Demonstrasi Sebagai Puncak Tujuan Pendidikan - Amaq Solah
News Update
Loading...

Monday, August 22, 2022

Demonstrasi Sebagai Puncak Tujuan Pendidikan



Hingga tulisan ini dibuat, demonstrasi yang terjadi di tanah air masih berlangsung. Meski tidak semasif pertama kali turun, gerakan yang dipelopori para mahasiswa ini masih bergema. Kontroversi yang menyertainyapun turut menambah riuh yang ada. Banyak yang mendukung demonstrasi ini dengan alasan bahwa mereka tengah memperjuangkan aspirasi masyarakat yang telah dikebiri oleh kebijakan kontroversial yang nihil partisipasi publik. Namun tidak sedikit yang mencemooh dengan anggapan bahwa mereka tidak punya empati. Musababnya tiada lain adalah ketidakpedulian mereka dengan kasus pandemi covid-19 yang tengah klimaks.

Pandangan yang lebih sinis datang dari pemerintah, mereka menuduh dengan penuh keyakinan bahwa demonstrasi tersebut ditunggangi. Siapa yang menunggangi demo tersebut? Pihak asing tegas mereka. Karena tidak jelas yang dimaksud pihak asing itu yang mana, akhirnya pemerintah menggantinya dengan tudingan demonstran telah termakan hoaks. Hal ini disampaikan langsung oleh presiden Jokowi. Kemendikbud kemudian menindak lanjutinya dengan pelarangan demontrasi yang disampaikan ke semua instansi perguruan tinggi, meski akhirnya banyak ditolak oleh para dosen.

Jadi yang manakah yang benar? Ditunggangi asing atau termakan hoaks? Bagaimana jika demonstrasi itu dilakukan murni dari kesadaran mahasiswa tanpa ditunggangi oleh siapapun? Apa hubungan kesadaran dengan tujuan pendidikan?

Coscientizacao Friere dan Demonstrasi

Bagi Friere (1921-1997), tujuan pendidikan tiada lain adalah sebagai penyadaran yang disebut dengan Coscientizacao. Coscientizacao bukan teknik untuk transfer informasi atau untuk pelatihan keterampilan sebagaimana yang sering dimaknai sebagai makna utuh daripada “pendidikan”. Bagi Friere, Coscientizacao merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama memecahkan masalah eksistensial mereka. Coscientizacao mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru.

Tidak cukup sampai disana, Friere memandang bahwa pendidikan semestinya dapat menyadarkan kaum tertindas agar mempunyai kesadaran kritis. Lalu apakah para mahasiswa adalah kaum tertindas cum kritis? Permasalahan ketertindasan oleh kekuasaan bukanlah permasalahan yang mesti diselesaikan oleh satu kelompok apalagi individu. Akan tetapi permasalahan ketertindasan harus diselesaikan secara bersama. Inilah inti dari proses pendidikan yaitu partisipasi. Jadi jika ada yang mencoba mendefinisikan mahasiswa sebagai bukan bagian dari kaum tertindas, maka cukuplah mereka difahami sebagai kaum kritis yang berpartisipasi melawan ketertindasan.

Untuk memahami kenapa demonstrasi bisa menjadi produk dari kesadaran kritis, sebelumnya kita perlu mamahami dulu tiga fase kesadaran: kesadaran magis, naif, dan kritis. Tiga fase kesadaran ini sendiri berasal dari tiga pertanyaan mendasar: apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan? Pertanyaan ini mengarah kepada kemampuan mengidentifikasi. Berikutnya, apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? Ini menuntut kemampuan analitis. Terakhir, apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? Dapat diartikan dalam konteks “aksi”.

Bagi orang-orang yang berada pada kesadaran magis, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengubah, yang ada mereka beradaptasi dengan realitas yang ada. Ciri utama mereka adalah fatalisme, menerima begitu saja meski tahu ada ketimpangan yang tengah berlangsung. Dalam hal ini, mereka yang mencibir aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dan selalu menganggap bahwa segala kebijakan pemerintah hanyalah demi kesejahteraan rakyat adalah termasuk dalam kategori kesadaran ini.

Pada tingkatan kesadaran yang lebih atas, orang-orang justru mengetahui penyelewengan-penyelewengan yang ada tetapi malah menyederhanakan realitasnya. Orang yang berada pada kesadaran ini cenderung melakukan romantika dengan nostalgia masa lalu dimana segalanya tampak lebih baik. Mereka menimpakan kesalahan pada individu-individu. Hal ini dapat secara nyata kita saksikan dari beberapa postingan segelintir “kaum intelek” yang menganggap bahwa tindakan demonstrasi bukanlah bagian dari aktualisasi intelektualitas.

Selanjutnya, kesadaran yang ketiga adalah kesadaran kritis. Tahap kesadaran ini ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah. Selain pada tahap kesadaran ini seseorang akan menegaskan eksistensi dirinya dan melakukan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, ia juga berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai.

Maka dari itu, demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan undang-undang tidak dapat diartikan sebagai pembangkangan mereka terhadap pemimpin, tetapi lebih kepada perlawanan atas sistem yang minim aspirasi publik dan cenderung tertutup. Padahal seperti yang dikatakan Lord Acton, semakin tertutup suatu kekuasaan semakin cenderung untuk melakukan tindakan korupsi, dan kekuasaan yang absolut maka akan korupsi absolut.

Dengan begitu, demonstrasi yang dilakukan oleh para demonstran justru untuk menyelamatkan pemerintah supaya tidak korupsi yang pada ujungnya akan menyengsarakan rakyat. Jadi jika ada oknum yang mempertanyakan intelektualitas mahasiswa lantaran selalu turun demo, maka jawabannya adalah justru demonstrasi adalah puncak dari intelektualitas mahasiswa. Kesadaran kritis menuntut dialog, dialog mahasiswa adalah demonstrasi, tentu setelah kekuasaan menutup rapat pintu-pintu dialog yang lain dengan berbagai macam cara.

Sekilas jika kita menengok kebelakang, perjuangan-perjuangan heroik yang pernah ada selalu lahir dari rahim orang-orang yang memiliki kesadaran kritis. Para founding father bangsa kita menyadari betul bahwa untuk melawan penindasan yang diperlukan bukan menimpakan kesalahan kepada individu-individu tetapi kepada sistem. Sistemlah yang harus diperbaiki bukan mengganti individu dengan individu yang lainnya. Selama sistem yang berlaku melanggengkan “Exploitation de I’homme par I’homme”-penghisapan manusia atas manusia lainnya-selama itu pula penderitaan berlangsung.

Jalan perjuangannya tentu tidak selalu sama. Hal ini mengikuti sistem yang berjalan pada suatu pemerintahan. Pemerintahan yang sangat tertutup hanya bisa dilawan dengan revolusi, seperti yang dilakukan para pahlawan kita melawan pemerintahan kolonial. Akan tetapi, pemerintahan kita hari ini bukanlah pemerintahan ala kolonial sehingga jalan-jalan dialog mesti dikedepankan. Walaupun jalan dialog yang dimaksud adalah demonstrasi.

(Late Post Tulisan Lama)

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done