Sampai detik ini saya masih saja merasa perjumpaan secara
langsung belum bisa tergantikan oleh perjumpaan secara daring. Dalam sebuah teori
komunikasi, ada istilahnya ‘noisy’ dalam proses komunikasi. ‘noisy’ ini adalah
gangguan-gangguan yang bisa terjadi selama proses kemunikasi berlangsung, atau
bisa juga dikatakan sebagai penghambat terjadinya proses komunikasi menjadi
maksimal dan ideal. Ada empat kategori gangguan dalam komunikasi diantaranya
adalah semantik, fisikal, psikologikal, fisiologikal.
Keempat ‘noisy’ tersebut saya rasa menjadi semakin dalam
saat komunikasi dipaksa terjadi melalui
channel yakni media online seperti yang tersedia hari ini semacam meet, zoom, dan
teams. Meski fasilitas yang disediakan oleh aplikasi ini cukup memenuhi secara
subtansi apa yang kita butuhkan semacam menu persentase, audio video on/off
untuk efektifitas berbicara dan sebagainya, tetap saja ada sesuatu yang hilang
dan berbeda dibanding dengan bertemu secara langsung.
Bayangkan saja, saat komunikasi terjadi secara langsung saja
masih banyak kita yang gagap untuk melakukan penetrasi dengan konteks lawan
bicara kita, padahal subyek secara total ada di depan mata. Anggap saja ‘noisy’
secara fisiologikal terjadi. Seseorang misalnya mengidap kecacatan pada anggota
tubuhnya hingga ia tidak bisa menyampaikan pesan secara lebih jelas dan makna
tidak bisa diterima dengan baik oleh lawan bicaranya. Tetapi jika itu dilakukan
secara ‘face to face’ mungkin saja ada usaha lebih untuk berinteraksi paling
tidak dengan saling memahami gangguan tersebut.
Bagaimana bila proses komunikasi itu terjadi secara online?
Kalaupun kita bisa lihat ‘noisy’ yang ada dalam percakapan kita itu, belum
tentu kita akan mampu memahami sedalam kita memahami lawan bicara kita secara
langsung. Ini sekali lagi dikarenakan ketidaksempurnaan kehadiran subyek. Ini
masih soal ‘noisy’ yang notabenenya indrawi, bagaimana jika ‘noisy’nya adalah
psikologikal? Jika kita berhadapan langsung, mungkin kita akan bisa merasakan
apa yang terjadi dengan suasana hati dari lawan bicara sehingga komunikasi kita
cendrung mentok, misalnya. Merasakan bisa dari melihat gesturnya, mimiknya, dan
sikapnya. Pertanyaannya, mungkinkah tingkat pemahaman ini akan sama jika ini
berlangsung secara daring? Saya sepenuhnya tidak yakin.
Inilah yang banyak saya saksikan selama belajar daring. Anda
bisa melakukan apapun sembari kelas berlangsung kecuali anda yang punya giliran
persentase. Apapun disini termasuk pergi mandi, tidur-tiduran, makan,
chatingan, dan sebagainya. Tidak ada sepanjang
sejarah hidup manusia cara belajar yang paling lues atau dalam bahasa gaulnya
‘santuy’ seperti yang terjadi hari ini. Bahkan tidak ada sepanjang sejarah
hidup manusia proses belajar se-‘kurang ajar’ dan sekonyol hari ini dimana
manusia bisa belajar dengan memakai jas sebagai atasan dan
kolor sebagai bawahan pakaiannya!
Pertanyaannya, apakah keleluasaan itu berbanding lurus
dengan penyerapan ilmu selama kelas itu berlangsung? Pertanyaan ini bisa saja
sekaligus menjadi jawaban untuk mengatakan keduanya sungguh tidak berbanding
lurus!
Gambaran ini bukanlah sekedar dongeng, tetapi ini nyata
menimpa saya dan kawan-kawan saya yang lain (dan saya duga anda juga). Meski
pada akhirnya tetaplah belajar sendiri adalah metode alternatif paling ampuh
untuk mencapai pemahaman materi setiap kelas yang kami ikuti. Namun disini
bukan itu yang hendak saya bahas. Yang ingin saya sampaikan lebih kepada
bagaimana sesungguhnya kehadiran diri subyek secara utuh dalam komunikasi jauh
lebih baik dibandingkan dengan melalui medium daring.
Saya tidak bermaksud meremehkan (underestimate) kemampuan
inovasi manusia. Mungkin saja kedepannya keterbatasan media dalam membantu
proses komunikasi akan semakin canggih dan mampu menyamai kesan ‘face to face’.
Penggunaan teknologi hologram misalnya tidak lagi menjadi bahan cerita dalam
film-film sains fiksi seperti di difilm infinity war avenger (marvel
studio). Teknologi ini sudah banyak dipakai dan sampai saat ini terus dikembangkan
agar lebih sempurna menjadi media komunikasi interaktif personal ataupun
konferensi, persis sama seperti di Avanger itu.
Saya membayangkan pada tahun-tahun kedepannya ketika si
covid-19 telah berlalu, proses komunikasi melalui media daring akan lebih
sering terjadi lebih dari sebelum kedatangannya. Artinya kita akan
tetap menanti penemuan-penemuan yang bisa menggantikan secara lebih baik dan sempurna proses
komunikasi secara langsung kita. Baik itu dalam bentuk hologram ataupun yang lainnya
yang kita tidak tahu. Pada saat yang sama, ini berarti kita akan tetap bergantung
kepada kerja-kerja ilmuan untuk itu, sama seperti kita bergantung kepada mereka untuk
menemukan obat covid-19 saat ini.
Malaysia, 30 April 2020