Covid-19 (1) - Amaq Solah
News Update
Loading...

Wednesday, March 18, 2020

Covid-19 (1)



Sudah dua hari aku bersama kawan-kawanku mengurung diri (lock down) meskti tidak total. Artinya, jika memang terpaksa keluar untuk beberapa keperluan semisal kebutuhan pokok, beberapa diantara kami juga keluar. Toh pemerintah di sini tidak menutup tempat-tempat strategis seperti pasar misalnya. Namun tempat-tempat lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan kebutuhan pokok semisal tempat cukur rambut dan sebagainya wajib ditutup.

Semua kampus disini juga langsung menyikapi perintah “kawalan pergerakan” (control movement order) dari perdana menteri, sehingga kamipun diliburkan sampai dengan 31 maret ini. “Kenapa tidak pembelajaran online saja?” Kata teman satu kelasku. Memang disurat maklumat kampusku tidak dicantumkan alasan, namun alasannya justru aku temukan di kampus lain. Cukup sederhana, mereka tidak ingin tidak fair kepada pelajar yang sekiranya tidak ada jaringan internet. Tapi mungkin alasan utamanya adalah mengikuti perintah dari perdana menteri.

Tetapi hal penting yang perlu dicatat disini adalah bagaimana mekanisme dari kebijakan pemerintahnya. Mereka tidak fokus terhadap bagaimana komunikasi yang digunakan agar efektif atau tidak, meski jelas itu sebagai pertimbangan juga. Hal lain yang mereka juga pertimbangkan adalah bagaimana sebuah kebijakan terimplementasikan dengan baik.

Misalnya, mereka menggunakan semua media populer sebagai instrumen penyampaian materi. Media mainstream seperti Whatsapp, Instagram, Facebook sebagai corong utamanya. Tetapi sejujurnya, masalah konten kita lebih kreatif. Misalnya di salah satu kementerian kita, di Indonesia memanfaatkan aplikasi tik-tiktok sebagai media sosialisasi anti covid-19. Lebih menariknya, para personil yang dimanfaatkan adalah kalangan generasi z. Tentu ini sebagai simbol kekinian.

Namun terkadang komunikasi pemerintah kita sering cacat setelah kita sendiri merasa cukup baik dengan komunikasi-komunikasi sebelumnya. Misalnya saja acara pemberian hadiah dan selamat kepada tiga korban covid 19 yang sudah sembuh, ironinya ini diberikan langsung oleh menteri. Ini sampai menimbulkan pro kontra diantara para tokoh. Betapa tidak, ditengah korban yang terus bertambah, bukannya pemerintah fokus terhadap peningkatan fasilitas rumah sakit tempat menangani korban, malah justru mengadakan hal-hal yang sifatnya lebih kepada seremonial-yang tentu tidak ada efek langsung terhadap pengurangan jumlah korban.

Memang mungkin niat dari pelaksanaan itu adalah agar bagaimana masyarakat tidak panik dengan upaya menonjolkan korban yang bisa sembuh. Tetapi cara itu tetaplah kurang tepat jika memperhatikan isu yang lebih kuat berkembang yakni isu bagaimana kurangnya fasilitas penanganan (malah ada beberapa rumah sakit yang menolak menangani korban korona). Sehingga dengan kegiatan tidak produktif seperti itu (meski niatnya mengkomunikasikan adalah masalah lain) wajar saja banyak merasa bahwa ini sekedar pengalihan pemerintah dari ketidaksiapannya (berupa fasilitas) dalam menangani covid 19 ini.

Kembali kepada masalah implementasi kebijakan pemerintah. Masalah ini tambah runyam ketika suatu kebijakan nampak tumpang tindih dengan fasilitas pendukungnya. Tanpa bermaksud membandingkan, aku contohkan seperti disini. Ketika kebijakan “kawalan pergerakan” (control movement order)-bukan “lock down” seperti yang banyak diberitakan media Indonesia-dibuat, maka yang menjadi fokus utamanya adalah tempat-tempat umum yang tidak terkait langsung dengan kebutuhan pokok.

Contohnya seperti pusat hiburan, obyek wisata, bioskop, dan sebagainya. Tetapi fasilitas umum yang langsung terkait dengan hajat hidup umum maka tidak ditutup seperti pasar, kantor air (PDAM), kantor listrik (PLN), angkutan umum (bus, kereta api) tidak ditutup. Mungkin ada yang berfikir, “la terus buat apa dibuka ntar orang kemana-mana”. Tenang, orang tidak akan bisa kemana-mana karena, sekali lagi, fasilitas umum yang tidak terkait dengan hajat hidup itu ditutup semua. Sehingga akhirnya masyarakat akan cenderung memilih sendiri untuk tinggal di dalam rumah.

Lucunya di Negara +62 ini lagi, belum sempat membagi mana yang mesti ditutup dan mana tidak, justru lebih dulu mengambil kebijakan meliburkan aktifitas secara langsung (malah meliburkan sekolah sama sekali), bukannya mereka mengurung diri malah keluyuran pergi liburan. Sebelumnya aku fikir ini hoak, ternyata setelah menelpon kerumah aku percaya. Orang tuaku cerita bagaimana anak-anak sekolah ditempatnya justru pada sibuk nyari tempat liburan.hadeeeh.

Atau memang orang Indonesia ini maniak humor ya sampai-sampai hal paling urgen pun tetap ngelucu (meski sebagian leluconnya garing sih). Contohnya seperti seorang gubernur yang gegabah mengambil kebijakan mengurangi penggunaan transportasi umum.  Apa dia tidak mempertimbangkan kalau akan mengurangi transportasi umum maka justru akan meningkatkan kepadatan?

Benar saja, setelah kebijakan itu diambil,  keruwetan terjadi. Dimana-mana antrian mengular bahkan berlipat-lipat dari sebelumnya. Niatnya sih mengurangi interaksi tetapi justru semakin mendekatkan jarak interaksi. Ini kan parah. Hingga akhirnya ketika saya menulis ini, Mendagri mesti turun tangan menasehatinya untuk tidak mengambil keputusan sendiri. Memang beberapa tokoh kita kadang tega mengambil kebijakan populis hanya karena ingin menaikkan elektabilitas. Tetapi ingatlah, mungkin saja dengan begitu ia bisa meraih kekuasaan, namun tidak akan pernah dikenang sebagai seorang hero (paling tidak dikalangan orang-orang hebat).

Kajang, 18 Maret 2020

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done