Aku ingin mengabadikan satu momen berharga dari anakku, Sholahuddin, siapa tau kelak jejak ini masih ada. Sekarang usianya 2 tahun 8 bulan
Tadi malam, sekitar jam 10, kami masih segar semua, tak ada raut ngantuk sedikitpun. Bapak Sholah sedang membaca buku "Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media", penulisnya Sirikit Syah, seorang mantan Wartawan dibanyak media besar di Indonesia, seorang sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris yang melanjutkan studinya dibidang ilmu komunikasi.
Kalau aku saat itu sedang memastikan sinyal wifi lancar karena berencana menonton film bersama suamiku ketika Sholah sudah tidur, menikmati waktu bersama sebelum kami LDR, karena suamiku, bapak Sholah, akan berangkat S2 ke Malaysia awal bulan depan.
Disamping kananku, Sholah tampak terdiam kerena sudah lelah bermain, sesekali kami saling menatap, lalu dia sibuk dengan bantal doraemon dan selimut Bali kesayangannya.
Tak lama dia bangun dan menghampiri bapaknya. Menunjuk sampul buku yang baginya menarik, tak semenarik isinya yang hanya kertas buram dan teks tanpa gambar, khas buku membosankan biasanya untuk level anak TK/SD, apalagi Sholah yang usianya belum genap 3 tahun.
"Bapak, buku." Dia mengisyaratkan agar bapaknya meminjaminya buku itu.
"Jangan anakku, ini buku bapak. Ini gak menarik buat Sholah." Jelasnya, agar Sholah tidak mengganggu bacaannya.
"Sayang, lihat nih Sholah, dia kira isi bukunya semenarik gambar disampulnya. Hehe." Lanjut Bapak Sholah padaku.
"Biarin aja, siapa tau memang suka." Candaku dengan mimik menahan tawa.
Sholah lalu menarik buku itu dari bapaknya. Bapaknyapun membiarkan.
"Mama, bacain." Pinta Sholah.
"Apa?" Aku mencoba meyakinkan apa yang ku dengar.
"Bacain." Lalu Sholah memperbaiki posisinya yang tiduran disamping kananku, posisi favoritnya ketika aku membacakannya buku cerita. Tapi kali ini bukan buku cerita dia ya, hanya saja dia belum mengerti itu.
Mendengar permintaannya dengan jelas, aku dan bapak Sholah saling tatap dan kami tertawa. Astagfirullah.
"Oke." Jawabku pada Sholah.
"Biarin aja, siapa tau dia memang suka." Bisikku cengengesan pada bapak Sholah.
Akupun membaca satu bab dari buku itu, melanjutkan bacaan bapak Sholah. Bab itu berjudul "Sekolah Jurnalistik dan Ratifikasi Perusahaan Media ". Aku membacanya dengan serius dan mengusahakan intonasi terbaikku (kusesuaikan dg intonasi bacaan dongeng), berharap Sholah bisa betah mendengarku.
Diluar dugaanku tentang kebosanannya, dia justru terlihat tertarik dan betah mendengarkanku membacakannya kalimat berat itu, jurnalistik, ratifikasi, media, harmoni, kurikulum, APBN, APBD, politik, dan bejibun kata-kata yang orang dewasa seperti kitapun belum tentu akrab mendengarnya.
Dia sesekali melihatku dengan wajah sumringah, sesekali tersenyum, sesekali menunjuk acak pargaraf yang kubaca. Sesekali juga mengikutiku menyebut satu kata, semisal jur-na-lis-tik dengan memisahkan suku katanya, dan dia sangat bersemangat memintaku mengulanginya.
Satu judulpun habis, dia masih setia mendengar. 'Kok anteng ya,' hatiku bergumam.
"Sholah senang?" tanyaku.
"Nang." gigi putihnya berderet, senyumnya sangat lebar. Dia belum sempurna menyebut kata.
"Happy?" Sejatinya aku meyakinkan diriku.
"Eppy." Katanya lagi.
Yang paling kocak pas ditanya,
"Ngerti?"
"ngeti" jawabnya dg anggukan serius.
"Hahaha." Aku dan bapaknya Sholah tertawa karena lucu dan bahagia. Bahagia sederhana yang sangat tulus.
***
Mama Solah 24 Januari 2019 pukul 13.43 di akun FB Rizki Alawiya