaksa pilih, daripada ia dihadapkan dengan kenyataan: kalaupun menyapa dan mengajak ngobrol orang di sebelahnya, mungkin saja orang itu akan membalas dengan persentase 20% menjawab dan sisanya kembali melototi layar hpnya.

“Hidup ini adalah panggung sandiwara” adalah suatu ungkapan yang rupanya sesuai dengan istilah filsafat komunikasi di era postmo yang disebut dengan simulakra. Bedanya simulakra adalah sandiwara di atas sandiwara. Jika sandiwara berarti kefanaan, maka simulakra adalah kefanaan di atas kefanaan. Bahwa hidup adalah fana, maka simulakra adalah cicitnya hidup yang fana itu.

Makanya tak perlu heran jika melihat seorang istri lebih senang curhat di depan layar segenggam daripada kepada suami yang sedang di sampingnya. Tak perlu pula menggelengkan kepala jika melihat seorang suami yang tak tahu di hadapannya ternyata anak kecilnya jatuh tersandung karena sibuk melawan musuh-musuh dunia game onlinye.

Rambok sadar akan hal itu. Faktanya ia hanyalah satu dari sekian orang yang menyadarinya, bisa dibilang ia adalah minoritas. Padahal nyatanya minoritas seringkali dipaksa mengikuti hasrat mayoritas. Untuk hal-hal yang menyakitkan kadang hidup ini begitu demokratis;yang banyak yang menang;yang banyak yang menguasai.

Rambok mengurai kesadarannya itu dan melayang bersama asap-asap rokok yang mengepul dari lubang hidung dan bibirnya. Tak lama terdengar celetukan lelaki separuh baya berkopiah putih persis duduk di sampingnya.

“Kopiah putih itu sebenarnya simbol bahwa setiap orang yang baru pulang dari tanah suci makkah, setelah selesai menunaikan rukun islam terakhir, haruslah berfikiran yang jernih, lebih bijak, menjaga tutur kata dan perbuatan dari maksiat”

“Bijak juga pak tuan[1] ini, tanpa dimintapun ia langsung memberikan kata mutiaranya. Mungkin dia sedang mengaji dirinya sendiri dan menyampaikan pesannya untukku…” simpul Rambok meski ia ikut-ikutan tak bergeming dari layar hp-nya. Seketika pak tuan itu berkata lagi,

 “Kurang ajar nih orang, nyindir aku rupanya”

Seketika itu pula Rambok menengok ke orang itu, terheran-heran kok bisa ucapannya se-berlawanan itu. Tak sengaja tatapan rambok langsung ke layar hp pak tuan.

“Owh..” Rambok akhirnya tahu kalau ternyata orang itu sedang membaca sebuah meme yang dikirimkan teman satu grup WA-nya.



[1] “tuan” dalam bahasa sasak adalah panggilan untuk orang yang sudah haji. Jadi pak tuan bisa disamakan dengan panggilan pak haji.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done