Begitu banyak hal yang bisa dikaji dari kejadian wabah
covid-19 ini. Ini jika kita mau menggunakan nalar kritis kita yang dicirikan
dengan, “being sceptical about
information, testing it, checking its provenance”, skeptis sama informasi,
mengujinya lalu mengecek dengan teliti sumber-sumbernya (Joe Humpreys.2020).
Dari penggunaan fakultas kritis yang kita punya ini, akan lahir
kesadaran-kesadaran terhadap realitas kemudian dengannya kita memiliki persepsi
yang kuat terhadap fenomena. Dengannya pula kita mampu mengevaluasi apa
yang benar-benar kita butuhkan.
Salah satu hal yang bisa kita amati ialah bagaimana
peningkatan secara signifikan media informasi yang mempermudah perbincangan
yang melibatkan orang banyak. Kita sadar hal ini menjadi popular oleh kehadiran
wabah covid-19 ini. Dimana interaksi secara langsung sangat dibatasi padahal aktifitas mesti tetap
dilanjutkan. Maka tiada pilihan lain selain menghadirkan media yang mampu
menfasilitasi aktifitas itu tetap berjalan. Jawabannya ya teknologi media
komunikasi, diantaranya adalah zoom, meets, teams.
Sejauh ini penggunaan aplikasi tersebut meningkat pesat. Contoh
nyata adalah peningkatan jumlah pemakaian zoom hingga 200 juta pengguna
perhari. Sebuah angka yang sangat fantastis walaupun sempat diterpa isu
keamanan data. Untuk aplikasi yang lainnya seperti meets, dan teams, meski
tidak sama percepetan jumlah penggunanya, namun tidak diragukan lagi bahwa
keduanyapun mendapatkan dampak yang sama.
jika pada tulisan sebelumnya saya sempat menyinggung bahwa aplikasi
apapun yang sudah diciptakan yang saat ini digunakan-seperti zoom dan
kawan-kawannya itu- belum mampu menyamai keefektifan bertemu langsung. Maka
dalam tulisan ini saya ingin sedikit menyinggung bagaimana media menjadi
indicator perkembangan sistem demokrasi. Tentu dengan anggapan bahasan ini
hanya menyinggung aspek yang sangat mikro dalam studi tersebut.
Kita tidak bisa menyangkal lagi bagaimana media baru yang
kita gunakan hari ini telah memberikan kita akses yang begitu luas dan menjadikan kita lebih egalitarian. Semenjak adanya aplikasi ini, sekat-sekat komunikasi semakin lebih
fleksibel. Proses-proses yang lebih bersifat prosedural tereduksi. Dulu untuk
satu forum yang memungkinkan kita bertemu dan berbicara secara langsung dg
seorang pejabat, mesti melalui protokel yang ketat. Hari ini, kita bisa satu
forum dengan sangat mudah berkat media baru itu.
Tanpa bermaksud apriori, pengaruh media semacam ini bukan
hal yang baru. Platform-platform lain semisal facebook, Twitter, dan, whatsapp
sudah lama menjadi media menggunakan hak menyampaikan pendapat yang lebih
bebas. Namun kita harus akui bahwa kecenderungan platform tersebut masih
terbatas oleh waktu yang membuat pilihan komunikasi menjadi cenderung one way
communication. Anda bisa saja men-Direct message akun seorang tokoh, misalnya.
Tetapi jangan berharap akan ada balasan langsung (baik itu dibalas olenya
ataupun adminnya).
Tetapi dengan kehadiran aplikasi zoom, dll, kita dengan
mudah bisa berhadapan langsung dengan tokoh-tokoh publik itu. Komunikasi yang
terjadi lebih two-ways. Jika kita mengajukan pendapat dan bertanya, tidak ada
pilihan (karena keterbatasan waktu) untuk mereka tidak menjawab dan menanggapi
kita. Beberapa waktu lewat, kawan saya bisa satu forum dengan tokoh hebat
seperti pak Quraish-Shihab, Tuan Guru Bajang, dan ahli-ahli tafsir lainnya.
Saya sendiri beberapa kali satu forum dengan tokoh-tokoh politik semisal
Hidayat Nur Wahid dari PKS dan Tsamara Amani dari PSI, serta tokoh-tokoh
politik lainnya.
Bukan bermaksud berbangga-bangga dengan mereka, justru inilah
wujud ketimpangan komunikasi kita dengan mereka selama ini. Artinya, walau kita sudah
menganut sistem demokrasi lebih dari dua dekade, hak bersuara yang lebih
egalitarian baru terjadi saat ini, saat datangnya teknologi media terbaru. Ini
sebuah ironi bagi kita karena mesti menunggu adanya bantuan media barulah itu
wujud. Jangan sampai ini menjadi indikator kegagalan tokoh-tokoh itu sendiri
mempraktikkan visi demokrasi dalam konteks komunikasi, selama ini.
Tetapi sebagai gambaran, dalam aplikasi itu bisa saja terjadi
blunder. Saat kemudahan akses-akses yang tersedia pada aplikasi itu telah
memudahkan kita bersuara, maka pada beberapa menu justru berpotensi berfungsi
sebagai neo-protokeler. Pengadaan ID dan Password adalah contohnya. Jika
aksesnya diberikan kepada pihak-pihak tertentu, sudah dipastikan pola komunikasi
kita akan blunder. Malah neo-protokoler itu menjadi semakin nyata jika prosedur
diskusi daring itu mesti menunggu restu dari seseorang yang ditunjuk memegang
otoritas untuk itu.
Saya tidak menafikan jika memang situasi forumnya menuntut
untuk itu semisal forum-forum akademik yang memang aksesnya terbatas pada
kalangan tertentu. Tetapi forum-forum dimana rakyat berhak tahu dan bisa
menyampaikan aspirasinya, saya fikir neo-protokoler itu perlu disingkirkan.
Malaysia, 02 Mei 2020