Ambyar (Ramadhan Covid 19_01) - Amaq Solah
News Update
Loading...

Friday, April 24, 2020

Ambyar (Ramadhan Covid 19_01)




Hai, apa kabar? Gimana? Gimana puasa pertamamu tahun ini? Ini bukan pertama kalinya kan kamu puasa jauh dari keluarga? Sebelum-sebelumnya kan kamu dah biasa puasa jauh dari keluarga. Iya, dulu sekali, pertama kali kamu puasa pertamamu jauh dari keluarga seingatku sejak tahun 2009 kan? Sejak kamu pertama kali menuntut ilmu di tanah Pancor. Singkat cerita kamu selalu ikut kegiatan organisasi sampai dengan tahun terakhirmu di kampus tahun 2015. Enam tahun, aku kira itu bukan waktu yang singkat untukmu belajar terbiasa puasa terpisah dengan keluarga, terutama ibu dan bapakmu.

aa..aku tahu, apa jangan-jangan kebiasaanmu itu mulai hilang setelah tahun 2016 kamu kembali lagi bisa puasa penuh dengan ibu bapakmu? Maksudku bukan kebiasaan sih, rasa terbiasa lebih tepatnya. Tapi ya biar bagaimanapun gak bisa juga sih secepat itu kamu menghilangkan kebiasaan itu. Bukannya untuk menciptakannya kamu butuh enam tahun? Coba deh kamu ingat itu. Biar kamu tidak semelow dan seambyar ini sekarang ketika sudah sebelas tahun kamu bisa melakukannya.

Sebentar, aku lupa ternyata kalau kamu belajar lagi jauh setelah 2016 itu kamu memutuskan untuk mengambil anak orang dan menjadikannya keluarga barumu. Tidak lama setelah itu kamu mendapatkan tambahan anggota keluarga kan? Iya, anakmu. Kamupun mulai hidup dan belajar terbiasa dengan kehidupan barumu. Aku sih faham kalau kamu tidak serta merta melupakan ibu dan bapakmu. Aku juga tahu kalau kamu tidak tinggal bersama merakapun bukan karena pilihanmu, tetapi karena takdir yang menuntunmu. Jadi mungkin sekarang semua terlihat lebih fair.

Lebih fair lagi saat kamu memutuskan setiap minggu pulang melihat ibu dan bapakmu, dan sesekali mengajak istri dan anakmu. Kembali soal Ramadhan. Ramadhan berikutnya karena pada saat itu kamu mulai hidup dengan keluarga barumu, kamu pun melakukan apa yang dulu enam tahun sudah kamu pelajari, puasa jauh dari orang tua. Jadi fix ya sekarang kamu Cuma sekali mengulang puasa penuh bersama mereka, setelah itu kembali kepada kebiasaanmu.

Sebenarnya sih biarpun itu sama, kamu terbiasa jauh dari keluarga, satu hal yang kemudian kamu pelajari lagi, bagaimana rasanya kamu merayakan hari raya Id jauh dari orang tua untuk pertama kalinya dalam hidupmu. Aku ingat waktu itu betapa rasanya kamu seperti buah simalakama. Semua pilihan membuatmu seperti menelan pil pahit. Kamu tiada daya upaya menolak keinginan bapak mertuamu yang memintamu tetap diam disana, tetapi disaat yang sama kamu harus rela mengiris perasaanmu sendiri yang tak biasa berjarak dari rengkuh orang tuamu saat Id tiba.

Tetapi belakangan kamu bisa kan? Yaa biarpun tidak sepenuhnya biasa. Buktinya tahun-tahun berikutnya, 2018-2019, kamu tidak terlalu seambyar saat pertama kali kamu merasakan Id terpisah dari orang tua. Ujung-ujungnya semua ini tentang kebiasaan kan? Kebiasaan akan membuatmu lebih rasional melihat kenyataan bahwa semua perasaanmu biasanya menipu. Perasaan akan menutup matamu untuk melihat pergerakan dunia yang terus menerus bergerak kearah perubahan.

Jika perasaanmu setelah ini berkata kepadamu mengapa kamu begitu naïf? Bukankah sesuatu yang wajar kamu merindukan orang tua? Jauh dari orang tua? Malah memang kamu wajib melakukannya? Coba saja kamu pertimbangkan baik-baik apa yang disampaikan perasaanmu tentang itu. Biarkan saja perasaanmu itu terus menghujatmu dengan kata-kata naïf. Karena jika kamu coba renungkan dengan nalar sehatmu, iapun sesungguhnya lebih naïf dari apa yang disangkakan.

Coba kutanya? Apakah karena kebiasaanmu berubah dengan begitu hubungan biologismu berubah? Jawab sendiri saja, aku tidak perlu mendengarkan jawabanmu. Apakah karena kebiasaanmu berubah, ketaatanmu akan pudar? Secara teknis mungkin iya, tetapi secara esensi tentu tidak. Kamu bisa menelfon mereka, Video call sama mereka. Jika kamu merasa itu tidak cukup,kan bisa sesekali kamu pulang kerumah. Esensinya tidak hilang kan? Silaturrahimmu tidak lekang kan? Hanya saja kamu dikelabui oleh perasaan pada momen-momen tertentu bahwa momen itulah yang paling penting bukan esensinya.

Kamu nanya aku bagaimana dengan mereka? Lah apa yang aku katakan tadi bukan cuma untuk kamu. Semua manusia juga melewati fase itu, apalagi orang tuamu. Kamu sendiri kan tahu sejak sebelas tahun yang lalu sejak pertama kali kamu meninggalkan mereka, mereka sudah mulai belajar untuk melawan apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, melewati momen-momen penting seperti Ramadhan dan Idul fitri tanpa kamu. Kamu juga harus ingat bahwa kamu bukanlah yang pertama tempat mereka belajar. Ada kakak-kakakmu yang sejak pertama sekolah dulu sudah mengajarkannya bagaimana rasanya jauh dari darah dagingnya, hingga merekapun memutuskan tinggal bersama keluarga baru mereka.

Apa? Kamu bilang aku naïf lagi? Aku faham maksudmu. Aku tahu sekarang kamu sudah punya anak sehingga kau begitu memahami bahwa cinta orang tua tidak akan pernah sama dengan cinta anak ke orang tuanya. Aku sering kok mendengarmu ngoceh kepada teman-temanmu yang belum tahu rasanya punya anak karena sampai saat ini mereka belum juga mengambil keputusan menikah. Aku juga sering mendengarmu bahwa cinta yang sejati adalah yang tak terdefinisikan, dan itu kamu rasakan pada anak. Sehingga sejauh apapun kamu menyadari orang tuamu memiliki cinta itu, tetap saja kamu tidak akan pernah memiliki cinta yang sebaliknya kepada mereka.

Penjelasan yang lainmu aku juga tak lewatkan, lebih ekstrim malah, kan? Bahwa salah satu cara Tuhanmu mengajarkanmu cintaNya kepada hambanya adalah dengan menganugerahimu anak. Iya, mungkin itu sebabnya anak dikatakan sebagai anugrah. Dengannya kamu memami setetes cara Tuhan mencintaimu. Tapi apa daya mungkin dengannya pula kamu, suatu hari nanti, akan menyadari bahwa itu hanyalah instrumenmu sebelum kamu sendiri akan kembali ke zat yang satu yakni Tuhanmu yang kekal abadi.

Itulah yang aku maksud, rasa sakit yang mengirismu sedikit demi sedikit sepanjang perjalanan hidupmu harus mulai kamu terima (jangan kau tolak dan nafikan) sebagai instrument-instrumen untuk menemukan setitik demi setitik jalan kembali yang benar kepadaNya. Maaf aku bukan sok mengajarimu, tetapi kehidupan memang seperti itu. Kamu akan selalu dihadapkan pada konsekuensi-konsekuensi. Jika kamu memilih jalan ini sebagai instrumenmu, bisa jadi kamu akan menemukan jalanNya. Jika tidak, maka sia-sialah hidupmu.

Jadi apa sekarang? Ya kamu gak usah terlalu seambyar ini lah. Saat semua sekarang jauh, bukan hanya orang tuamu yang jauh, anak dan istrimu pun jauh, akses-akses duniamu untuk meraih kemudahan dan kenikmatan dunia, kamu harus mulai terima! Akhirilah kebodohanmu yang terus tertipu dengan perasaan-perasaan bersalah, kecuali kepada Tuhan dan segala yang menjadi keinginanNya. Karena kesejatian yang akan kamu terima adalah jauh dan terpisah dari semua kecuali hanya untuk kembali kepadaNya.

Malaysia, 24 April 2020

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done