Hai, apa kabar? Gimana? Gimana puasa pertamamu tahun ini? Ini
bukan pertama kalinya kan kamu puasa jauh dari keluarga? Sebelum-sebelumnya kan
kamu dah biasa puasa jauh dari keluarga. Iya, dulu sekali, pertama kali kamu
puasa pertamamu jauh dari keluarga seingatku sejak tahun 2009 kan? Sejak kamu
pertama kali menuntut ilmu di tanah Pancor. Singkat cerita kamu selalu ikut
kegiatan organisasi sampai dengan tahun terakhirmu di kampus tahun 2015. Enam
tahun, aku kira itu bukan waktu yang singkat untukmu belajar terbiasa puasa
terpisah dengan keluarga, terutama ibu dan bapakmu.
aa..aku tahu, apa jangan-jangan kebiasaanmu itu mulai hilang
setelah tahun 2016 kamu kembali lagi bisa puasa penuh dengan ibu bapakmu?
Maksudku bukan kebiasaan sih, rasa terbiasa lebih tepatnya. Tapi ya biar
bagaimanapun gak bisa juga sih secepat itu kamu menghilangkan kebiasaan itu.
Bukannya untuk menciptakannya kamu butuh enam tahun? Coba deh kamu ingat itu.
Biar kamu tidak semelow dan seambyar ini sekarang ketika sudah sebelas tahun kamu
bisa melakukannya.
Sebentar, aku lupa ternyata kalau kamu belajar lagi jauh
setelah 2016 itu kamu memutuskan untuk mengambil anak orang dan menjadikannya
keluarga barumu. Tidak lama setelah itu kamu mendapatkan tambahan anggota
keluarga kan? Iya, anakmu. Kamupun mulai hidup dan belajar terbiasa dengan
kehidupan barumu. Aku sih faham kalau kamu tidak serta merta melupakan ibu dan
bapakmu. Aku juga tahu kalau kamu tidak tinggal bersama merakapun bukan karena
pilihanmu, tetapi karena takdir yang menuntunmu. Jadi mungkin sekarang semua
terlihat lebih fair.
Lebih fair lagi saat kamu memutuskan setiap minggu pulang
melihat ibu dan bapakmu, dan sesekali mengajak istri dan anakmu. Kembali soal
Ramadhan. Ramadhan berikutnya karena pada saat itu kamu mulai hidup dengan
keluarga barumu, kamu pun melakukan apa yang dulu enam tahun sudah kamu
pelajari, puasa jauh dari orang tua. Jadi fix ya sekarang kamu Cuma sekali
mengulang puasa penuh bersama mereka, setelah itu kembali kepada kebiasaanmu.
Sebenarnya sih biarpun itu sama, kamu terbiasa jauh dari
keluarga, satu hal yang kemudian kamu pelajari lagi, bagaimana rasanya kamu
merayakan hari raya Id jauh dari orang tua untuk pertama kalinya dalam hidupmu.
Aku ingat waktu itu betapa rasanya kamu seperti buah simalakama. Semua pilihan
membuatmu seperti menelan pil pahit. Kamu tiada
daya upaya menolak keinginan bapak mertuamu yang memintamu tetap diam disana,
tetapi disaat yang sama kamu harus rela mengiris perasaanmu sendiri yang tak
biasa berjarak dari rengkuh orang tuamu saat Id tiba.
Tetapi belakangan kamu bisa kan? Yaa biarpun tidak
sepenuhnya biasa. Buktinya tahun-tahun berikutnya, 2018-2019, kamu tidak
terlalu seambyar saat pertama kali kamu merasakan Id terpisah dari orang tua.
Ujung-ujungnya semua ini tentang kebiasaan kan? Kebiasaan akan membuatmu lebih
rasional melihat kenyataan bahwa semua perasaanmu biasanya menipu. Perasaan
akan menutup matamu untuk melihat pergerakan dunia yang terus menerus
bergerak kearah perubahan.
Jika perasaanmu setelah ini berkata kepadamu mengapa kamu
begitu naïf? Bukankah sesuatu yang wajar kamu merindukan orang tua? Jauh dari
orang tua? Malah memang kamu wajib melakukannya? Coba saja kamu pertimbangkan
baik-baik apa yang disampaikan perasaanmu tentang itu. Biarkan saja perasaanmu
itu terus menghujatmu dengan kata-kata naïf. Karena jika kamu coba renungkan
dengan nalar sehatmu, iapun sesungguhnya lebih naïf dari apa yang disangkakan.
Coba kutanya? Apakah karena kebiasaanmu berubah dengan
begitu hubungan biologismu berubah? Jawab sendiri saja, aku tidak perlu
mendengarkan jawabanmu. Apakah karena kebiasaanmu berubah, ketaatanmu akan
pudar? Secara teknis mungkin iya, tetapi secara esensi tentu tidak. Kamu bisa
menelfon mereka, Video call sama mereka. Jika kamu merasa itu tidak cukup,kan
bisa sesekali kamu pulang kerumah. Esensinya tidak hilang kan? Silaturrahimmu
tidak lekang kan? Hanya saja kamu dikelabui oleh perasaan pada momen-momen
tertentu bahwa momen itulah yang paling penting bukan esensinya.
Kamu nanya aku bagaimana dengan mereka? Lah apa yang aku
katakan tadi bukan cuma untuk kamu. Semua manusia juga melewati fase itu,
apalagi orang tuamu. Kamu sendiri kan tahu sejak sebelas tahun yang lalu sejak
pertama kali kamu meninggalkan mereka, mereka sudah mulai belajar untuk melawan
apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, melewati momen-momen penting seperti
Ramadhan dan Idul fitri tanpa kamu. Kamu juga harus ingat bahwa kamu bukanlah
yang pertama tempat mereka belajar. Ada kakak-kakakmu yang sejak pertama sekolah
dulu sudah mengajarkannya bagaimana rasanya jauh dari darah dagingnya, hingga
merekapun memutuskan tinggal bersama keluarga baru mereka.
Apa? Kamu bilang aku naïf lagi? Aku faham maksudmu. Aku tahu
sekarang kamu sudah punya anak sehingga kau begitu memahami bahwa cinta orang
tua tidak akan pernah sama dengan cinta anak ke orang tuanya. Aku sering kok
mendengarmu ngoceh kepada teman-temanmu yang belum tahu rasanya punya anak
karena sampai saat ini mereka belum juga mengambil keputusan menikah. Aku juga sering
mendengarmu bahwa cinta yang sejati adalah yang tak terdefinisikan, dan itu
kamu rasakan pada anak. Sehingga sejauh apapun kamu menyadari orang tuamu
memiliki cinta itu, tetap saja kamu tidak akan pernah memiliki cinta yang
sebaliknya kepada mereka.
Penjelasan yang lainmu aku juga tak lewatkan, lebih ekstrim
malah, kan? Bahwa salah satu cara Tuhanmu mengajarkanmu cintaNya kepada
hambanya adalah dengan menganugerahimu anak. Iya, mungkin itu sebabnya anak
dikatakan sebagai anugrah. Dengannya kamu memami setetes cara Tuhan
mencintaimu. Tapi apa daya mungkin dengannya pula kamu, suatu hari nanti, akan
menyadari bahwa itu hanyalah instrumenmu sebelum kamu sendiri akan kembali ke
zat yang satu yakni Tuhanmu yang kekal abadi.
Itulah yang aku maksud, rasa sakit yang mengirismu sedikit
demi sedikit sepanjang perjalanan hidupmu harus mulai kamu terima (jangan kau
tolak dan nafikan) sebagai instrument-instrumen untuk menemukan setitik demi
setitik jalan kembali yang benar kepadaNya. Maaf aku bukan sok mengajarimu,
tetapi kehidupan memang seperti itu. Kamu akan selalu dihadapkan pada
konsekuensi-konsekuensi. Jika kamu memilih jalan ini sebagai instrumenmu, bisa
jadi kamu akan menemukan jalanNya. Jika tidak, maka sia-sialah hidupmu.
Jadi apa sekarang? Ya kamu gak usah terlalu seambyar ini
lah. Saat semua sekarang jauh, bukan hanya orang tuamu yang jauh, anak dan
istrimu pun jauh, akses-akses duniamu untuk meraih kemudahan dan kenikmatan
dunia, kamu harus mulai terima! Akhirilah kebodohanmu yang terus tertipu dengan
perasaan-perasaan bersalah, kecuali kepada Tuhan dan segala yang menjadi
keinginanNya. Karena kesejatian yang akan kamu terima adalah jauh dan terpisah
dari semua kecuali hanya untuk kembali kepadaNya.
Malaysia, 24 April 2020