Aku termasuk orang yang tegar (kataku😁).
Aku hampir tak menangis setiap perpisahan dengan orang-orang yang kucinta. Logikaku cukup jalan karena ku tau perpisahan itu adalah untuk menjemput takdir baik dari Tuhan.
Yang turut melayang hanyalah do'a, harapan, dan senyuman, serta pelukan hangat.
Aku hampir tak menangis setiap perpisahan dengan orang-orang yang kucinta. Logikaku cukup jalan karena ku tau perpisahan itu adalah untuk menjemput takdir baik dari Tuhan.
Yang turut melayang hanyalah do'a, harapan, dan senyuman, serta pelukan hangat.
Aku teringat waktu mama berpulang menuju keabadian, aku justru melihat kakakku yang menangis keras sambil memegang tubuh mama yang mulai dingin, barulah air mataku berjatuhan dalam sepi, padahal dukaku sangat dalam. Aku menangis dibalik layar setelah itu, di banyak hitungan hari dan bulan, hingga kini aku masih sering menangis mengingat kepergian beliau.
Pagi tadi, aku juga tak menangis maupun menahan tangis saat suamiku, bapaknya Sholah, meninggalkan kami utk terbang ke Malaysia. Seperti biasa, aku tau perpisahan ini adalah indah, untuk S2-nya, untuk kebaikan suamiku, kebaikan kami, dan semua orang. Sedangkan kulihat ibu mertua menangis memeluk suamiku, begitulah ibu pada anaknya.
"Da da bapak." Sholah dengan santai melambaikan tangannya. Tak lama, punggung bapaknya sudah tak terlihat.
"Bapak mau pergi sekolah." Kataku sambil mengeratkan kedua tanganku yang sedang menggendongnya.
Sholah memang santai. Kami berusaha selalu jujur padanya apapun aktifitas kami. Contohnya, jika kami akan keluar sebentar, kami katakan mama/bapak akan keluar sebentar, kalau lama ya kami katakan akan keluar lama, alhamdulillah selama ini dia menerima dan tenang. Kepergian inipun telah kami sounding padanya dua minggu terakhir ini.
Lalu hal lucu terjadi ketika kami melanjutkan percakapan. "Bapak mau naik pesawat, Olah." kataku.
"Ikut." Sahutnya.
Yaah, aku salah sebut. "Ayo ayo kita ke ninik." Aku berbalik.
"Ikuuuut. Wat teba (baca: pesawat terbang)" Air matanya langsung jatuh.
Niniknya langsung mengajak Sholah belanja coklat dan susu. Tangispun hilang.
"Ikut." Sahutnya.
Yaah, aku salah sebut. "Ayo ayo kita ke ninik." Aku berbalik.
"Ikuuuut. Wat teba (baca: pesawat terbang)" Air matanya langsung jatuh.
Niniknya langsung mengajak Sholah belanja coklat dan susu. Tangispun hilang.
***
Sewaktu bapaknya masih di waiting room, kami masih bisa telponan. Ku ceritakan bagaimana Sholah menangis ketika dia masuk pintu keberangkatan.
"Benarkah Sholah menangisiku?" Bapaknya kaget karena tau Sholah selalu tenang meski ditinggal.
"Bukan, tapi dia nangis karena mau naik pesawat."
"Hahahaha." Kami tertawa.
"Bukan, tapi dia nangis karena mau naik pesawat."
"Hahahaha." Kami tertawa.
Untuk mengobati penasaran Sholah pada pesawat, kamipun mencari posisi dimana dia bisa melihat pesawat. Kami menyaksikan beberapa pesawat take off hingga terakhir melihat Air Asia, yang ditumpangi bapak Sholah. "Babay, fi amanillah bapaknya Sholah sayang."
***
Jreng, sesampai di rumah, aku menggendong Sholah yang tertidur, masuk kamar, dan langsung disambut rasa sepi. Sepi. Sepi. Ada dua bulir air mata diujung sana yang tak rela jatuh, tak seharusnya jatuh, karena kepergiannya menjemput bahagia.
Kutarik nafas panjang, si bulirpun meringsek masuk, malu pada logika.
Kutarik nafas panjang, si bulirpun meringsek masuk, malu pada logika.
***
Saatnya bangun, beberes kamar, mencuci pakaian-pakaian yang sudah dipakai bapak Sholah, merubah sedikit posisi barang-barang yang bisa mengundang kerinduan yang tak kuinginkan.
Saatnya belajar ilmu baru, menejemen hidup dengan anak ketika bapaknya jauh diperantauan.
Challenge buatku, bagaimana aku tetap produktif, thesisku lancar, Sholah tetap bersamaku. Aku ibunya, aku ibu gurunya. 💪💪
Saatnya bangun, beberes kamar, mencuci pakaian-pakaian yang sudah dipakai bapak Sholah, merubah sedikit posisi barang-barang yang bisa mengundang kerinduan yang tak kuinginkan.
Saatnya belajar ilmu baru, menejemen hidup dengan anak ketika bapaknya jauh diperantauan.
Challenge buatku, bagaimana aku tetap produktif, thesisku lancar, Sholah tetap bersamaku. Aku ibunya, aku ibu gurunya. 💪💪
"Yuk, Sholah, kita berdua bisa!" 🤗
Catatan pagi, 1 Februari 2020.
Mama Sholah