Kali ini ia tak terlihat sedikitpun bergurau, bercanda ria
dan berkelakar seperti biasanya. Aku percaya setelah bertahun-tahun dihiburnya
di layar kaca bahwa ia adalah seorang periang, supel dan ramah. Padahal saat
ditanya teman pelawaknya aku berharap dia menjawab dengan jawaban yang santai
tidak serius layaknya yang dikerjakan sehari-hari. Namun tidak. Kali ini ia
benar-benar serius dengan jawabannya.
Akupun yang semula berharap dia sekedar bercanda langsung merubah emosi dari riang menjadi begitu serius. Aku sadar bahwa si pelawak super duper periang itu sekarang menjadi layaknya penagih hutang yang tak pernah bercanda meminta kembali haknya.
Ah iya, aku mulai sadar ternyata lawakan sehari-hari yang
dia buat itu adalah sebuah pekerjaan, bukan kehidupannya yang sebenarnya. Aku
benar-benar mulai menyadari itu. Dan itu saat si pelawak dihadapkan dengan
kehidupannya yang sebenarnya. Di sebuah acara yang kebetulan hari itu ia adalah host sekaligus menjadi guest.
Ibu dan saudaranya didatangkan. Mereka ditanya bagaimana
kehidupan si pelawak di rumah. Tidak ada yang aneh dengan jawaban
saudara-saudaranya itu. Keanehan mulai tampak saat ibunya ditanya. Anda tahu
jawabannya apa?ia hanya bisa menangis. Ditanya lagi, si ibu menangis. Sampai
rekan si pelawak itu mengalihkan pertanyaannya untuk menenangkan situasi.
Pada saat yang sama, pertanyaan itu langsung diberikan
kepada si pelawak. Responnya?inilah yang ku maksud sesuatu yang aku tidak
bayangkan dari sosok seorang periang yang seperti aku jelaskan diatas. Ia menimpali
dengan spontan bahwa ibunya memang begitu, selalu nangis, nangis dan nangis.
Ia meyakinkan penonton (dan tentunya orang seantero negeri
yang menonton acara itu) bahwa menangis saja tidak cukup dan tidak baik.
Masalah tidak akan selelsai hanya dengan menangis. Diapun berkata bahwa dia
telah meminta ibunya untuk berhenti menangis, pun katanya ia sudah meminta
ibunya mulailah berbicara. Ungkapkan masalah yang ada. Jangan cuma bisa nangis.
Seolah pada saat yang sama ia mengatakan bahwa ibunya
bersikap salah, bodoh , dan tidak tahu cara menyelesaikan masalah, dan itu
sekali lagi di depan seantero negeri. Ini yang membuat ku tersentak. Meski
kemudian itu tak lantas membuat aku terfokus pada kekecewaanku dengan tingkah
si pelawak itu tetapi justru membuat aku bercermin pada kejadian itu.
Mungkin secara tidak sadar akupun telah melakukannya
berulang kali namun di luar pengetahuanku. Aku merasa pongah dan menganggap
diri paling benar lebih benar dari orang tua aku sendiri. Mungkin iya orang tua
salah, tetapi tidak lantas membuat kita benar dan boleh menyudutkan orang tua.
Jika kita mengeluh dengan tingkah orang tua yang nampaknya membingungkan,
bukannya itu tugas kita berusaha memahaminya? Sebagaimana ia dulu
berpuluh-puluh tahun belajar bersabar dengan tingkah aneh kita?
Ah kejadian itu benar-benar menampar keangkuhanku selama
ini. Lepas kejadian itu. Begitu banyak kejadian-kejadian serupa yang terjadi
dihadapanku. Lebih-lebih saat aku sebagai awardee beasiswa. Inak[i]
ku sering menangis saat aku berbicara tentang itu. Ibuku bukan tipe orang
pendiam seperti ibunya si pelawak itu. Namun meski bukanlah seorang pendiam, ia
tetap saja tidak mampu menahan tangisnya saat membicarakan cita-cita tertinggi
putranya (baca:melanjutkan studi) yang ia sendiri tak mampu berikan.
Saat berbicara langsung maupun melalui ponsel, inak ku tidak pernah mampu menahan
genangan air matanya jika yang kami bicarakan adalah cita-citaku, yang telah
tergapai. Aku bersyukur setelah menonton kejadian si pelawak itu, membuatku
melihat dari perspektif lain yang mungkin saja lebih dalam, arti air mata
seorang ibu. Bahwa bulir-bulir air itu jatuh tiada lain sebagai ungkapan rasa
syukur dan bahagia yang klimaks hingga kata tak cukup mampu mewakilinya.
Sejak saat itu aku sadar bahwa kata-kata begitu terbatas
sebagai jembatan menyampaikan rasa. Sejak itu pula aku kemudian belajar
memahami rasa dengan rasa bukan dengan kata. Bahkan sejak itu pula aku belajar
memahami kata dengan rasa. Makna mungkin bisa saja ditangkap dengan kata
setelah berusaha sekian usaha. Namun kata-kata tetap akan tunduk jika diminta
memahami rasa.
Maka tak sepatah katapun keluar saat perpisahan dengan inak ku. Di depan pintu keberangkatan
itu, ia hanya bisa menangis, air matanya berlinang deras melepas anaknya
menggapai cita-cita tertingginya itu. Aku merasakannya, aku menahan kata-kata ku,
aku terus berusaha merasakannya sampai pada akhirnya rasa itupun berubah
menjadi linangan air mata yang sama. aku cium bolak balik tangannya seperti
yang biasa aku lakukan. Aku lalu mencium
kedua pipinya sudah basah dengan air mata itu. Aku menutup perpisahan itu
dengan sebuah pelukan. Pelukan yang membuatku merasakan dalamnya kasih akung
seorang ibu.
Amaq Solah
Kajang, 08/02/2020