Dulu setiap tanggal 08 April, aku selalu menyempatkan diri
untuk berdiam seharian dirumah. Kebetulan pada tanggal itu adalah tanggal
lahirku. Aku selalu menyempatkan diri setiap tanggal itu untuk melakukan
refleksi. Sebenarnya aku ingin menjalani tanggal itu seolah tidak ada yang
berbeda. Tapi hati kecil kadang tidak sejalan dengan fikiranku. Karena kadang
aku terlalu naïf jika harus berpura-pura seolah semuanya seperti sediakala.
Memang semua seperti biasa. Meski beberapa orang dekatku
secara langsung maupun melalui media sosial mengucapkan selamat ulang tahun
kepadaku. Aku hargai itu, akupun yakin (dan berfikir positif) mereka tulus
mengutarakannya karena mereka peduli kepadaku. Sesaat aku senang dengan semua
itu. Meski berikutnya aku bingung apa yang tepat untuk aku lakukan? Dalam arti
untuk menghargai diriku sendiri pada momen itu.
Kadang aku bertanya pada saat itu, haruskan aku berbahagia?
Namun muncul kebingungan lain, kenapa aku mesti bahagia? Mengapa mesti bahagia
saat itu saja? Mungkinkah kebahagiaan bisa dipaksa dan diseting pada saat-saat
tertentu? Mengapa pula kita mesti bahagia? Atau mungkin ini bukan tentang
kebahagian? Seperti kata filsuf zizek, jangan-jangan hidup itu bukanlah tentang
kebahagiaan, karena masalah yang sering terjadi adalah kita selalu berbicara
tentang kebahagiaan padahal kita tidak tahu sebenarnya apa yang benar-benar
kita inginkan dalam hidup.
Kebingungan seperti ini sering sekali aku alami saat-saat
penting (bergantung pada lingkungan, situasi dan kondisi saat itu) dalam
hidupku. Baik itu saat aku ulang tahun, meraih suatu pencapaian, atau malah
saat jatuh, saat terpuruk, dan (merasa) berada pada titik nadir. Semua itu bisa
termanifestasi dalam bentuk pujian dan juga cacian. Anehnya aku sering merasa
hambar saat kedua-duanya diberikan oleh orang. Lebih tepatnya rasa hambar itu
muncul saat rasa senang datang ketika dipuji dan sakit saat dihina dan
diabaikan.
Saat itulah muncul pertanyaan-pertanyaan diatas dan
menghasilkan rasa kekosongan. Tapi itu mungkin pertanyaan mendasarku pada
diriku yang sulit aku jawab meski orang mungkin geli karena menganggap itu
sepele. Tetapi aku menganggap pertanyaan itu bukanlah untuk jawaban-jawaban
tehnis seputar kesukaan, kebiasaan, rutinitas, lintasan-lintasan kenikmatan.
Jika dijawab dengan itu, maka yakin saja ia akan menjadi lingkaran setan. Jika
kita coba mengandaikan itulah jawaban-jawaban yang kita butuhkan, bukan hanya
Tuhan dan diri kita yang tahu, bahkan youtube-pun
lebih tahu tentang diri kita.
Jika tidak percaya, cobalah memutar lagu beberapa kali, maka
saat anda membukanya lagi, maka lagu-lagu itu yang akan direkomendasikan kepada
kita. Karena kalkulasi algoritma dari mesin itu menganggap itulah yang kita
suka, maka itu pula yang direkomendasikan. Atau mungkin dengan mencoba pola
yang lebih rumit. Misalnya dengan memutar lagu yang berbeda-beda dari judulnya,
genrenya, penyanyinya, tahunnya, dsb. Bisakah mesin akan tahu mana yang kita
suka? Tentu! Dengan kecerdasan buatannya (Artificial
Intelegence) melalui kemampuan
algoritmanya,maka akan dipilihkan dan diurutkan lagu-lagu yang secara acak itu
dan tepat mana yang cenderung kita sukai.
Namun percayalah pada satu hal, manusia itu kompleks. Bisa
jadi suatu saat dia akan berubah dan jawaban-jawaban hidup yang diinginkan
tidak bisa melalui jawaban-jawaban algoritmatis, dan berdasarkan susunan
premis-premis logis. Bisa jadi jawaban-jawaban yang diinginkan lebih abstrak
yang mana hanya bisa dijawab oleh pendekatan intuitif. Tetapi bukan berarti aku
bisa menjawabnya, aku hanya menduga bahwa itulah cara menjawabnya.
Jangan sampai salah tangkap juga, aku tidak pernah
mengatakan logika tidak berguna. Aku hanya ingin mengutarakan bahwa kadang
kebingungan-kebingungan itu seringkali hadir dan tidak pernah coba kita jawab,
bahkan tidak pernah pernah kita coba pertanyakan dan mencari tahu tentang apa
kebingungan itu sendiri.
Atau jangan-jangan, ketika aku terus mengutarakan
kebingunganku, mengutarakan pertanyaan-pertanyaanku, jangan-jangan saat itu
secara tidak sadar aku sedang berefleksi. Padahal yang ku tahu refleksi itu
adalah hal-hal yang mudah dijangkau dan (mungkin) terdefinisikan. Refleksi
seperti kata filsuf Inggris John Dewey adalah pengetahuan yang didapat atas usaha
mencari hikmah daripada pengalaman. Kita sering berkata, “Pengalaman adalah
guru yang terbaik” Kitapun sering mengatakan “jangan sampai jatuh kelubang yang
sama dua kali”.
Dua pribahasa itu tampak saling menjelaskan, dimana
sesungguhnya kita belajar dari pengalaman itu bukan semata-mata pengalaman itu
kita tahu sudah terjadi dan kita alami, namun semata-mata atas kesadaran yang
kita bangun dengan coba mempertimbangkan apa-apa yang salah apa-apa yang benar
di masa lampau. Lalu sebaiknya apa dan bagaimana saya berbuat di masa yang akan
datang agar pengalaman yang sama tidak terjadi lagi. Artinya, kesadaran tidaklah
inheren dari pengalaman, kecuali kalau kita melakukan refleksi.
Tetapi kenyataannya, setiap momen-momen penting dalam
hidupku, seringkali refleksi-refleksi seperti itu tidak menutupi
bagian-bagian terdalam dari diri ini.
Mungkin boleh jadi aku mampu menimbang apa-apa kesalahanku di masa lalu dan
bagaimana aku bisa menyelesaikannya. Misalnya di masa lampau aku tidak terlalu
produktif, apa yang harus aku lakukan agar tidak terulang kembali? Aku akan
cari tahu dulu masalahnya. Misalnya masalahnya adalah manajemen waktu, maka
sudah terang jawabannya bahwa yang harus aku lakukan adalah membuat
jadwal-jadwal, deadline penyelesaian
tugas, menyeting alarm, dan membuat pengingat.
Namun pertanyaan-pertanyaan yang sering datang semisal apa
yang aku sampaikan di awal tulisan tidak sesederhana merefleksikan
pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban tehnis. Mungkin karena
pertanyaan-pertanyaan itu sendiri lebih menyangkut kepada tujuan, makna dan
nilai hidup. Yang mana untuk sekedar bisa secara sekilas memahami gejalanya
misalnya, bisa nampak dari peristiwa pindah keyakinannya seseorang.
Seseorang bisa berubah-ubah keyakinan, idiologi, dan agama
bisa jadi sebagai ekspresi pencarian makna hidup. Namun jangan beranggapan itu
adalah sebuah kesiasiaan. Justru jika selain untuk itu, saya rasa hidup adalah
kesia-siaan. Lalu apakah kemudian kita akan terus menerus terjebak dalam
kondisi itu? Jawabannya, kenapa tidak? Jika hidup dijalani biasa-biasa saja,
dalam arti tidak ada keinginan dan usaha mencari makna, maka seluruh kesempatan
yang lewat tidak berguna alias sia-sia.
Aku sendiri yakin, semakin lama manusia menjalani hidupnya
diatas dunia, semakin cenderung dia terhadap pencarian makna itu. Namun jikapun
toh sampai mati hidupnya hampa dari pencarian makna, sama saja dengan dia tidak
pernah hidup karena pada dasarnya dia tidak menjalaninya. Aku teringat pesan
Socrates bahwa hidup yang tidak diuji (dipertanyakan) adalah hidup yang tidak
layak dijalani.
Maka aku simpulkan (untuk menutup tulisan ini saja, karena
bagaimana aku bisa menyimpulkan dalam arti yang sebenarnya jika sebelumnya aku
mengatakan bahwa hidup adalah proses mempertanyakan atau lintasan ujian-ujian
dalam upaya meraih makna dari satu makna ke makna yang lain) bahwa tanggal 08
April tahun ini, arti refleksiku tidak lagi tehnis.
Kajang, 09 April 2020