“Today humanity faces an accurate crisis not only due to the coronavirus, but also due to the lack of trust between humans. To defeat an epidemic, people need to trust scientific experts, citizens need to trust public authorities, and countries need to trust each other” Yuval Noah Harari
Jika kita tidak pernah membaca sejarah, atau pura-pura lupa dengan sejarah, mungkin kita akan abai dengan kenyataan bahwa kejadian seperti serangan pandemic covid-19 sesungguhnya sudah pernah terjadi sejak beradab-abad silam. Bedanya saat itu belum ada whatsapp, facebook, instagram, dll. Yang mana dengan alat-alat itu kita bisa menyebarkan informasi segala hal tentang suatu wabah seperti virus ini dalam waktu sekejap.
Kemudahan penyebaran informasi itu harusnya memampukan kita untuk mengambil tindakan-tindakan antisipatif. Kita yang saya maksud disini adalah kita sebagai individu atau kita sebagai kelompok, yang dalam hal ini adalah pemerintah kita. Namun ternyata kemudahan yang di dukung kecanggihan teknologi tak kuasa menahan laju dari penyebaran virus ini, malah menjadi pandemic yang sampai hari ini memakan korban ribuan jiwa.
Berbagai macam cara sudah diusahakan oleh ilmuan dan otoritas, bahkan tokoh-tokoh agama ikut ambil bagian dalam melawan penyebaran virus ini. Otoritas membatasi melalui aturan-aturan yang diberlakukan. Mereka membatasi pergerakan, menutup tempat-tempat keramaian, bahkan ada yang lockdown. Ilmuan berlomba-lomba mencari obat penawar dari virus ini. Sedangkan tokoh-tokoh agama mengambil peran dengan fatwa-fatwa keagamaannya.
Usaha-usaha semacam ini bisa saja mengurangi tingkat laju daripada penyebaran virus ini, namun akan sulit terealisasi secara massif jika kita mengabaikan satu hal, yakni saling percaya antar individu, kita dengan ilmuan, antara rakyat dengan pemerintah, antara Negara dengan Negara. Persis seperti yang dikatakan Harari dalam tulisannya di majalah Time baru-baru ini yang mana saya kutip diawal tulisan ini.
Tidakkah kita hidup bermodalkan kepercayaan? Masalah sesungguhnya tidak akan pernah terselesaikan jika kita tidak memiliki rasa saling percaya. Lihatlah bagaimana virus ini awalnya diabaikan karena kita tidak percaya terhadap perkataan ilmuan yang jauh-jauh hari membunyikan lonceng peringatan. Kita jumawa mengatakan bahwa virus ini tidak akan bisa sampai pada Negara kita atau tempat kita.
Italia adalah contoh paling awal dari akibat ketidakpercayaan kita terhadap peringatan ilmuan. Mereka dengan santainya tetap beraktifitas dan malah cenderung sinis terhadap informasi yang ada. Dalam sekejap saja virus itu benar-benar datang dan menumbangkan puluhan ribu orang bahkan sampai memakan ribuan korban. Hingga pada akhirnya pemerintah setempat mengambil kebijakan lockdown Negara.
Anehnya kejadian yang sama malah bisa terulang di Negara yang dianggap adidaya seperti Amerika. Saya menyaksikan di media sebelum kasus covid-19 ini meledak dan menjadikan Amerika sebagai negara dengan kasus terbanyak di dunia, para pemudanya menolak untuk melakukan social distancing. Mereka tetap memilih keluar menikmati acara tahunan setempat dengan alasan bahwa acaranya sudah direncakan jauh-jauh hari.
Alasan yang sama diutarakan di ujung dunia lain di Indonesia dimana sebagian kelompok ngotot ingin melaksanakan acara yang melibatkan orang banyak hanya karena alasan sudah direncakan jauh-jauh hari. Saya tidak ingin membahas benar salah alasan itu, logis atau tidak logis cara berfikir mereka. Biarlah anda fikir sendiri soal itu. Yang ingin saya garis bawahi adalah betapa masalah kita memang, seperti yang dikatakan Harari, krisis yang kita hadapi bukan hanya disebabkan covid-19 ini, tetapi juga karena krisis kepercayaan.
Yang paling membuat saya kadang sedikit geram adalah banyaknya spekulasi-spekulasi yang tidak penting yang hanya berakibat pada semakin dalamnya krisis kepercayaan itu. Misalnya sebagian kelompok yang mempercayai teori iluminati percaya bahwa ini adalah konspirasi jahat kaum iluminati dalam rangka menguasai dunia. Ada juga teori konspirasi lain yang cenderung berangkat dari pandangan agama, misalnya menganggap wabah ini adalah konspirasi licik kaum kafir (di dalam islam misalnya mengatakan rencana jahat dajjal) untuk menjauhkan umat berkumpul beribadah di dalam tempat ibadah.
Saya tidak peduli spekulasi itu benar atau salah. Tetapi sungguh ditengah krisis yang melanda, spekulasi-spekulasi macam itu tidak berguna, tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Malah hal tersebut akan menggerus kepercayaan masyarakat awam dan tidak mau mengikuti arahan pemerintah, petunjuk ilmuan dan ulama. Yang pada akhirnya hal itu merugikan kita juga, bukan hanya mereka.
Tetapi hal ini bukan hanya terjadi di tataran akar rumput. Pada level atas seperti antar Negara, dalam kondisi krisis ini, para pemimpinnya malah cenderung saling tunjuk siapa yang dalang dari virus ini. Bukannya membincang ini baik-baik dan mencari solusi bersama. Maaf sekali lagi saya contohkan Negara Amerika.
Bagaimana Donald Trump sebelum virus ini merebak di negaranya, ia lebih cenderung mencari siapa yang salah dengan menuding China sengaja membuat virus ini.
Setelah virus ini merebak dan negaranya mencapai prestasi terhebat dengan kasus terbanyak di dunia, ia akhirnya sedikit membuang egonya dan menyadari bahwa kerjasamalah, ke-saling percayaan lah yang diperlukan. Maka dari itu, meski berat hati ia terpaksa menelpon presiden Xin Jinping untuk meminta bantuan penanganan wabah tersebut (tentunya hal ini dinamis seiring waktu. Sedangkan yang saya sampaikan adalah apa yang terjadi saat saya menulis ini).
Kita berharap para pemimpin Negara-negara di dunia membuang ego dalam bentuk apapun dan lebih mendahulukan kemanusiaan. Saya yakin meski beda-beda kebijakan teknis penanganan (lockdown dan sebagainya), yang paling penting adalah orientasi kebijakannya akan menyelamatkan kehidupan. Itu saja.
Kajang, 30 Maret 2020