Hingga
tulisan ini dibuat, demonstrasi yang terjadi di tanah air masih berlangsung.
Meski tidak semasif pertama kali turun, gerakan yang dipelopori para mahasiswa
ini masih bergema. Kontroversi yang menyertainyapun turut menambah riuh yang
ada. Banyak yang mendukung demonstrasi ini dengan alasan bahwa mereka tengah
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang telah dikebiri oleh kebijakan
kontroversial yang nihil partisipasi publik. Namun tidak sedikit yang mencemooh
dengan anggapan bahwa mereka tidak punya empati. Musababnya tiada lain adalah ketidakpedulian
mereka dengan kasus pandemi covid-19 yang tengah klimaks.
Pandangan
yang lebih sinis datang dari pemerintah, mereka menuduh dengan penuh keyakinan
bahwa demonstrasi tersebut ditunggangi. Siapa yang menunggangi demo tersebut?
Pihak asing tegas mereka. Karena tidak jelas yang dimaksud pihak asing itu yang
mana, akhirnya pemerintah menggantinya dengan tudingan demonstran telah termakan
hoaks. Hal ini disampaikan langsung oleh presiden Jokowi. Kemendikbud kemudian
menindak lanjutinya dengan pelarangan demontrasi yang disampaikan ke semua
instansi perguruan tinggi, meski akhirnya banyak ditolak oleh para dosen.
Jadi
yang manakah yang benar? Ditunggangi asing atau termakan hoaks? Bagaimana jika
demonstrasi itu dilakukan murni dari kesadaran mahasiswa tanpa ditunggangi oleh
siapapun? Apa hubungan kesadaran dengan tujuan pendidikan?
Coscientizacao
Friere dan Demonstrasi
Bagi
Friere (1921-1997), tujuan pendidikan tiada lain adalah sebagai penyadaran yang
disebut dengan Coscientizacao. Coscientizacao bukan teknik untuk
transfer informasi atau untuk pelatihan keterampilan sebagaimana yang sering
dimaknai sebagai makna utuh daripada “pendidikan”. Bagi Friere, Coscientizacao
merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara
bersama memecahkan masalah eksistensial mereka. Coscientizacao mengemban
tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan,
prosedur, dan kebijakan baru.
Tidak
cukup sampai disana, Friere memandang bahwa pendidikan semestinya dapat
menyadarkan kaum tertindas agar mempunyai kesadaran kritis. Lalu apakah para
mahasiswa adalah kaum tertindas cum kritis? Permasalahan ketertindasan oleh
kekuasaan bukanlah permasalahan yang mesti diselesaikan oleh satu kelompok
apalagi individu. Akan tetapi permasalahan ketertindasan harus diselesaikan
secara bersama. Inilah inti dari proses pendidikan yaitu partisipasi. Jadi jika
ada yang mencoba mendefinisikan mahasiswa sebagai bukan bagian dari kaum
tertindas, maka cukuplah mereka difahami sebagai kaum kritis yang
berpartisipasi melawan ketertindasan.
Untuk
memahami kenapa demonstrasi bisa menjadi produk dari kesadaran kritis,
sebelumnya kita perlu mamahami dulu tiga fase kesadaran: kesadaran magis, naif,
dan kritis. Tiga fase kesadaran ini sendiri berasal dari tiga pertanyaan
mendasar: apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan?
Pertanyaan ini mengarah kepada kemampuan mengidentifikasi. Berikutnya, apa
penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? Ini menuntut kemampuan
analitis. Terakhir, apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut? Dapat diartikan dalam konteks “aksi”.
Bagi
orang-orang yang berada pada kesadaran magis, mereka tidak memiliki kemampuan
untuk mengubah, yang ada mereka beradaptasi dengan realitas yang ada. Ciri
utama mereka adalah fatalisme, menerima begitu saja meski tahu ada ketimpangan
yang tengah berlangsung. Dalam hal ini, mereka yang mencibir aksi-aksi
demonstrasi mahasiswa dan selalu menganggap bahwa segala kebijakan pemerintah
hanyalah demi kesejahteraan rakyat adalah termasuk dalam kategori kesadaran
ini.
Pada
tingkatan kesadaran yang lebih atas, orang-orang justru mengetahui
penyelewengan-penyelewengan yang ada tetapi malah menyederhanakan realitasnya.
Orang yang berada pada kesadaran ini cenderung melakukan romantika dengan
nostalgia masa lalu dimana segalanya tampak lebih baik. Mereka menimpakan
kesalahan pada individu-individu. Hal ini dapat secara nyata kita saksikan dari
beberapa postingan segelintir “kaum intelek” yang menganggap bahwa tindakan
demonstrasi bukanlah bagian dari aktualisasi intelektualitas.
Selanjutnya,
kesadaran yang ketiga adalah kesadaran kritis. Tahap kesadaran ini ditandai
dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah. Selain pada tahap
kesadaran ini seseorang akan menegaskan eksistensi dirinya dan melakukan
penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, ia juga berusaha secara sadar dan
empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa
mereka kuasai.
Maka
dari itu, demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan undang-undang tidak dapat
diartikan sebagai pembangkangan mereka terhadap pemimpin, tetapi lebih kepada
perlawanan atas sistem yang minim aspirasi publik dan cenderung tertutup.
Padahal seperti yang dikatakan Lord Acton, semakin tertutup suatu kekuasaan
semakin cenderung untuk melakukan tindakan korupsi, dan kekuasaan yang absolut
maka akan korupsi absolut.
Dengan
begitu, demonstrasi yang dilakukan oleh para demonstran justru untuk
menyelamatkan pemerintah supaya tidak korupsi yang pada ujungnya akan
menyengsarakan rakyat. Jadi jika ada oknum yang mempertanyakan intelektualitas
mahasiswa lantaran selalu turun demo, maka jawabannya adalah justru demonstrasi
adalah puncak dari intelektualitas mahasiswa. Kesadaran kritis menuntut dialog,
dialog mahasiswa adalah demonstrasi, tentu setelah kekuasaan menutup rapat
pintu-pintu dialog yang lain dengan berbagai macam cara.
Sekilas
jika kita menengok kebelakang, perjuangan-perjuangan heroik yang pernah ada
selalu lahir dari rahim orang-orang yang memiliki kesadaran kritis. Para founding
father bangsa kita menyadari betul bahwa untuk melawan penindasan yang
diperlukan bukan menimpakan kesalahan kepada individu-individu tetapi kepada
sistem. Sistemlah yang harus diperbaiki bukan mengganti individu dengan
individu yang lainnya. Selama sistem yang berlaku melanggengkan “Exploitation
de I’homme par I’homme”-penghisapan manusia atas manusia lainnya-selama itu
pula penderitaan berlangsung.
Jalan
perjuangannya tentu tidak selalu sama. Hal ini mengikuti sistem yang berjalan
pada suatu pemerintahan. Pemerintahan yang sangat tertutup hanya bisa dilawan
dengan revolusi, seperti yang dilakukan para pahlawan kita melawan pemerintahan
kolonial. Akan tetapi, pemerintahan kita hari ini bukanlah pemerintahan ala kolonial
sehingga jalan-jalan dialog mesti dikedepankan. Walaupun jalan dialog yang
dimaksud adalah demonstrasi.