Sejak awal entah kenapa saya tidak condong seperti
kebanyakan orang yang mengartikan segala fenomena dengan hikmah. Saya bukannya
men-djuge itu salah. Bahkan jika mengutip beberapa pandangan, itu adalah cara
golongan yang disebut dalam al-Quran sebagai golongan “Ulul-Albab”. Sebuah
golongan cerdas yang berusaha mencari kebenaran ilahi melalui maksimalisasi
kemampuan akal dan hati.
Wabil khusus semasa kejadian wabah yang menimpa saat ini.
Banyak hikmah beterbangan kita saksikan di langit dunia sosial media dari para
pakar agama. Hikmah tentang bagaimana kita mengartikan kejadian luar biasa yang
sedang menimpa, wabah yang bernama covid-19 ini. Para ahli itu menafsirkan
untuk kita dengan begitu apik dan penuh kehati-hatian. Sasarannya tentu agar
ruang-ruang kesadaran kita selalu terisi.
Salah satu yang paling menarik menurut saya adalah pendapat
beberapa ulama yang mengartikan wabah ini sebagai proses dekonstruksi simbol-simbol
ibadah yang selama ini sering menipu kita. Kedekatan dengan Tuhan yang kita identikkan
dengan bangungan, sejak datang covid-19 pandangan itu pontang panting kita
rubah bahwa ternyata Tuhan tidak bersemayam di sana. Jika sebelumnya
motif-motif ibadah sering tersandera dalam simbol sosial, hari ini malah kita
seperti diingatkan dengan kebebasan beribadah dalam kesendirian.
Dengan kejadian wabah ini, kita dipaksa mengoreksi
kesalahan-kesalahan yang mungkin kita remehkan padahal itu bisa jadi setara
dengan menyelingkuhi Tuhan, saat kita beribadah di ruang publik. Lalu
setelahnya diam-diam kita seakan dibisiki untuk merenungi kembali dalam ibadah
kesendirian kita, dimana kita menempatkan Tuhan selama beribadah selama ini? Di
gedung kah? Di keramainkah? Atau mungkin yang paling parah adalah ternyata
Tuhan sendiri tidak pernah bersemayam dalam diri kita? Sehingga selama ini
ibadah yang kita lakukann pun bukan untuk mensyukuri keberadaannya tetapi malah
untuk ibadah itu sendiri. Apakah ini artinya kita telah menuhankan ibadah kita?
Renungan-renungan yang diberikan oleh ahli agama sebagai
proses memeras sari pati hikmah dari fenomena wabah ini tentu sangat berarti
mendobrak keawaman dalam beragama yang salah satunya saya sendiri sering lakukan.
Tetapi tentu saja pencarian kebenaran yang sedang kita jalani tidak serta merta
berakhir dalam renungan singkat. Malah saya sendiri sering khawatir dengan diri
sendiri, tentu jika cara saya menyaring tetesan tetesan kebenaranNya terus
seperti ini.
Kekhawatiran saya adalah jangan-jangan ibadah-ibadah yang saya
lakukan terjatuh kepada akumulasi kekalahan-kekalahan. Tuhan mesti mengutus
kerikil untuk membuatku terpeleset barulah kemudian saya beristigfar. Tuhan
mesti mengutus penyakit barulah saya mengucapkan “Alhamdulillah” atas nikmat
sehat sebelumnya ada. Lalu Tuhan mesti melepas virus barulah saya terbangun
dari halusinasi ibadah saya. Saya khawatir jika ibadah saya terus menerus
berdiri diatas pembenaran-pembenaran kecil ini, yang sesungguhnya membuat saya
menjadi pecundang, telah sedikit-demi sedikit menggeretku menjauh dari
kebenaran sejati itu sendiri.
Malaysia, 25 April 2020