Arnold Schwazenegger dalam sebuah pidatonya pernah berkata,“I
hate plan B. And I tell you why. You have so many doubters. You have so many of
those people that say no, you can’t do it, that’s imposible. But when you start
doubting yourself that is very dangerous.” Ia menegaskan bahwa plan B hanya
membuat orang meragukan dirinya, meragukan kemampuannya. Baginya, Plan B juga
menjadi penyebab orang takut menghadapi kegagalan. Orang juga cenderung lari dari
kenyataan kegagalan tanpa berfikir tetap menghadapinya dan berjuang sampai
meraihnya.
Ia kemudian mencontohkan dengan mengutip sebuah jawaban dari pebasket
legendaris Michel Jordan ketika seorang host menginterviewnya dengan mengatakan
bahwa ia adalah pebasket tersukses sepanjang masa. Apa yang dikatakan Jordan
dengan pernyataan itu? Ia lalu mengatakan bahwa orang hanya cenderung melihat
kesuksesan yang ia raih tanpa melihat bahwa sebelum mencapai prestasi dengan
kemampuan super itu, ia telah melewati tidak kurang dari 9000 kegagalan shot.
Tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan Arnold, begitulah
apa yang ada dibenak saya selama ini dan apa yang telah saya lewati dalam
ikhtiar saya. Sebagai anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, mungkin
sebuah kemustahilan mengharapkan melanjutkan studi master saya dengan biaya
sendiri. Maka dari itu saya sadar jalan satu-satunya hanyalah melalui beasiswa.
Beberapa kali mencoba keberuntungan melalui beasiswa tak
lantas membuat saya langsung meraihnya. Kegagalan demi kegagalan menghampiri.
Persis seperti dikatakan Arnold, beberapa orang mengatakan kepada saya bahwa
mungkin ini takdir saya. Beasiswa bukanlah jalan saya. Lebih parah saat orang dekat
sendiri mengatakan saya memang tidak mampu melakukannya dan menyarankan jalan
lain saja.
Tidak sampai seperti Arnold yang mengatakan “I hate plan B”,
Tetapi entah kenapa hati dan fikiran saya seolah tidak mau beranjak dan
memiliki “plan B”. Tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga tak sampai menghalangi
saya untuk terus memikirkan dan berusaha mencari jalan agar bisa meraih plan
satu-satunya yakni melanjutkan studi. Meski tanpa bermaksud naïf bahwa peran
istri dan orang tua saya sebagai supporter
utama saya tidak pernah pupus.
Mungkin ini pula yang dimaksud TGB bahwa doa pasti
terkabulkan, dan akan semakin cepat terkabulkan jika doa sesuai dengan ikhtiar.
Sambil kerja serabutan, saya tetap mencari dan melengkapi persiapan beasiswa
yang selama ini saya impikan. Sampai datanglah beasiswa NTB di bawah
kepemimpinan Zul-Rohmi. Singkat cerita, sayapun menjadi salah satu Awardee
beasiswa ini.
Jika kita terbiasa khawatir,lalu seringkali memiliki
perencanaan yang menumpuk, melaksanakan segala sesuatunya dengan
alternative-alternatif rencana yang lain (karena takut akan kegagalan), dan
belum bisa meraih apa yang sesungguhnya benar-benar kita impikan, mungkin ada
baiknya sesekali kita mengatakan, “I hate plan B”.
Amaq Solah
Kajang, 10/02/2020 ditemani teh tanpa gula