Gambar: Dokumentasi pribadi |
Kontemplasi sering kita artikan sebagai perenungan; sebuah
proses kita merefleksikan dan mengevaluasi kehidupan kita, apa yang baik dan
apa yang buruk yang telah kita lalui. Lebih daripada itu, kontemplasi merupakan
pengingat, pemberi jeda untuk kita memulai ulang atau menginstall mode baru
dalam seluruh kehidupan yang kita jalani.
Jeda, disadari atau tidak, sangat subtantif dalam proses
kehidupan. Jeda mengingatkan kita akan keterbatasan dan batasan diri sendiri.
Tanpa kesadaran bahwa kita mempunyai batasan, maka manusia pasti akan membuat
mafsadat atau kerusakan, baik atas dirinya maupun kepada orang lain.
Sebab, jamak kita fahami bahwa manusia mempunyai hasrat atau
nafsu yang sama sekali tidak memiliki batasan. Bahkan agama sendiri
menyindirnya dengan mengandaikan jika dua gunung emas diberikan kepada sang
nafsu, maka tentu itu masih kurang. Sifat nafsu inilah yang paradoks dengan
fitrah manusia yang serba terbatas. Jika dua hal yang paradoks ini dipaksakan
antara satu atas yang lain, maka pasti terjadi kerusakan.
Misalnya, seberapapun lezat dan banyak makanan yang anda
punya, anda tidak mungkin mampu memakan semuanya meski anda sangat
menginginkannya. Jika anda tetap paksakan, maka sangat mungkin anda akan sakit
perut. Inilah kerusakan yang nyata jika kita memaksakan paradoks hidup
bertabrakan.
Contoh yang lebih nyata lagi terjadi seminggu lalu pada diri
saya sendiri. Karena dua minggu sebelumnya saya tengah mengalami penyakit
tipes, tidak ada aktifitas lain yang dapat saya kerjakan kecuali menatap layar
hp dan laptop. Hasilnya screen time saya meningkat lima jam penggunaan
harian menjadi 6 jam setengah, durasi yang cukup menjadikan saya memecahkan World
Record penatap layar HP terlama di dunia.
Tidak menunggu waktu lama untuk saya merasakan dampaknya.
Kurang lebih setelah “World record” itu terlampaui, tengkuk saya
nyeri terus menerus. Isi lambung serasa meronta ingin keluar, kepala bagian
belakang “nyut-nyut” tiada henti. Semua rasa itu lalu bermuara pada insomnia
selama beberapa hari.
Saya, pada akhirnya, menyadari bahwa saya telah membuat
kerusakan sendiri atas tubuh saya karena tidak cepat menyadari bahwa mata saya
punya batasan kapan harus istirahat digunakan meski hasrat atau nafsu saya
masih terus menerus menikmati scrolling sosial media, dan lainnya. Saat
dua paradoks itu saya paksakan, saat itulah kerusakan atau mafsadat itu
menghampiri.
Oleh sebab itu, saya tidak punya pilihan lagi selain harus
memberikan jeda agar living system yang mengalami pergeseran dari
posisi alamiahnya dapat bekerja memperbaiki dirinya sendiri. Proses inilah yang
(lebih nyaman) saya sebut dengan istilah bio-kontemplasi daripada self-healing
atau istilah-istilah lainnya. Sebab proses healing dari sistem biologis kita
tidak mungkin berjalan jika kita tidak punya mekanisme penyadaran atas hakikat kedirian
kita sendiri secara konsisten.
Misalnya bahwa kita secara konsisten membatasi secara
praktis tindakan kita saat kita diingatkan oleh kesadaran kita bahwa tubuh
biologis rapuh kita tidak akan pernah mampu secara terus menerus menampung hasrat
yang tak terbatas. Jika kita tidak berusaha secara konsisten
mengaktualisasikannya, sebaliknya terus menerus memaksakan sesusatu yang tak
terbatas atas sesuatu yang terbatas, maka kerusakan demi kerusakan akan
menghampiri kita hingga kemudian kita akan dibatasi sendiri oleh pembatas yang
tidak akan bisa ditembus:tanah.