Dalam sebuah perjalanan menuju kota Mataram, Rambok mampir di
warung kopi untuk sekedar melepas lelah sebelum meneruskan perjalanannya lagi. Di
samping tempatnya duduk, berjejer beberapa orang yang rupanya telah dulu
menikmati hitamnya kupi bedeng khas
Lombok.
Namun demikian, kebanyakan dari mereka tidak saling sapa
satu sama lain. Saling melempar basa basi sekedar mencari cara mengakrab
layaknya manusia normal yang homini Socius. Rambok menikmati saja serutan
demi serutan sambil menggosok-gosok layar hp-nya.
Cara ini ia terpaksa pilih, daripada ia dihadapkan dengan
kenyataan: kalaupun menyapa dan mengajak ngobrol orang di sebelahnya, mungkin
saja orang itu akan membalas dengan persentase 20% menjawab dan sisanya kembali
melototi layar hpnya.
“Hidup ini adalah panggung sandiwara” adalah suatu ungkapan
yang rupanya sesuai dengan istilah filsafat komunikasi di era postmo yang
disebut dengan simulakra. Bedanya simulakra adalah sandiwara di atas sandiwara.
Jika sandiwara berarti kefanaan, maka simulakra adalah kefanaan di atas
kefanaan. Bahwa hidup adalah fana, maka simulakra adalah cicitnya hidup yang
fana itu.
Makanya tak perlu heran jika melihat seorang istri lebih
senang curhat di depan layar segenggam daripada kepada suami yang sedang
di sampingnya. Tak perlu pula menggelengkan kepala jika melihat seorang suami
yang tak tahu di hadapannya ternyata anak kecilnya jatuh tersandung karena sibuk
melawan musuh-musuh dunia game onlinye.
Rambok sadar akan hal itu. Faktanya ia hanyalah satu dari
sekian orang yang menyadarinya, bisa dibilang ia adalah minoritas. Padahal
nyatanya minoritas seringkali dipaksa mengikuti hasrat mayoritas. Untuk hal-hal
yang menyakitkan kadang hidup ini begitu demokratis;yang banyak yang
menang;yang banyak yang menguasai.
Rambok mengurai kesadarannya itu dan melayang bersama
asap-asap rokok yang mengepul dari lubang hidung dan bibirnya. Tak lama
terdengar celetukan lelaki separuh baya berkopiah putih persis duduk di
sampingnya.
“Kopiah putih itu sebenarnya simbol bahwa setiap orang yang
baru pulang dari tanah suci makkah, setelah selesai menunaikan rukun islam terakhir, haruslah
berfikiran yang jernih, lebih bijak, menjaga tutur kata dan perbuatan dari
maksiat”
“Bijak juga pak tuan[1]
ini, tanpa dimintapun ia langsung memberikan kata mutiaranya. Mungkin dia
sedang mengaji dirinya sendiri dan menyampaikan pesannya untukku…” simpul
Rambok meski ia ikut-ikutan tak bergeming dari layar hp-nya. Seketika pak tuan itu berkata lagi,
“Kurang ajar nih
orang, nyindir aku rupanya”
Seketika itu pula Rambok menengok ke orang itu, terheran-heran kok
bisa ucapannya se-berlawanan itu. Tak sengaja tatapan rambok langsung ke layar
hp pak tuan.
“Owh..” Rambok akhirnya tahu kalau ternyata orang itu sedang
membaca sebuah meme yang dikirimkan teman satu grup WA-nya.
[1]
“tuan” dalam bahasa sasak adalah panggilan untuk orang yang sudah haji. Jadi pak tuan bisa disamakan dengan panggilan pak haji.