“Sholluu fii buyuutikum, Shalluu fii buyuutikum, shallu fii
buyuutikum”, kata setiap muazzin di setiap surau menambah ucapan azan yang
biasanya diakhiri “laailahaillallah”. Dengan bekal bahasa arab yang sampai
sekarang masih merangkak, aku sedikit tidak, faham maksud ungkapan muazin itu
yang kira-kira berarti “shalatlah di rumahmu masing-masing”. Sebuah anjuran
yang tidak pernah aku dengar sepanjang aku hidup di dunia. Ini pertama kalinya.
Yang ku tahu biasanya ustadz manapun, siapapun, pasti akan menganjurkan untuk
shalat berjamaah di masjid. Mereka biasanya akan menguatkan dengan dalil 27
derajat bagi siapapun yang melaksanakannya.
Apalagi ternyata anjuran itu bukan hanya untuk shalat jamaah
biasa, bahkan anjuran itu lebih-lebih diperuntukkan untuk shalat jumat, yang
pula ku tahu justru tingkat ke-farduannya melebihi shalat-shalat wajib lainnya.
Awalnya aku merasa aneh, serasa ada yang hilang dari diri ini. Bukan hanya aku
pastinya, semua orang merasa ada yang hilang, ada yang kurang. Buktinya sampai
sekarang masih banyak orang-orang yang memperdebatkan tentang keputusan untuk
shalat zuhur di rumah. Meskipun kenyataannya mayoritas ulama dunia mendukung
fatwa tersebut.
Memang rutinitas itu seringkali menjebak. Sering kita dengar
apa yang disebut sebagai zona nyaman. Maka seandainya kita ingin mencari tahu
sebab timbulnya zona nyaman ini, mungkin rutinitaslah yang paling tepat sebagai
jawabannya. Rutinitas itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara
berulang-ulang dan kemudian menjadi kebiasaan. Kebiasaan inilah seperti kata
Dr. Faiz mempengaruhi instink kita. Sehingga kita biasanya merasa ada yang
kurang dan hilang jika tidak melakukan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan
kita.
Bayangkan saja, kita mendengar azan dengan kalimat yang
biasa kita dengar sudah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tiba-tiba
berubah seketika. Bayangkan saja kita sudah menjadi keseharian kita pergi ke
masjid, atau paling mentok kalau jarang ke masjid ya melihat orang ke masjid
setiap waktu. Pun kita sudah biasa sekali seminggu pergi jumatan atau melihat
orang ramai-ramai pergi jumatan, bayangkan bagaimana saat semua ini tiba-tiba
hilang. Maka secara otomatis insting kita akan merespon dan membuat kita merasa
ada yang hilang dari diri kita.
Disinilah sesungguhnya tempat dimana rutinitas itu
sungguh-sungguh berbahaya. Bahwa ternyata ia bisa dengan sangat halus menggeser
nilai-nilai aktifitas itu sendiri. Kita nyaman terhadap kebiasaan yang
berulang-ulang kita lakukan sehingga kita tidak sadar teralihkan dari tujuan
pokok dari aktifitas itu sendiri. Praktik-praktik keagamaan misalnya, yang pada
dasarnya sebagai instrument yang mengikat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
mencari nilai-nilai spiritual setelah penat dari urusan duniawi, bisa jadi
tidak bernilai apa-apa selain sekedar menjadi rutinitas biasa. Kita malah
menikmati rutinitasnya, bukan untuk apa rutinitas itu dilakukan.
Maka tidak heran jika secara spontan kita akan
mempertanyakan ketika bagian-bagian dari kebiasaan itu tiba-tiba berubah.
Sekali lagi itu instingtif. Tetapi saat aku mengatakan itu instingtif, maka
bisa jadi bermakna bahwa ianya hanyalah aktifitas biasa, yang dikerjakan
hanyalah agar perasaan kita enakan, agar tidak ada perasaan yang kurang. Bukan
semata-mata disandarkan terhadap pencarian kebenaran nilai spiritual.
Yang paling bahaya menurutku adalah efek rutinitas itu membuat
tidak terpakainya akal sehat. Orang cenderung merespon fenomena baru dan
melakukan judgment atas apa yang
mesti dilakukan terhadap fenonemena itu karena isnting (yang mana insting ini
pengaruh dari kebiasaan). Sehingga cenderung menggunakan pendekatan emosional
dibanding akal sehat itu.
Ini yang aku saksikan banyak terjadi belakangan ini ketika
fenomena wabah covid-19 ini mulai menyebar luas. Dimana wabah ini menyebabkan
kebijakan-kebijakan baru dari otoritas yang membentur kebiasaan-kebiasaan
masyarakat seperti shalat di masjid dilarang, jumatan ditiadakan, dan
sebagainya, dan sebagainya. Sehingga sontak masyarakat merasa ada yang hilang,
ada yang kurang. Lalu secara instingtif mereka spontan menolak. Kecuali ketika
mereka mampu mengendalikannya dengan segera beralih ke mode akal sehat.
Bagiku, akal sehat yang disini adalah tidak perlu menunggu
diri cerdas secerdas para ilmuan yang mengetahui bagaimana cara kerja
penyebaran wabah ini dan bagaimana mengatasinya. Tidak perlu juga menjadi ulama
yang mesti tahu segala ilmu keagamaan lalu bisa memutuskan ini benar atau
salah. Bagiku, akal sehat yang paling sederhana dan bisa dipraktikkan adalah
kehati-hatian dalam merespon apapun. Tidak terburu-buru dan mampu menahan diri
meski emosi memuncak.
Lalu setelah itu apa yang harus dilakukan? Come on,
bagaimana aku bisa meminta anda menggunakan akal sehat jika semua pertanyaan
aku jawab? Lagian kalau aku bisa jawab semua, itu berarti akalku sedang tidak sehat.
Tapi aku ada rekomendasi, jika ingin tahu bagaimana menggunakan akal sehat,
silakan baca pemikirannya filsuf Rene Descartes ya.
Kajang, 30 Maret 2020