Sumber: Screenshot video AGT |
“Jangan bersedih, Tuhan mengirim jalan keluar di saat keadaan paling pelik. Sesungguhnya hujan deras tidak datang kecuali dari awan
yang paling gelap”. Rumi
Panik, gusar, gelisah, sedih, takut, dan segala perasaan
buruk pasti akan dialami orang tua manapun saat dihadapkan pada kondisi buah
hati yang terlahir premature. Sebagai orang tua, saya memang belum merasakannya
(tentu saja saya berharap tidak akan pernah mengalaminya, meski saat ini istri
saya sedang mengandung anak kembar, yang kemungkinan prematurnya sangat besar).
Namun, nun jauh sana, 17 silam, seorang Ibu di Riau bahkan harus menerima
kenyataan kalau anak pertamanya, yang sekaligus cucu pertama dari orang tua dan
mertuanya, terlahir di usia kandungan 6 bulan 18 hari. Suatu batas usia minimum
janin seorang manusia bisa bertahan hidup kalaupun harus menatap dunia sebelum
waktu idealnya tiba. Dengan bahasa yang lebih sederhana, peluang hidupnya
rendah.
Ia dan suaminya tidak menyerah. Setelah tiga bulan berada di
inkubator, sang bayi premature harus dibawa ke Singapura karena gejala katarak
di kedua matanya. Tak pelak lagi ini menambah rasa terpuruk kedua orang tuanya.
Gelap segelap malam , mungkin begitulah suasana hati kedua orang tuanya,
terlebih saat mendengar peluang kedua mata anaknya sangat kecil untuk kembali
normal. Sempat ada suara lirih dalam hati sang ibu, “mengapa harus aku yang
menerima kenyataan ini?”. Namun tak lama ia segera menyadari, apapun yang
terjadi, ini di luar kendalinya, yang berarti bahwa ini adalah keinginan sang
kuasa. Ia akhirnya pasrah dan merubah prasangkanya bahwa pasti ada hikmah
dibalik anugerah ini.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti
tahun, sang anak mulai tumbuh meski tanpa penglihatan. Keterbatasan itu justru
lambat laun mulai menunjukkan suatu keistimewaan. Mata yang tertutup ternyata malah
meningkatkan kemampuan indra yang lain. Sang anak yang tuna netra itu memiliki
kepekaan yang tinggi pada nada. Ya, kemampuan telinganya justru meningkat
tajam. Ia belajar memainkan piano secara autodidak. Lalu mulai mengikutinya dengan
iringan lagu. Lambat laun ini membentuk kemampuannya menjadi seorang penyanyi
cilik yang istimewa.
Bakat istimewa yang dimiliki sang anak tidak serta merta
mendapatkan pengakuan. Walau demikian, sang ibu tidak pantang menyerah untuk
mendukung anaknya. Ia sampai rela meninggalkan pekerjaannya demi cita-cita
anaknya tercapai. Meski begitu, tidak serta merta bakat emas sang anak
mendapatkan pengakuan. Dia mencoba ikut berbagai event-event lomba kecil tetapi
hanya berakhir dengan kekalahan. Kekalahannya bukan semata karena kemampuannya
kurang bagus, tetapi seringkali karena fisiknya yang dianggap tidak normal.
Tidak normal berarti tidak pantas jadi penyanyi idaman masa depan.
Sang anak tidak pernah menyerah. Ia mencoba menunjukkan
bakat emasnya di panggung salah satu acara pencarian bakat salah satu TV
Nasional. Para juri terpukau dengan suara tinggi nan syahdu dari anak tuna
netra berusia delapan tahun. Kilauan emas nyatanya hanya bisa dilihat oleh
penggali emas ulung. Tak heran, ia lalu keluar sebagai pemenang dalam acara
tersebut. Tahun demi tahun berlalu, ia terus mengasah bakatnya dengan masuk
sekolah musik. Setidaknya delapan karya telah tercipta dari tangannya yang bisa
langsung dinikmati di kanal Youtube miliknya. Dia juga telah men-cover
berbagai macam lagu terkenal. Jangan tanya apa dia bisa membaca Quran atau
tidak, karena suara merdunya akan memanjakan telinga anda saat mendengarnya
melantunkan kitab suci itu.
Menginjak usia 17 tahun, sang anak mencoba mengikuti salah
satu ajang pencarian bakat terbesar dunia: American Got Talent. Sudah pasti
targetnya adalah memenangi ajang itu seperti yang ia lakukan 9 tahun silam di
Indonesia. Namun faktanya, keinginan sebenarnya adalah agar bisa meraih
impiannya yang jauh lebih besar: sekolah di Juilliard School. Salah satu
sekolah seniman terbaik di Amerika Serikat, bahkan dunia. Oleh karenanya, ia
tidak pernah membayangkan penampilan pertamanya akan membuat seluruh mata dunia
tertuju padanya. Dua lagu yang ia bawakan mampu menggemparkan panggung acara
itu. Para juri semakin ternganga takjub saat ia mengatakan bahwa lagu
pertamanya adalah ciptaannya sendiri. Ini pula yang membuat Simon, sang juri
paling kritis, menekan tombol Gold Buzzer.
Tangis pecah. Semua orang mengusap matanya, semua orang
terharu. Kedua orang tua sang anak memeluk erat buah hati mereka yang mungkin
tidak pernah terfikirkan akan membawa kebanggaan dan kebahagiaan yang
sedemikian rupa saat ini jika diingat dulu saat sang anak lahir penuh dengan keterbatasan,
yang sempat menyisakan pilu bagi kedua orang tuanya. Di akhir perayaan Golden
Buzzer, Terry Crews sang pembawa acara meminta penonton sekali lagi memberikan
apresiasi kepada sang anak, one more time for Putri Ariani! Panggung
seketika bergumuruh lebih hebat lagi dengan tepuk tangan.
Itulah sekelumit kisah perjalanan indah Putri Ariani. Hingga
tulisan ini dibuat, ia telah keliling menghadiri undangan dari satu stasiun ke
stasiun TV. Bahkan dua hari sebelumnya, ia telah menginjakkan kaki di Istana
negara atas undangan pak Presiden. Berbagai pihak membanggakannya dan mendukung
dia meraih impiannya. Semoga saja.
Terlepas dari apakah Putri Ariani meraih juara atau tidak nanti, banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kisah hidupnya. Kita tidak boleh larut dalam duka dan kesedihan. Jangan-jangan apa yang kita anggap paling buruk justru yang terbaik untuk kita. Jangan-jangan saat kita berada pada satu titik paling nadir dalam hidup kita, itulah saat yang tepat untuk kita mulai menanjaki tangga kebahagiaan. Persis seperti kata Rumi di atas, “Jangan bersedih, Tuhan mengirim jalan keluar di saat keadaan paling pelik. Sesungguhnya hujan deras tidak datang kecuali dari awan paling gelap”.
Lombok Timur, 16 Juni 2023