Kasih Sayang Seorang Ibu - Amaq Solah
News Update
Loading...

Saturday, February 8, 2020

Kasih Sayang Seorang Ibu



Kali ini ia tak terlihat sedikitpun bergurau, bercanda ria dan berkelakar seperti biasanya. Aku percaya setelah bertahun-tahun dihiburnya di layar kaca bahwa ia adalah seorang periang, supel dan ramah. Padahal saat ditanya teman pelawaknya aku berharap dia menjawab dengan jawaban yang santai tidak serius layaknya yang dikerjakan sehari-hari. Namun tidak. Kali ini ia benar-benar serius dengan jawabannya.

Akupun yang semula berharap dia sekedar bercanda langsung merubah emosi dari riang menjadi begitu serius. Aku sadar bahwa si pelawak super duper periang itu sekarang menjadi layaknya penagih hutang yang tak pernah bercanda meminta kembali haknya.

Ah iya, aku mulai sadar ternyata lawakan sehari-hari yang dia buat itu adalah sebuah pekerjaan, bukan kehidupannya yang sebenarnya. Aku benar-benar mulai menyadari itu. Dan itu saat si pelawak dihadapkan dengan kehidupannya yang sebenarnya. Di sebuah acara yang kebetulan hari itu ia adalah host sekaligus menjadi guest.

Ibu dan saudaranya didatangkan. Mereka ditanya bagaimana kehidupan si pelawak di rumah. Tidak ada yang aneh dengan jawaban saudara-saudaranya itu. Keanehan mulai tampak saat ibunya ditanya. Anda tahu jawabannya apa?ia hanya bisa menangis. Ditanya lagi, si ibu menangis. Sampai rekan si pelawak itu mengalihkan pertanyaannya untuk menenangkan situasi.

Pada saat yang sama, pertanyaan itu langsung diberikan kepada si pelawak. Responnya?inilah yang ku maksud sesuatu yang aku tidak bayangkan dari sosok seorang periang yang seperti aku jelaskan diatas. Ia menimpali dengan spontan bahwa ibunya memang begitu, selalu nangis, nangis dan nangis.

Ia meyakinkan penonton (dan tentunya orang seantero negeri yang menonton acara itu) bahwa menangis saja tidak cukup dan tidak baik. Masalah tidak akan selelsai hanya dengan menangis. Diapun berkata bahwa dia telah meminta ibunya untuk berhenti menangis, pun katanya ia sudah meminta ibunya mulailah berbicara. Ungkapkan masalah yang ada. Jangan cuma bisa nangis.

Seolah pada saat yang sama ia mengatakan bahwa ibunya bersikap salah, bodoh , dan tidak tahu cara menyelesaikan masalah, dan itu sekali lagi di depan seantero negeri. Ini yang membuat ku tersentak. Meski kemudian itu tak lantas membuat aku terfokus pada kekecewaanku dengan tingkah si pelawak itu tetapi justru membuat aku bercermin pada kejadian itu.

Mungkin secara tidak sadar akupun telah melakukannya berulang kali namun di luar pengetahuanku. Aku merasa pongah dan menganggap diri paling benar lebih benar dari orang tua aku sendiri. Mungkin iya orang tua salah, tetapi tidak lantas membuat kita benar dan boleh menyudutkan orang tua. Jika kita mengeluh dengan tingkah orang tua yang nampaknya membingungkan, bukannya itu tugas kita berusaha memahaminya? Sebagaimana ia dulu berpuluh-puluh tahun belajar bersabar dengan tingkah aneh kita?

Ah kejadian itu benar-benar menampar keangkuhanku selama ini. Lepas kejadian itu. Begitu banyak kejadian-kejadian serupa yang terjadi dihadapanku. Lebih-lebih saat aku sebagai awardee beasiswa. Inak[i] ku sering menangis saat aku berbicara tentang itu. Ibuku bukan tipe orang pendiam seperti ibunya si pelawak itu. Namun meski bukanlah seorang pendiam, ia tetap saja tidak mampu menahan tangisnya saat membicarakan cita-cita tertinggi putranya (baca:melanjutkan studi) yang ia sendiri tak mampu berikan.

Saat berbicara langsung maupun melalui ponsel, inak ku tidak pernah mampu menahan genangan air matanya jika yang kami bicarakan adalah cita-citaku, yang telah tergapai. Aku bersyukur setelah menonton kejadian si pelawak itu, membuatku melihat dari perspektif lain yang mungkin saja lebih dalam, arti air mata seorang ibu. Bahwa bulir-bulir air itu jatuh tiada lain sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia yang klimaks hingga kata tak cukup mampu mewakilinya.

Sejak saat itu aku sadar bahwa kata-kata begitu terbatas sebagai jembatan menyampaikan rasa. Sejak itu pula aku kemudian belajar memahami rasa dengan rasa bukan dengan kata. Bahkan sejak itu pula aku belajar memahami kata dengan rasa. Makna mungkin bisa saja ditangkap dengan kata setelah berusaha sekian usaha. Namun kata-kata tetap akan tunduk jika diminta memahami rasa.

Maka tak sepatah katapun keluar saat perpisahan dengan inak ku. Di depan pintu keberangkatan itu, ia hanya bisa menangis, air matanya berlinang deras melepas anaknya menggapai cita-cita tertingginya itu. Aku merasakannya, aku menahan kata-kata ku, aku terus berusaha merasakannya sampai pada akhirnya rasa itupun berubah menjadi linangan air mata yang sama. aku cium bolak balik tangannya seperti yang biasa aku lakukan. Aku lalu  mencium kedua pipinya sudah basah dengan air mata itu. Aku menutup perpisahan itu dengan sebuah pelukan. Pelukan yang membuatku merasakan dalamnya kasih akung seorang ibu.

Amaq Solah
Kajang, 08/02/2020 



[i] Inak berarti ibu dalam bahasa sasak

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done