Dalam sesi sebelumnya saya pernah menyampaikan bahwa
rutinitas itu menjebak dan meracuni. Namun saya tidak dalam rangka membahasnya
disini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa bukan hanya rutinitas yang bisa
meracuni, fikiran yang mentok, mapan pada satu titik, bisa jadi mengelabui dan
diam-diam membunuh. Bukankah agama menganjurkan untuk senantiasa memperbaharui
iman? Apalagi fikiran!
Fikiran yang mapan biasanya mempersepsikan sesuatu hal
selalu benar seperti sediakala sejak pertama kali diyakini benar. Ini terus
berlangsung, apalagi fikiran ini mendatangkan efek yang nampak. Seseorang yang
meyakini bahwa hidup harus memasang target pada setiap step-step kehidupannya,
akan menganggap hal itu selalu benar lebih-lebih jika nampak hasil dari
keyakinannya tersebut. Ia enggan beranjak untuk sekedar menanyakan apakah semua
itu sesuai di segala waktu dan tempat dan untuk semua hal.
Dalam konteks Ramadhan misalnya, sejak awal banyak sekali
berseliweran info grafik cara mengatur target-target bacaan sehingga bisa menghabiskan
30 juz daripada Al-Quran. Saya hafal betul isi info grafik ini sehingga membuat
saya setiap tahun memasang target ini. Ini bukanlah sesuatu yang salah. Saya
hanya ingin mengatakan bahwa cara-cara yang menurut kita mungkin baik tetapi
jika difikir-fikir lagi belum tentu selamanya benar;sesuai waktu, kondisi,
situasi, dan subyeknya.
Lebih ngeri lagi dalam bayangan saya jika fikiran-fikiran
yang menjelma menjadi prinsip itu kita tidak kritis memilahnya apakah ia sesuai
dalam segala domain. Jangan-jangan selama ini kita tak pernah memilahnya dan
memasukkannya dalam segala domain kehidupan kita;kehidupan berekonomi,kehidupan
beragama, kehidupan berpolitik,dan sebagainya. Sehingga hal itu menjadi bias.
Padahal bisa saja dalam urusan ekonomi memasang target misalnya adalah salah
satu yang bagus untuk mengendalikan pengeluaran, namun ternyata tidak selalu
bagus dalam urusan agama kita. Tersebab kehidupan agama tidak selalu menuntut
kuantitas tetapi juga kualitas.
Kita boleh saja memasang target dengan apik agar selama
puasa kita bisa menyelesaikan 30 jus al-Quran. Tetapi alangkah baiknya sesekali
kita bertanya, bagaimana jika kita menyelasaikan 30 jus Al Quran namun tidak
satupun laba kita peroleh dari segi pemahaman kita terhadap pesan yang dibawa?
Ironisnya, kedua hal ini seringkali tidak mau dikawinkan. Kadang jika kita
terlalu fokus ke kuantitas, kualitas menjauh, dan begitu sebaliknya.
Tinggal kita saja yang mesti memilih dengan mempertimbangkan
mana yang lebih baik dari keduanya itu. Boleh jadi satu diantaranya atau boleh
jadi satu diluar kedua-duanya. Tetapi yang jelas saat kita mulai beranjak
mempertanyakan apa yang selama ini mapan kita fikirkan semisal perkara diatas,
kita sebenarnya telah memulai memberikan stimulus yang sehat untuk fikiran kita
sehingga dia tidak mentok dan meracuni dirinya sendiri.
Malaysia, 27 April 2020