Sudah dua hari aku bersama kawan-kawanku mengurung diri
(lock down) meskti tidak total. Artinya, jika memang terpaksa keluar untuk
beberapa keperluan semisal kebutuhan pokok, beberapa diantara kami juga keluar.
Toh pemerintah di sini tidak menutup tempat-tempat strategis seperti pasar
misalnya. Namun tempat-tempat lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan
kebutuhan pokok semisal tempat cukur rambut dan sebagainya wajib ditutup.
Semua kampus disini juga langsung menyikapi perintah “kawalan
pergerakan” (control movement order) dari perdana menteri, sehingga kamipun diliburkan sampai
dengan 31 maret ini. “Kenapa tidak pembelajaran online saja?” Kata teman satu
kelasku. Memang disurat maklumat kampusku tidak dicantumkan alasan, namun
alasannya justru aku temukan di kampus lain. Cukup sederhana, mereka tidak
ingin tidak fair kepada pelajar yang sekiranya tidak ada jaringan internet. Tapi
mungkin alasan utamanya adalah mengikuti perintah dari perdana menteri.
Tetapi hal penting yang perlu dicatat disini adalah
bagaimana mekanisme dari kebijakan pemerintahnya. Mereka tidak fokus terhadap
bagaimana komunikasi yang digunakan agar efektif atau tidak, meski jelas itu
sebagai pertimbangan juga. Hal lain yang mereka juga pertimbangkan adalah
bagaimana sebuah kebijakan terimplementasikan dengan baik.
Misalnya, mereka menggunakan semua media populer sebagai instrumen
penyampaian materi. Media mainstream seperti Whatsapp, Instagram, Facebook
sebagai corong utamanya. Tetapi sejujurnya, masalah konten kita lebih kreatif. Misalnya
di salah satu kementerian kita, di Indonesia memanfaatkan aplikasi tik-tiktok
sebagai media sosialisasi anti covid-19. Lebih menariknya, para personil yang
dimanfaatkan adalah kalangan generasi z. Tentu ini sebagai simbol kekinian.
Namun terkadang komunikasi pemerintah kita sering cacat
setelah kita sendiri merasa cukup baik dengan komunikasi-komunikasi sebelumnya.
Misalnya saja acara pemberian hadiah dan selamat kepada tiga korban covid 19
yang sudah sembuh, ironinya ini diberikan langsung oleh menteri. Ini sampai
menimbulkan pro kontra diantara para tokoh. Betapa tidak, ditengah korban yang
terus bertambah, bukannya pemerintah fokus terhadap peningkatan fasilitas rumah
sakit tempat menangani korban, malah justru mengadakan hal-hal yang sifatnya
lebih kepada seremonial-yang tentu tidak ada efek langsung terhadap pengurangan
jumlah korban.
Memang mungkin niat dari pelaksanaan itu adalah agar
bagaimana masyarakat tidak panik dengan upaya menonjolkan korban yang bisa
sembuh. Tetapi cara itu tetaplah kurang tepat jika memperhatikan isu yang lebih
kuat berkembang yakni isu bagaimana kurangnya fasilitas penanganan (malah ada
beberapa rumah sakit yang menolak menangani korban korona). Sehingga dengan
kegiatan tidak produktif seperti itu (meski niatnya mengkomunikasikan adalah masalah
lain) wajar saja banyak merasa bahwa ini sekedar pengalihan pemerintah dari
ketidaksiapannya (berupa fasilitas) dalam menangani covid 19 ini.
Kembali kepada masalah implementasi kebijakan pemerintah. Masalah
ini tambah runyam ketika suatu kebijakan nampak tumpang tindih dengan fasilitas
pendukungnya. Tanpa bermaksud membandingkan, aku contohkan seperti disini. Ketika
kebijakan “kawalan pergerakan” (control
movement order)-bukan “lock down”
seperti yang banyak diberitakan media Indonesia-dibuat, maka yang menjadi fokus
utamanya adalah tempat-tempat umum yang tidak terkait langsung dengan kebutuhan
pokok.
Contohnya seperti pusat hiburan, obyek wisata, bioskop, dan
sebagainya. Tetapi fasilitas umum yang langsung terkait dengan hajat hidup umum
maka tidak ditutup seperti pasar, kantor air (PDAM), kantor listrik (PLN),
angkutan umum (bus, kereta api) tidak ditutup. Mungkin ada yang berfikir, “la
terus buat apa dibuka ntar orang kemana-mana”. Tenang, orang tidak akan bisa
kemana-mana karena, sekali lagi, fasilitas umum yang tidak terkait dengan hajat
hidup itu ditutup semua. Sehingga akhirnya masyarakat akan cenderung memilih
sendiri untuk tinggal di dalam rumah.
Lucunya di Negara +62 ini lagi, belum sempat membagi mana
yang mesti ditutup dan mana tidak, justru lebih dulu mengambil kebijakan
meliburkan aktifitas secara langsung (malah meliburkan sekolah sama sekali),
bukannya mereka mengurung diri malah keluyuran pergi liburan. Sebelumnya aku
fikir ini hoak, ternyata setelah menelpon kerumah aku percaya. Orang tuaku
cerita bagaimana anak-anak sekolah ditempatnya justru pada sibuk nyari tempat liburan.hadeeeh.
Atau memang orang Indonesia ini maniak humor ya
sampai-sampai hal paling urgen pun tetap ngelucu (meski sebagian leluconnya
garing sih). Contohnya seperti
seorang gubernur yang gegabah mengambil kebijakan mengurangi penggunaan
transportasi umum. Apa dia tidak
mempertimbangkan kalau akan mengurangi transportasi umum maka justru akan
meningkatkan kepadatan?
Benar saja, setelah kebijakan itu diambil, keruwetan terjadi. Dimana-mana antrian
mengular bahkan berlipat-lipat dari sebelumnya. Niatnya sih mengurangi interaksi tetapi justru semakin mendekatkan jarak
interaksi. Ini kan parah. Hingga akhirnya ketika saya menulis ini, Mendagri mesti
turun tangan menasehatinya untuk tidak mengambil keputusan sendiri. Memang beberapa
tokoh kita kadang tega mengambil kebijakan populis hanya karena ingin menaikkan
elektabilitas. Tetapi ingatlah, mungkin saja dengan begitu ia bisa meraih
kekuasaan, namun tidak akan pernah dikenang sebagai seorang hero (paling tidak dikalangan
orang-orang hebat).
Kajang, 18 Maret 2020