Saya teringat dengan kata Stuart Hall seorang ahli ilmu
sosial bahwa judgment seseorang tergantung daripada idiologi yang dianut.
Sebuah teori tidak selamanya benar. Tetapi jika diperhatikan dengan seksama,
dalam praktik-praktik kehidupan banyak kita temui bahkan bisa jadi terjadi pada
diri kita. Jika anda menganut salah satu pemahaman dalam teologi islam
misalnya, bisa jadi apa yang anda yakini itu akan mempengaruhi
judgment-judgment anda yang kemudian melahirkan bagaimana anda bersikap dan
bertindak.
Anggap saja anda seorang Jabariyah. Bisa jadi dalam
mengambil keputusan anda terkesan lembek, tidak memiliki daya upaya, dan
menyerahkan begitu saja tanpa berusaha mengintervensinya. Ini karena sejak
dalam idiologi anda merasa bahwa semuanya sudah diatur Tuhan tanpa campur
tangan manusia. Free will atau kehendak bebas manusia itu
tidak ada, yang ada adalah kehendak Tuhan.
Lawannya adalah Qadariyah yang
mempercayai sebaliknya bahwa manusia memiliki free will atau kehendak
bebas. Manusia sejak sempurna diciptakan telah diberikan kebebasan yang penuh
menentukan hidupnya. Bisa jadi dalam praktiknya anda lebih terkesan bekerja
keras tidak mudah menyerah karena jika anda menyerah anda sendiri yang
bertanggung jawab atas apa yang menimpa anda.
Dengan menyebutkan keduanya bukan berarti saya hendak
membandingkan mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Karena seburuk
atau sebaik apapun sesuatu sudah pasti ia memilki suatu nilai yang bisa diambil
dan tidak bisa diambil. Bahkan jika itu pemahaman yang mencoba menarik diri ke
posisi tengah semisal Asy-Ariyah yang menganggap bahwa free will dari manusia
ada tapi di saat yang bersamaan peran Tuhan juga tidak bisa dihindari.
Pemahaman-pemahaman itu adalah contoh saja dari beberapa
idiologi yang berasal dari ajaran teologi. Bisa jadi prinsip-prinsip itu
terbentuk bukan bersumber dari ajaran teologi (meski mungkin apapun bentuknya
secara sifat ia tidak langsung merujuk kepada pembagian pemahaman itu sendiri)
tetapi terbentuk dengan sendirinya saat kita mulai melihat dunia. Lalu dunia di
sekeliling kita mempoles kita untuk memiliki sudut pandang dalam melihatnya.
Sehingga dengan sendirinya ia akan membentuk cara-cara kita bertindak atau
bersikap.
Seorang kawan saya sebut saja si A adalah seorang yang
kreatif dan produktif. Karena jarang sekali dalam hidupnya saya temukan ia
tidak menghasilkan karya. Padahal orangnya kelihatannya agak alon-alon tidak
terlihat ia diburu target apapun. Sebaliknya ada kawan saya yang lain sebut
saja si B tampak sibuk sekali tetapi malah tak nampak ada karya-karya yang bisa
dihasilkan. Sebelumnya saya mengira ini faktor bawaan saja, tetapi ternyata
setelah lama bergaul dengan keduanya dan saya sering mengunjunginya,
lingkungannyapun kebanyakan memiliki karakter seperti mereka.
Mencoba menelaah realitas realitas ini dan mencoba menarik
simpul-simpulnya mungkin saja akan membuat kita sedikit memahami realitas diri
sendiri. Tetapi sesungguhnya bagi saya sendiri, hal yang mungkin lebih esensi
dari semuanya adalah justru ketika kita mampu melepas fikiran-fikiran ini untuk
senantiasa bebas di tengah hutan belantara layaknya mahluk-mahluk liar di
dalamnya yang dengan kebebasannya menjelajah rimbunnya pepohonan dan luasnya
hutan sehingga menjadikannya lebih sehat, kuat dan lebih hidup., hidup dalam arti
yang sesungguhnya.
Mungkin pada satu titik ia tak sengaja berada pada satu
pemahaman atau idiologi yang dengannya ia terpengaruh. Namun pada saat yang
sama keberadaannya pada titik tertentu itu adalah satu pencapaian dari
perjalanannya menjelajah rindangnya hutan dan mengarungi luasnya lautan Tuhan.
Malaysia, 28 April 2020