Biarpun covid-19 bukanlah ide yang membuat kita bertekuk
lutut mengakui kebenaran-kebenaran, tetapi secara sunnatullah ia telah menjadi
penyebab kita menjalani kondisi alamiah kita saat ini. Sebuah kondisi yang
mengaktifkan kemampuan bertahan alamiah kita. Sehingga sangat wajar dan logis
jika keputusan berdiam diri dan menjalani karantina diri dilakukan jika memang
itu bagian daripada proses alamiah itu. Adapun konsekuensi-konsekuensi yang
mengikuti kemudian menjadi bahan yang pantas untuk berfikir dan berbincang, dan
ini memang pantas.
Mungkin dalam konteks ini saya ingin mengatakan bahwa salah
satu prosesnya adalah membincang apa yang terserak dari segala sisi termasuk
salah satunya dari ilmu hikmah, baik agama ataupun filsafat. Membahas ini hanya
dari sifat-sifatnya yang sementara seperti bagaimana ia membentur masalah isi
perut manusia, memutus intrik-intrik yang tak pernah selesai, justru akan
membuat kita gagal mendapatkan oleh-oleh yang paling berharga setelah pamitnya
covid-19 ini dari muka bumi.
Oleh-oleh yang bisa jadi kita dapatkan dari wabah ini adalah
bagaimana kita mulai mengatur langkah kita dengan penuh hati-hati untuk
benar-benar menentukan cara kita memandang Tuhan kita. Bisa saja melalui
penghayatan yang penuh akan keterpautan kita dengan alam, yang menjadi bagian
ciptaanNya. Bahwa mungkin selama ini kita terlalu congkak merasa empunya
sehingga dengan bebas untuk mengeksploitasi. Atau yang paling parah adalah saat
kita merasa percaya diri melakukannya karena dalam diri sudah ada embel-embel titah
Tuhan.
Apa jadinya? Selalu saja kemudian semuanya berakhir dengan
ketidakberdayaan. Mati adalah bukti paling tulen dari ini. Sebelum itu terjadi,
untuk itulah pesan-pesan itu dikirim agar kita mau menggunakan
fakultas-fakultas yang ada pada diri kita untuk mengenalNya. Akal dan fikiran
salah satunya. Tapi masalahnya, fakultas itu telah lama kita non-aktifkan
semenjak kita merasa selalu benar terhadap semua hal. Perlahan kita membuat
ironi dengan selalu melantunkan munajat agar diberikan petunjuk jalan yang
lurus (ihdinasshiratalmustaqim)
padahal pada saat yang sama kita merasa tak da cacat cela dalam diri kita.
Maka dari itu,
penggunaan akal secara sehat adalah cara terbaik menghargai diri kita sendiri.
Caranya tidak terlalu sulit, cukup merasa seperti yang dikatakan filsuf
Socrates “I know nothing”, “aku tidak tahu apa-apa”, “ndarak taok tiang” dalam
bahasa sasak. Sebuah perkataan yang akan
membuka ruang kita bertanya dan menguliti diri sendiri. Namun tentu harus
terbangun dari kesadaran bahwa memang kita terbatas.
Ini pula yang banyak dilakukan oleh ahli-ahli hikmah dalam
kontemplasinya menemukan hakikat demi hakikat. Perbedaannya, mereka bersusah
payah menepi dari keramaian dunia yang selalu mengalihkan perhatian mereka,
sedangkan kita, kesempatan serupa datang bersamaan dengan tibanya si covid-19. Tetapi
apa daya, dunia terlalu molek bagi kita sehingga kita rela mati hanya untuk
terus menghiasnya agar ia enak kita pandang sampai dengan sendirinya kita tak
bisa memandangnya lagi.
Dengan dalih mempermudah urusan pencarian hakikat-hakikat,
kita terus memolek dunia itu dengan menciptakan hal-hal baru. Sehingga
secemerlang apapun kesempatan yang diberikan Tuhan untuk kontemplasi takkan
cukup kuat menahan kita dari kemolekan dunia. Puasa setiap tahun datang
memberikan kesempatan kita berkontemplasi memperhalus nurani kita, insting
ilahiah kita, tetapi ia tetap gagal. Sekarang malah ia datang bersama teman
otoriternya bernama covid-19 yang dengan tangan besinya memberikan dua pilihan
jika tak patuh, mati atau menepi.
Puasa yang beresensikan kesendirian plus covid-19 yang
berkarakter kesendirian pula, tak cukup membuat kita memulai masa-masa
kontemplasi kita. Ini wajar, dunia yang kita solek sudah terlalu indah untuk
ditinggalkan. Melalui urat nadi bernama sosial media dan kawan-kawannya,
darah-darah kecintaan dunia kita selalu mengalir dalam diri kita. Sehingga
ruang-ruang sunyi yang dibawakan ramadhan dan covid-19 menjadi semu. Antara ada
dan tiada, malah mungkin sudah tidak ada.
Saya tidak coba merasa pura-pura tidak tahu bahwa sosial
media semisal facebook, instagram, twitter, dll bisa menjadi mata pisau yang
lain yang lebih bermanfaat daripada digunakan untuk menusuk orang. Tapi coba
saja bandingkan, dalam kehidupan sehari-hari mana yang lebih banyak kita
perbuat, apakah memotong sayur mayur atau menusuk orang (dan menusuk diri
sendiri)?
Lagi-lagi semuanya kembali ke kita. Dalam hal pisau bernama
sosial media ini, saya saja-yang setiap hari mengkajinya sebagai tuntutan
tanggung jawab studi master saya yang fokus ke media dan komunikasi-seringkali
terjebak menjadi kontraproduktif. Apalagi orang yang sedari awal tidak punya
tujuan jelas menggunakannya, mungkin akan seperti pisau yang dibumbuhi racun.
Sebagai penutup, demi menuju ke pertautan esensi dari puasa
dengan wabah covid-19, mungkin bukanlah sebuah omong kosong jika sesekali kita memilih
jalan yang lebih ekstrim semisal melepas hal-hal yang berpotensi sebagai
gangguan-gangguan. Ini jikalau kita sudah merasa putus asa dalam berlaku adil
dan tidak zalim terhadap diri sendiri.
Malaysia, 26 April 2020