Entahlah, "April"! - Amaq Solah
News Update
Loading...

Friday, April 10, 2020

Entahlah, "April"!



Dulu setiap tanggal 08 April, aku selalu menyempatkan diri untuk berdiam seharian dirumah. Kebetulan pada tanggal itu adalah tanggal lahirku. Aku selalu menyempatkan diri setiap tanggal itu untuk melakukan refleksi. Sebenarnya aku ingin menjalani tanggal itu seolah tidak ada yang berbeda. Tapi hati kecil kadang tidak sejalan dengan fikiranku. Karena kadang aku terlalu naïf jika harus berpura-pura seolah semuanya seperti sediakala.

Memang semua seperti biasa. Meski beberapa orang dekatku secara langsung maupun melalui media sosial mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku hargai itu, akupun yakin (dan berfikir positif) mereka tulus mengutarakannya karena mereka peduli kepadaku. Sesaat aku senang dengan semua itu. Meski berikutnya aku bingung apa yang tepat untuk aku lakukan? Dalam arti untuk menghargai diriku sendiri pada momen itu.

Kadang aku bertanya pada saat itu, haruskan aku berbahagia? Namun muncul kebingungan lain, kenapa aku mesti bahagia? Mengapa mesti bahagia saat itu saja? Mungkinkah kebahagiaan bisa dipaksa dan diseting pada saat-saat tertentu? Mengapa pula kita mesti bahagia? Atau mungkin ini bukan tentang kebahagian? Seperti kata filsuf zizek, jangan-jangan hidup itu bukanlah tentang kebahagiaan, karena masalah yang sering terjadi adalah kita selalu berbicara tentang kebahagiaan padahal kita tidak tahu sebenarnya apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup.

Kebingungan seperti ini sering sekali aku alami saat-saat penting (bergantung pada lingkungan, situasi dan kondisi saat itu) dalam hidupku. Baik itu saat aku ulang tahun, meraih suatu pencapaian, atau malah saat jatuh, saat terpuruk, dan (merasa) berada pada titik nadir. Semua itu bisa termanifestasi dalam bentuk pujian dan juga cacian. Anehnya aku sering merasa hambar saat kedua-duanya diberikan oleh orang. Lebih tepatnya rasa hambar itu muncul saat rasa senang datang ketika dipuji dan sakit saat dihina dan diabaikan.

Saat itulah muncul pertanyaan-pertanyaan diatas dan menghasilkan rasa kekosongan. Tapi itu mungkin pertanyaan mendasarku pada diriku yang sulit aku jawab meski orang mungkin geli karena menganggap itu sepele. Tetapi aku menganggap pertanyaan itu bukanlah untuk jawaban-jawaban tehnis seputar kesukaan, kebiasaan, rutinitas, lintasan-lintasan kenikmatan. Jika dijawab dengan itu, maka yakin saja ia akan menjadi lingkaran setan. Jika kita coba mengandaikan itulah jawaban-jawaban yang kita butuhkan, bukan hanya Tuhan dan diri kita yang tahu, bahkan youtube-pun lebih tahu tentang diri kita.

Jika tidak percaya, cobalah memutar lagu beberapa kali, maka saat anda membukanya lagi, maka lagu-lagu itu yang akan direkomendasikan kepada kita. Karena kalkulasi algoritma dari mesin itu menganggap itulah yang kita suka, maka itu pula yang direkomendasikan. Atau mungkin dengan mencoba pola yang lebih rumit. Misalnya dengan memutar lagu yang berbeda-beda dari judulnya, genrenya, penyanyinya, tahunnya, dsb. Bisakah mesin akan tahu mana yang kita suka? Tentu! Dengan kecerdasan buatannya (Artificial Intelegence) melalui kemampuan algoritmanya,maka akan dipilihkan dan diurutkan lagu-lagu yang secara acak itu dan tepat mana yang cenderung kita sukai.

Namun percayalah pada satu hal, manusia itu kompleks. Bisa jadi suatu saat dia akan berubah dan jawaban-jawaban hidup yang diinginkan tidak bisa melalui jawaban-jawaban algoritmatis, dan berdasarkan susunan premis-premis logis. Bisa jadi jawaban-jawaban yang diinginkan lebih abstrak yang mana hanya bisa dijawab oleh pendekatan intuitif. Tetapi bukan berarti aku bisa menjawabnya, aku hanya menduga bahwa itulah cara menjawabnya.

Jangan sampai salah tangkap juga, aku tidak pernah mengatakan logika tidak berguna. Aku hanya ingin mengutarakan bahwa kadang kebingungan-kebingungan itu seringkali hadir dan tidak pernah coba kita jawab, bahkan tidak pernah pernah kita coba pertanyakan dan mencari tahu tentang apa kebingungan itu sendiri.

Atau jangan-jangan, ketika aku terus mengutarakan kebingunganku, mengutarakan pertanyaan-pertanyaanku, jangan-jangan saat itu secara tidak sadar aku sedang berefleksi. Padahal yang ku tahu refleksi itu adalah hal-hal yang mudah dijangkau dan (mungkin) terdefinisikan. Refleksi seperti kata filsuf Inggris John Dewey adalah pengetahuan yang didapat atas usaha mencari hikmah daripada pengalaman. Kita sering berkata, “Pengalaman adalah guru yang terbaik” Kitapun sering mengatakan “jangan sampai jatuh kelubang yang sama dua kali”.

Dua pribahasa itu tampak saling menjelaskan, dimana sesungguhnya kita belajar dari pengalaman itu bukan semata-mata pengalaman itu kita tahu sudah terjadi dan kita alami, namun semata-mata atas kesadaran yang kita bangun dengan coba mempertimbangkan apa-apa yang salah apa-apa yang benar di masa lampau. Lalu sebaiknya apa dan bagaimana saya berbuat di masa yang akan datang agar pengalaman yang sama tidak terjadi lagi. Artinya, kesadaran tidaklah inheren dari pengalaman, kecuali kalau kita melakukan refleksi.

Tetapi kenyataannya, setiap momen-momen penting dalam hidupku, seringkali refleksi-refleksi seperti itu tidak menutupi bagian-bagian  terdalam dari diri ini. Mungkin boleh jadi aku mampu menimbang apa-apa kesalahanku di masa lalu dan bagaimana aku bisa menyelesaikannya. Misalnya di masa lampau aku tidak terlalu produktif, apa yang harus aku lakukan agar tidak terulang kembali? Aku akan cari tahu dulu masalahnya. Misalnya masalahnya adalah manajemen waktu, maka sudah terang jawabannya bahwa yang harus aku lakukan adalah membuat jadwal-jadwal, deadline penyelesaian tugas, menyeting alarm, dan membuat pengingat.

Namun pertanyaan-pertanyaan yang sering datang semisal apa yang aku sampaikan di awal tulisan tidak sesederhana merefleksikan pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban tehnis. Mungkin karena pertanyaan-pertanyaan itu sendiri lebih menyangkut kepada tujuan, makna dan nilai hidup. Yang mana untuk sekedar bisa secara sekilas memahami gejalanya misalnya, bisa nampak dari peristiwa pindah keyakinannya seseorang.

Seseorang bisa berubah-ubah keyakinan, idiologi, dan agama bisa jadi sebagai ekspresi pencarian makna hidup. Namun jangan beranggapan itu adalah sebuah kesiasiaan. Justru jika selain untuk itu, saya rasa hidup adalah kesia-siaan. Lalu apakah kemudian kita akan terus menerus terjebak dalam kondisi itu? Jawabannya, kenapa tidak? Jika hidup dijalani biasa-biasa saja, dalam arti tidak ada keinginan dan usaha mencari makna, maka seluruh kesempatan yang lewat tidak berguna alias sia-sia.

Aku sendiri yakin, semakin lama manusia menjalani hidupnya diatas dunia, semakin cenderung dia terhadap pencarian makna itu. Namun jikapun toh sampai mati hidupnya hampa dari pencarian makna, sama saja dengan dia tidak pernah hidup karena pada dasarnya dia tidak menjalaninya. Aku teringat pesan Socrates bahwa hidup yang tidak diuji (dipertanyakan) adalah hidup yang tidak layak dijalani.

Maka aku simpulkan (untuk menutup tulisan ini saja, karena bagaimana aku bisa menyimpulkan dalam arti yang sebenarnya jika sebelumnya aku mengatakan bahwa hidup adalah proses mempertanyakan atau lintasan ujian-ujian dalam upaya meraih makna dari satu makna ke makna yang lain) bahwa tanggal 08 April tahun ini, arti refleksiku tidak lagi tehnis.

Kajang, 09 April 2020


Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done