Covid-19 (03)_Shollu fii buyuutikum - Amaq Solah
News Update
Loading...

Monday, March 30, 2020

Covid-19 (03)_Shollu fii buyuutikum




“Sholluu fii buyuutikum, Shalluu fii buyuutikum, shallu fii buyuutikum”, kata setiap muazzin di setiap surau menambah ucapan azan yang biasanya diakhiri “laailahaillallah”. Dengan bekal bahasa arab yang sampai sekarang masih merangkak, aku sedikit tidak, faham maksud ungkapan muazin itu yang kira-kira berarti “shalatlah di rumahmu masing-masing”. Sebuah anjuran yang tidak pernah aku dengar sepanjang aku hidup di dunia. Ini pertama kalinya. Yang ku tahu biasanya ustadz manapun, siapapun, pasti akan menganjurkan untuk shalat berjamaah di masjid. Mereka biasanya akan menguatkan dengan dalil 27 derajat bagi siapapun yang melaksanakannya.

Apalagi ternyata anjuran itu bukan hanya untuk shalat jamaah biasa, bahkan anjuran itu lebih-lebih diperuntukkan untuk shalat jumat, yang pula ku tahu justru tingkat ke-farduannya melebihi shalat-shalat wajib lainnya. Awalnya aku merasa aneh, serasa ada yang hilang dari diri ini. Bukan hanya aku pastinya, semua orang merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Buktinya sampai sekarang masih banyak orang-orang yang memperdebatkan tentang keputusan untuk shalat zuhur di rumah. Meskipun kenyataannya mayoritas ulama dunia mendukung fatwa tersebut.

Memang rutinitas itu seringkali menjebak. Sering kita dengar apa yang disebut sebagai zona nyaman. Maka seandainya kita ingin mencari tahu sebab timbulnya zona nyaman ini, mungkin rutinitaslah yang paling tepat sebagai jawabannya. Rutinitas itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara berulang-ulang dan kemudian menjadi kebiasaan. Kebiasaan inilah seperti kata Dr. Faiz mempengaruhi instink kita. Sehingga kita biasanya merasa ada yang kurang dan hilang jika tidak melakukan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan kita.

Bayangkan saja, kita mendengar azan dengan kalimat yang biasa kita dengar sudah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tiba-tiba berubah seketika. Bayangkan saja kita sudah menjadi keseharian kita pergi ke masjid, atau paling mentok kalau jarang ke masjid ya melihat orang ke masjid setiap waktu. Pun kita sudah biasa sekali seminggu pergi jumatan atau melihat orang ramai-ramai pergi jumatan, bayangkan bagaimana saat semua ini tiba-tiba hilang. Maka secara otomatis insting kita akan merespon dan membuat kita merasa ada yang hilang dari diri kita.

Disinilah sesungguhnya tempat dimana rutinitas itu sungguh-sungguh berbahaya. Bahwa ternyata ia bisa dengan sangat halus menggeser nilai-nilai aktifitas itu sendiri. Kita nyaman terhadap kebiasaan yang berulang-ulang kita lakukan sehingga kita tidak sadar teralihkan dari tujuan pokok dari aktifitas itu sendiri. Praktik-praktik keagamaan misalnya, yang pada dasarnya sebagai instrument yang mengikat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mencari nilai-nilai spiritual setelah penat dari urusan duniawi, bisa jadi tidak bernilai apa-apa selain sekedar menjadi rutinitas biasa. Kita malah menikmati rutinitasnya, bukan untuk apa rutinitas itu dilakukan.

Maka tidak heran jika secara spontan kita akan mempertanyakan ketika bagian-bagian dari kebiasaan itu tiba-tiba berubah. Sekali lagi itu instingtif. Tetapi saat aku mengatakan itu instingtif, maka bisa jadi bermakna bahwa ianya hanyalah aktifitas biasa, yang dikerjakan hanyalah agar perasaan kita enakan, agar tidak ada perasaan yang kurang. Bukan semata-mata disandarkan terhadap pencarian kebenaran nilai spiritual.

Yang paling bahaya menurutku adalah efek rutinitas itu membuat tidak terpakainya akal sehat. Orang cenderung merespon fenomena baru dan melakukan judgment atas apa yang mesti dilakukan terhadap fenonemena itu karena isnting (yang mana insting ini pengaruh dari kebiasaan). Sehingga cenderung menggunakan pendekatan emosional dibanding akal sehat itu.

Ini yang aku saksikan banyak terjadi belakangan ini ketika fenomena wabah covid-19 ini mulai menyebar luas. Dimana wabah ini menyebabkan kebijakan-kebijakan baru dari otoritas yang membentur kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti shalat di masjid dilarang, jumatan ditiadakan, dan sebagainya, dan sebagainya. Sehingga sontak masyarakat merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Lalu secara instingtif mereka spontan menolak. Kecuali ketika mereka mampu mengendalikannya dengan segera beralih ke mode akal sehat.

Bagiku, akal sehat yang disini adalah tidak perlu menunggu diri cerdas secerdas para ilmuan yang mengetahui bagaimana cara kerja penyebaran wabah ini dan bagaimana mengatasinya. Tidak perlu juga menjadi ulama yang mesti tahu segala ilmu keagamaan lalu bisa memutuskan ini benar atau salah. Bagiku, akal sehat yang paling sederhana dan bisa dipraktikkan adalah kehati-hatian dalam merespon apapun. Tidak terburu-buru dan mampu menahan diri meski emosi memuncak.

Lalu setelah itu apa yang harus dilakukan? Come on, bagaimana aku bisa meminta anda menggunakan akal sehat jika semua pertanyaan aku jawab? Lagian kalau aku bisa jawab semua, itu berarti akalku sedang tidak sehat. Tapi aku ada rekomendasi, jika ingin tahu bagaimana menggunakan akal sehat, silakan baca pemikirannya filsuf Rene Descartes ya.

Kajang, 30 Maret 2020

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done